Menabur Benih, Meraup Rezeki
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian mengembangkan dua varietas unggul hasil kolaborasi riset internasional untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melepas dua varietas padi Green Super Rice, yakni Inpari 42 Agritan GSR dan Inpari 43 Agritan GSR. Kedua varietas hasil kolaborasi riset internasional itu dikembangkan untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Bulir-bulir padi di hamparan sawah di Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, tampak menguning, pada Kamis (3/10/2019) siang. Malai atau untaian butir padi itu tertutup dedaunan paling atas atau biasa disebut daun bendera yang lebar dan rimbun pada tanaman padi itu.
Tanaman padi varietas unggul Inpari 42 Agritan GSR tampak rapat dan tegak berdiri. Hal itu berbeda dengan tanaman padi jenis varietas lain yang roboh karena diterpa angin kencang, tepat di sebelah areal sawah tanaman padi Inpari 42.
Di tengah menyusutnya lahan pertanian di area penyangga kota besar dan perubahan iklim yang membuat cuaca tak tentu, adanya varietas unggul itu memberi harapan bagi petani. Selain produktivitasnya tinggi, varietas itu relatif tahan terhadap hama penyakit tanaman dan pemeliharaannya mudah.
Kolaborasi riset
Untuk itu, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPTP), Sukamande, Subang, mengembangkan varietas Inpari 42 dan 43 yang merupakan kolaborasi riset internasional oleh International Rice Research Institute (IRRI) dan sejumlah negara. Riset itu diinisiasi IRRI bersama Pemerintah China sejak tahun 2000-an.
Pada tahun 2009, riset varietas unggul yang tahan perubahan iklim itu mendapat bantuan dari Bill and Melinda Gates Foundation. ”Jadi, semua materi Green Super Rice (GSR) yang diteliti IRRI dan China diuji di Afrika dan Asia, temasuk Indonesia,” kata Untung Susanto, pemulia tanaman dari BBPTP.
Green Super Rice merupakan varietas padi yang dirancang untuk memiliki daya hasil tinggi, pada kondisi optimum dan suboptimum, misalnya kekurangan air dan pupuk. Varietas GSR dirancang untuk memiliki ketahanan pada hama dan penyakit utama demi meminimalkan aplikasi pestisida.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi menerima ratusan galur inhibrida (benih bisa ditanam lagi) dan hibrida (benih dibeli). Inpari 42 Agritan GSR dari galur Huanghuazhan dan persilangan Huangxinchan/Fenghuazhan, sedangkan Inpari 43 dari galur Zhongzhu14 dan persilangan WuFengZhan/IRBB5/WuFengZhan.
Tim peneliti yang dikoordinasi Untung lalu memurnikan galurnya. Pemurnian itu dilakukan dengan cara seleksi visual, yakni menanam benih hasil persilangan itu. Jika penampilan fisiknya masih rajol atau tidak seragam, peneliti memilih yang bagus untuk ditanam di musim berikutnya.
Tanaman padi tidak seragam penampilannya karena genetik di dalamnya belum homozigot. Padi memiliki puluhan ribu gen. Gen jantan dan betina nantinya tergabung sehingga sifat campuran nantinya bisa seragam. Itu membutuhkan panen beberapa kali.
Proses seleksi visual dilakukan dengan melihat keseragaman satu populasi tanaman padi, di antaranya tinggi tanaman, bentuk gabah, usia tanam, bentuk dan lebar daun, serta warna batang dan gabah. ”Kalau sudah seragam, nanti ketahanan terhadap hama penyakit di-screening,” ungkap Untung.
Setelah melalui proses pemurnian, tim peneliti melaksanakan uji multilokasi atau UML untuk melihat daya hasil. Uji multilokasi itu dilakukan di 16 lokasi, antara lain, di Kabupaten Bandung, Bantul, Indramayu, Subang, Badung di Bali, Sukabumi, Purwakarta, Cianjur, Magelang, Blitar, dan Malang.
Pengujian itu untuk melihat potensi produksi varietas dan sejauh mana tingkat produksinya di lahan irigasi dan di lahan suboptimal, misalnya dengan mengurangi pupuk dan kerapatan jarak antar-tanaman. Selain itu, sebelum dilepas ke masyarakat, ketahanan varietas padi terhadap hama tanaman juga diuji.
Dua varietas itu juga terbukti tahan terhadap hama tanaman. Pada musim kemarau 2017, dua varietas itu tahan serangan wereng batang coklat koloni lapang, antara lain, di Karawang, Indramayu, dan Cilacap. Keunggulan lain adalah hasil panen bagus di sawah irigasi dan lahan rawa yang dibudidayakan.
Selanjutnya, varietas itu dinilai tim yang melibatkan akademisi, ahli statistik, asosiasi perbenihan, kantor perlindungan varietas tanaman, dan instansi yang memiliki aktivitas pemuliaan. Setelah lolos uji, varietas Inpari (Inbrida Padi Irigasi) 42 dan 43 dilepas pada 2016 dan berkembang di beberapa daerah.
Kedua varietas itu memiliki potensi hasil sekitar 10 ton per hektar gabah kering panen pada kondisi uji multi lokasi. Hasil lebih tinggi bisa didapat dengan pemberian lingkungan lebih optimal bagi tanaman. Kedua varietas itu juga memiliki rasa pulen, randemen beras tinggi, dan butir kapur rendah.
Kedua varietas itu memiliki umur setara Ciherang (varietas terbanyak ditanam petani saat ini) dengan malai lebat dan posisi malai di tengah daun bendera atau paling atas sehingga terhindar dari serangan burung. ”Tanamannya tinggi dan tegak serta daun lebar sehingga bagus untuk fotosintesis,” kata Untung.
Menyejahterakan petani
Salah satu daerah yang mengembangkan dua varietas itu adalah Kabupaten Sidoarjo. Menurut Kepala Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Sidoarjo Handajani, wilayah Sidoarjo butuh inovasi pertanian untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi dengan kondisi air kurang karena padatnya permukiman.
Saat ini lahan pertanian di Sidoarjo seluas 22.250 hektar dan 17.000 hektar di antaranya merupakan areal persawahan. Dari jumlah total luas lahan sawah itu, lebih dari 30 persen ditanami varietas Inpari 42. ”Kami membuat demo plot tanaman padi agar petani percaya,” ujarnya,
Untuk mewujudkan kemandirian pangan, perlu ada sistem perbenihan yang baik agar petani tidak bergantung pada produsen benih. Selama ini pelepasan varietas tanaman padi terkendala perbenihan. Saat ini di Sidoarjo telah ada tiga penangkar benih varietas padi itu.
Karena hasil panen padi varietas Inpari 42 sangat bagus, para petani kini mulai melirik benih varietas tersebut untuk ditanam. Apalagi produktivitas padi meningkat dari 62 kuintal gabah kering giling per hektar menjadi 68 kuintal gabah kering giling per hektar.
Di Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo, misalnya, tanaman padi varietas Inpari 42 tahan terhadap hama dan mulai digemari konsumen karena rasanya pulen sehingga termasuk beras premium. ”Karena malai terlindung daun, tahun lalu tidak terkena serangan burung,” ujar Suhadi, mantri pertanian Kecamatan Wonoayu.
Namun, kedua varietas itu ternyata rentan terserang hama tikus karena malai tumbuh lebih cepat. Meski demikian, tanaman padi yang diserang tikus bisa cepat pulih dalam sepekan setelah lahan diberi pupuk. Jadi, hasil panen tidak jauh berbeda dengan tanaman padi yang tidak terserang hama tikus.
Sapari, petani (62), Ketua Gabungan Kelompok Tani Puri Kencana yang beranggotakan 172 petani, di Desa Karang Puri, Kecamatan Wonoayu, menuturkan, pada tahun 2017, ia mulai menanam varietas padi Inpari 42 dengan metode tabur benih langsung atau tabela.
Hasilnya, produksinya mencapai 1 ton 8 kuintal gabah kering panen per 1.650 meter persegi areal sawah miliknya. Sebagai perbandingan, hasil panen padi varietas Ciherang 1 ton gabah kering panen per 1.650 meter persegi. ”Saya hanya menaburi benih dan memberi pupuk, tanpa dikasih obat,” ujarnya.
Padahal, penanamannya tanpa perlakuan khusus. Biasanya penanaman padi dilakukan dengan cara persemaian, lalu tanam pindah dengan tenaga manusia. Sementara penanaman varietas Inpari 42 hanya menggunakan metode tabur benih langsung setelah sawah dibajak.
Hal itu menghemat biaya persemaian dan tanam padi karena tidak butuh banyak tenaga kerja. Apalagi para petani di daerah itu kesulitan mencari tenaga kerja untuk tanam pindah. ”Kami harus pesan jauh-jauh hari. Petani rata-rata usia di atas 50 tahun, orang muda umumnya kerja di pabrik,” ujarnya.
Berbagai keunggulan kedua varietas itu diharapkan mengatasi dampak perubahan iklim yang memperbesar risiko mengalami serangan hama dan penyakit, kekeringan, dan ancaman lain.