Pemerintah Kembali Ingin Hidupkan Undang-Undang Rekonsiliasi
Pemerintah kembali mencoba menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Kali ini pemerintah berencana menghidupkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi .
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Pemerintah berniat untuk menghidupkan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Langkah ini merupakan salah satu jalan untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Semua pihak yang terlibat dalam pembahasan diminta untuk bersikap terbuka.
Rencana ini disampaikan Menteri Koordinator, Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Senin (25/11/2019), di Jakarta, seusai menggelar pertemuan dengan Komisi Nasional HAM. Setelah draf UU KKR masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Mahfud akan mengundang semua pihak untuk membahas materi undang-undang tersebut.
"Pasti semua diundang, semua didengar. Tetapi semua harus fair. Fair itu harus terbuka, jangan ngotot-ngototan, sudah nggak bisa masih mau ngotot, begitu," kata Mahfud.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Badan Legislatif DPR Willy Aditya mempersilakan jika RUU KKR menjadi salah satu RUU inisiatif pemerintah. Dia berharap, naskah akademik terkait RUU itu sudah disiapkan agar bisa masuk ke Proglegnas 2020 yang pengesahannya akan dilaksanakan sebelum 12 Desember nanti. "Kalau tidak keburu, bisa dimasukkan ke Prolegnas jangka menengah," katanya.
Pada 11 Juni 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan draf KKR ke DPR dan pada 7 September 2004 DPR menyetujui untuk disahkan. UU KKR memerintahkan agar KKR segera dibentuk setahun setelah undang-undang ini disahkan.
Sayangnya, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU ini, 8 Desember 2006. KKR pun tidak jadi dibentuk sehingga upaya pengungkapan dan rekonsiliasi untuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak berlanjut.
Dalam proses rekonsiliasi, ada sejumlah prinsip yang dijalani, yakni pengakuan negara atas peristiwa pelanggaran HAM, pengungkapan kebenaran, dan permintaan maaf. Selain itu, pemberian jaminan tak terulangnya kembali kasus yang sama serta pemulihan korban dan keluarganya. Metode penyelesaian ini digagas mengingat kebuntuan hukum. (Kompas, (13/5/2019).
Seusai bertemu Mahfud MD, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik membenarkan bahwa wacana untuk menghidupkan lagi UU KKR mengemuka dalam diskusi. Ia pun turut memberi saran tentang pentingnya melibatkan keluarga korban dalam prosesnya.
Selain itu, Komnas HAM, katanya berniat untuk menghentikan polemik terkait penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Polemik ini tak lepas dari tarik ulur antara fungsi Komnas HAM sebagai penyelidik dan Jaksa Agung sebagai penyidik. Catatan Kompas, pada Januari lalu, Kejaksaan Agung mengembalikan sembilan berkas kasus pelanggaran hak asasi manusia berat ke Komnas HAM. Kejaksaan Agung menyatakan berkas tersebut dikembalikan karena persyaratan formil maupun materiil belum terpenuhi secara lengkap.
Sembilan berkas tersebut, yakni peristiwa 1965-1966; kasus Talangsari, Lampung, 1989; peristiwa penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II; peristiwa kerusuhan Mei 1998; peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998; Wasior dan Wamena; peristiwa Simpang KAA 3 Mei 1999 di Provinsi Aceh serta kasus Rumah Geudong dan Pos Sattis di Provinsi Aceh.
Dengan tetap mengedepankan proses hukum, Komnas HAM sepakat untuk mencari solusi terbaik bersama institusi lain yang terlibat. Setelah pertemuan ini, lanjutnya, Menko Polhukam Mahfud MD akan mengundang Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. "Nanti akan dibicarakan lebih lanjut, mana kasus yang bisa non-yudisial dan mana yang harus tetap lanjut di pengadilan," katanya.