Belajar Rendah Hati dari Saling Basuh Kaki Murid-Guru di Cilacap
Hari Guru Nasional menjadi momentum bagi segenap insan bangsa untuk merefleksikan pengabdian guru bagi generasi penerus. Di SMP Pius, Cilacap, momentum itu coba disimbolkan dengan saling basuh kaki guru-murid.
Oleh
MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Hari Guru Nasional menjadi momentum bagi segenap insan bangsa untuk merefleksikan pengabdian guru bagi masa depan generasi penerus. Di SMP Pius, Cilacap, Jawa Tengah, momentum itu coba disimbolkan dengan aksi saling membasuh kaki para guru dan para murid.
Sejumlah murid membasuh kaki para guru, demikian pula sebaliknya, guru membasuh kaki para muridnya secara bergantian di SMP Pius, Senin (25/11/2019). Pembasuhan kaki yang merupakan simbol kerendahan hati serta saling menghormati itu digelar untuk memperingati Hari Guru Nasional.
”Dulu Nabi (Isa) kami melayani 12 rasul dengan membasuh kakinya. Maka dari itu, kami sebagai guru juga melayani dengan membasuh kaki murid-murid. Kalau siswa membasuh gurunya menunjukkan bahwa siswa menghormati gurunya,” kata Kepala SMP Pius C Budi Setyawan.
Budi mengatakan, membasuh kaki adalah simbol kerendahan hati. Para guru dan siswa diajak juga belajar rendah hati sekaligus melayani satu sama lain dalam kegembiraan terutama pada kegiatan belajar-mengajar. ”Kami memperingati hari guru untuk meningkatkan pelayanan guru terhadap murid-muridnya dan secara umum dunia pendidikan,” ujar Budi.
Di SMP Pius Cilacap terdapat 274 murid dengan guru berjumlah 19 orang dan dibantu 7 karyawan. Peringatan Hari Guru dimulai dengan upacara bersama di aula karena hujan deras mengguyur Cilacap sejak pagi. Setelah upacara, para guru wali kelas membasuh perwakilan siswa di kelasnya masing-masing.
Para siswa duduk di kursi dan kemudian para guru berlutut di depannya sambil membasuh kaki muridnya dengan menggunakan air bercampur bunga dalam baskom. Setelah dibasuh, kaki para murid dikeringkan dengan handuk. Selanjutnya, siswa bergantian membasuh kaki para gurunya. Mereka pun kemudian saling berpelukan.
Para guru juga mencium kening atau pipi sambil membisikkan wejangan-wejangan kepada para siswa untuk rajin belajar dan hormat kepada orangtua. ”Senang banget bisa melayani guru dan guru bisa melayan muridnya lewat membasuh kaki ini,” kata Julius Wijaya Agung (13), siswa kelas VIII.
Agung mengatakan, relasi yang baik dengan guru diperlukan untuk menunjang kenyamanan belajar. Guru yang baik adalah sosok guru yang bisa menjadi teman atau sahabat baginya.
”Guru bisa menjadi tempat curhat para siswa sekaligus guru mengajari materi-materi,” tuturnya.
Meskipun senang bisa membasuh kaki guru, Geraldine Benedicta Wibowo (13) awalnya juga merasa aneh ketika kakinya dibasuh oleh guru. ”Aneh sih, tapi senang,” ujar Geraldine, yang bercita-cita menjadi apoteker.
Baik Agung maupun Geraldine menyampaikan, jika mereka mendapat teguran dari guru, mereka berusaha berefleksi atas apa yang menjadi kesalahannya dan tidak serta-merta membenci sang guru yang menegur.
”Pasti pertama jengkel, tapi lama-lama kami sadar guru itu menegur kami karena salah supaya kami jadi lebih baik,” tutur Geraldine.
Agnes Budhi Hardiyanti (55), guru IPS di SMP Pius Cilacap, menyampaikan, globalisasi menjadi tantangan dalam mengajar para muridnya. Siswa semakin mengetahui dunia secara lebih luas dan bebas, serta egoisme anak pun kian tinggi.
”Anak perlu disadarkan untuk tidak meninggalkan budaya Indonesia. Guru juga harus lebih terbuka dan jelas memberikan batasan-batasan kepada anak, apa yang boleh dilakukan, dan apa yang tidak,” papar Agnes, yang mengajar sejak 1996.
Pada kesempatan itu, para siswa dan guru juga mengenakan pakaian adat Nusantara agar kian mencintai kebudayaan Indonesia. Menurut Agnes, dengan berpakaian adat, para murid juga belajar sopan-santun.
”Dengan pakaian adat, anak jadi tidak bisa petakilan (banyak tingkah), yang penting anak tahu unggah-ungguh (tata krama),” kata Agnes.
Seperti diberitakan Kompas (25/11), beberapa hari terakhir beredar naskah pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim terkait peringatan Hari Guru Nasional. Dalam naskah itu disebutkan sejumlah kondisi riil, antara lain waktu guru yang habis untuk urusan administrasi, padatnya kurikulum yang menutup petualangan, dan minimnya kepercayaan guru untuk berinovasi.
Nadiem mengajak guru untuk mengawali perubahan sistem pendidikan. Ia meminta guru untuk, antara lain, menajak siswa berdiskusi, mencetuskan bakti sosial bersama kelas, serta menemukan bakat murid yang kurang percaya diri.
Atas ajakan tersebut, sejumlah kalangan menilai debirokratisasi administrasi pendidikan membutuhkan payung hukum karena praktik ini tidak bisa diserahkan begitu saja kepada para guru di lapangan. Harus ada penjelasan mengenai aspek-aspek ketatausahaan yang bisa diringkas, bahkan dipapas, guna menjadikan kinerja guru, kepala sekolah, dan pengawas tepat sasaran.