Penyandang Disabilitas Intelektual Rawan Jadi Korban Pelecehan Seksual
Penyandang disabilitas intelektual rawan menjadi korban pelecehan seksual. Selain karena tidak mampu menjaga diri, mereka juga kerap menjadi korban kejahatan karena mudah dibujuk.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
TEMANGGUNG, KOMPAS — Penyandang disabilitas intelektual rawan menjadi korban pelecehan seksual. Selain karena tidak mampu menjaga diri, mereka juga kerap menjadi korban karena mudah dibujuk.
Kepala Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual (BBRSPDI) Temanggung, Jawa Tengah, Murhardjani mengatakan, para penyandang disabilitas intelektual mudah dibujuk karena mereka tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih mana yang benar dan yang salah.
”Cukup dibujuk dengan uang Rp 2.000 saja, mereka bisa dengan sukarela diajak berhubungan seksual,” ujar Muhardjani saat ditemui pada Senin (25/11/2019).
Tahun 2019 ini, BBRSPDI mendapatkan laporan 26 kasus menyangkut penyandang disabilitas intelektual yang ada di 13 kota/kabupaten di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sekitar 90 persen kasus tersebut adalah kasus pelecehan seksual.
Sebagian kasus pelecehan seksual, menurut Murhardjani, berakhir dengan kehamilan korban. Namun, kasus itu akhirnya sulit ditelusuri karena korban kesulitan menjelaskan siapa pelaku pelecehan seksual tersebut.
Pelecehan seksual sering kali terjadi di luar rumah. Namun, di dalam rumah pun penyandang disabilitas intelektual tidak aman. Sekitar 10 persen dari 26 kasus yang menimpa penyandang disabilitas intelektual adalah kasus-kasus kekerasan yang dilakukan orangtua mereka di rumah.
”Di rumah, mereka pun tidak aman karena penyandang disabilitas kerap mendapat kekerasan, dianiaya, dan menjadi korban perundungan dari orangtua sendiri,” ujarnya.
Perundungan itu biasanya dilakukan orangtua dengan berulang kali menghina tingkat kecerdasan putra-putrinya yang memang di bawah rata-rata.
Kasus-kasus pelecehan seksual dan kekerasan tersebut, menurut dia, semestinya bisa dihindari jika orangtua dan keluarga mau menjaga dan melindungi penyandang disabilitas intelektual.
”Bagaimanapun, para penyandang disabilitas layak dikasihi sebagai anak dan sebagai sesama manusia,” ujarnya.
Di rumah, mereka pun tidak aman karena penyandang disabilitas kerap mendapat kekerasan, dianiaya, dan menjadi korban perundungan dari orangtua sendiri.
Kembali ke rumah
Selasa (26/11/2019), BBRSPDI akan melepas 75 penyandang disabilitas yang sebelumnya dibina di BBRSPDI untuk kembali ke rumah masing-masing. Agar tidak terjadi hal-hal buruk dan para penyandang disabilitas tetap merasa nyaman, pihaknya mengingatkan agar semua orangtua mau menerima anggota keluarganya itu dengan baik.
”Dalam kejadian di tahun-tahun sebelumnya, para penyandang disabilitas yang sudah pulang justru mengaku tidak betah, lari dari rumah, dan kembali ke BBRSPDI,” ujarnya.
Dukungan sosial, menurut dia, sangat dibutuhkan penyandang disabilitas sosial. Jika dibiarkan dan tidak didukung keluarga, penyandang disabilitas berpotensi kembali ke kondisi awal dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Kanti (49), salah seorang warga Bekasi, mengatakan, dirinya sudah siap menyambut dan menjemput putranya, Rafli Marzuqi Azhar (17), salah seorang binaan BBRSPDI, kembali ke rumah. Saat ini, Kanti sudah menyiapkan mesin pembuat keset yang nantinya bisa digunakan anaknya untuk bekerja. ”Saya ingin dia merasa menjadi manusia yang berguna,” ujarnya.
Rafli sudah menjalani pendidikan di BBRSPDI Temanggung selama tiga tahun. Selama itu, Kanti juga setiap tahun selalu berupaya menjenguk agar putranya tidak merasa ditinggalkan dan diabaikan.
Sementara itu, Ny Muhtarom (64), warga asal Semarang, Jawa Tengah, mengatakan, dia berencana menjemput dan setelah itu kembali memasukkan Ammar, putranya, ke lembaga pelatihan di Cibinong. ”Di sana, dia akan menjalani pelatihan dengan didampingi kerabat yang tinggal di Cibinong,” ujarnya.