Penerimaan Pajak Akan Tertekan Sampai Akhir Tahun 2019
Pelambatan pertumbuhan penerimaan pajak akan berlanjut sampai akhir tahun 2019, bahkan mungkin tahun depan. Potensi penerimaan pajak yang tidak mencapai target diperkirakan lebih dari Rp 140 triliun.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelambatan pertumbuhan penerimaan pajak akan berlanjut sampai akhir tahun 2019, bahkan mungkin tahun depan. Potensi penerimaan pajak yang tidak mencapai target (shortfall) diperkirakan lebih dari Rp 140 triliun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak pada Oktober 2019 sebesar Rp 1.018,48 triliun atau 64,5 persen dari target APBN. Realisasi penerimaan pajak itu hanya tumbuh 0,23 persen. Padahal, pada Oktober 2018, realisasi penerimaan pajak bisa tumbuh 14,2 persen.
Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan, pelambatan pertumbuhan penerimaan pajak sepanjang tahun 2019 dipengaruhi tiga faktor utama, yaitu kebijakan percepatan restitusi, pelemahan kinerja ekspor dan impor, serta penurunan harga komoditas global.
”Indikator utama adalah impor. Penerimaan pajak impor kemungkinan masih minus sampai akhir tahun meski tidak sebesar bulan Oktober,” kata Yon dalam jumpa media di Jakarta, Senin (25/11/2019).
Kontribusi Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) impor mencapai 18 persen dari total keseluruhan penerimaan pajak. Ketiga jenis pajak itu ditargetkan tumbuh mencapai 23 persen dalam APBN 2019. Namun, faktanya, agregat pertumbuhan pajak impor per Oktober 2019 minus 7 persen.
Pada Januari-Oktober 2019, realisasi penerimaan PPh 22 impor sebesar Rp 44,98 triliun, PPN impor sebesar Rp 140,7 triliun, dan PPnBM impor Rp 3,97 triliun.
Yon mengatakan, kontraksi penerimaan pajak impor sejalan dengan kinerja impor domestik yang juga tertekan. Hal ini terkonfirmasi dalam data neraca perdagangan yang dirilis Badan Pusat Stratistik sepanjang tahun 2019. Pelambatan pertumbuhan pajak ini menyebabkan shortfall melebar dari proyeksi semester I-2019, yakni Rp 140 triliun.
”Shortfall pajak tahun ini diperkirakan lebih besar dari proyeksi semester I-2019 dan realisasi tahun 2018, yang sekitar Rp 110 triliun,” kata Yon.
Pelebaran shortfall pajak dari proyeksi Rp 140 triliun karena kondisi perekonomian domestik yang lebih menantang dari tahun lalu. Aktivitas ekonomi melemah yang terefleksi dalam seluruh penerimaan pajak sektoral. Di sisi lain, harga komoditas yang mulai membaik baru berdampak ke penerimaan pajak Desember dan tahun 2020.
Menurut Yon, shortfall pajak sampai akhir tahun 2019 diupayakan tidak lebih dari Rp 200 triliun. Penerimaan PPh 21 atau PPh karyawan, yang menjadi penopang penerimaan pajak, akan tumbuh di atas 10 persen kendati melambat. Pertumbuhan PPh karyawan mengindikasikan kondisi ekonomi domestik terkendali dan tidak ada pemutusan hubungan kerja besar-besaran.
Di sisi lain, potensi penerimaan pajak dalam satu bulan mendatang bisa digali dari sektor transportasi dan pergudangan. Pertumbuhan kedua sektor itu sepanjang tahun selalu di atas 10 persen. Realisasi pajak dari sektor transportasi dan pergudangan per Oktober 2019 sebesar Rp 40,32 triliun atau tumbuh 17,9 persen dibandingkan Oktober 2018.
Mengutip laporan Danny Darusslam Tax Center (DDTC) bertajuk Proyeksi Penerimaan Pajak Tahun 2019, yang dirilis November ini, skenario shortfall pajak 2019 terendah diperkirakan sebesar Rp 179 triliun, sementara skenario tertinggi bisa mencapai Rp 216 triliun. Proyeksi didasarkan variabel-variabel lain, seperti inflasi, nilai impor, dan nilai tukar rupiah.
Strategi pajak
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, pada dasarnya strategi sampai akhir tahun 2019 dan tahun 2020 adalah optimalisasi ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Ekstensifikasi dilakukan melalui pertukaran data keuangan dan pembentukan satuan tugas tata kelola dan pemanfaatan informasi keuangan.
Dengan pertukaran data keuangan, DJP bisa memonitor wajib pajak yang memiliki saldo rekening di atas Rp 1 miliar. Data keuangan itu akan dicocokkan dengan data pertanahan, sistem administrasi manunggal satu atap (Samsat), data notaris, dan data eksternal lainnya. Adapun intensifikasi melalui perbaikan layanan perpajakan.
Sejauh ini dari upaya intensifikasi pajak telah terealisasi Rp 13 triliun, sementara ekstra effort hingga awal Oktober sudah lebih dari Rp 120 triliun.
”Pada 2020, DJP akan memperluas basis pemajakan dengan ekstensifikasi dan intensifikasi berbasis kewilayahan,” ujar Suryo.
Ekstensifikasi dan intensifikasi berbasis kewilayahan bisa dilakukan setelah data pertukaran keuangan selesai diolah. Nantinya, setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) akan memiliki seksi khusus untuk mengawal dan mengawasi basis pajak di lingkup kelurahan berdasarkan hasil pertukaran data. Dengan demikian, warga yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak bisa teridentifikasi.
Perluasan basis pajak menjadi tantangan di tengah pelambatan pertumbuhan penerimaan pajak. Rasio pajak pada 2018 sebesar 11,5 persen. Adapun target rasio pajak tahun 2019 sebesar 12,2 persen, sementara tahun 2020 kisaran 11,8-12,4 persen.
Suryo menambahkan, pemerintah juga akan merasionalisasi pajak dan retribusi daerah. Rasionalisasi diperlukan karena pajak daerah menjadi salah satu faktor yang dinilai menghambat investasi. Setiap daerah kini menetapkan tarif yang berbeda untuk jenis pajak yang sama. Untuk itu, rasionalisasi akan memberikan penegasan terkait tarif pajak.
”Di daerah, jenis pajak sama, tetapi tarif berbeda. Ini yang mau dirasionalisasi, maksimum sekian. Pengaturan akan memberikan penegasan untuk tarif maksimum,” ujar Suryo.
RUU Omnibus Perpajakan akan memayungi semua aturan terkait perpajakan, mulai dari UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, UU No 42/2009 tentang PPN, UU No 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, hingga UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.