Sagu Berpeluang Ekspor untuk Penuhi Kebutuhan Pati Dunia
Selain untuk dikonsumsi di dalam negeri, sagu juga berpeluang tinggi diekspor untuk memenuhi kebutuhan pati dunia. Untuk menggenjot potensi itu, pelaku industri dan pemerintah berkolaborasi untuk mendukung hilirisasi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain untuk dikonsumsi di dalam negeri, sagu juga berpeluang tinggi diekspor untuk memenuhi kebutuhan pati dunia. Untuk menggenjot potensi tersebut, pelaku industri dan pemerintah berkolaborasi untuk mendukung hilirisasi sagu.
Di Indonesia, sagu dikenal sebagai bahan baku pati atau tepung yang dapat digunakan untuk membuat beragam makanan, mulai dari papeda, sagu lempeng, hingga pempek.
Sagu didapat dari produksi tanaman sagu yang di Indonesia memiliki 6 juta hektar kebun sagu. Sekitar 5 juta hektar hutan sagu ada di Pulau Papua, sisanya tersebar di Maluku, Kalimantan Selatan, Riau, hingga Aceh.
Namun, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi yang ditemui di Jakarta, Senin (25/11/2019), mengatakan, luasan hutan yang berpotensi menghasilkan 6 juta ton sagu hanya mampu memproduksi 6 persen atau 370.000 ton sagu per tahun.
”Jumlah itu sebagian besar dipakai untuk dimakan langsung atau diolah jadi makanan lain. Sebagian lagi diekspor, tetapi jumlahnya masih sangat sedikit,” kata Agung saat ditemui di acara peluncuran buku Sagu Papua untuk Dunia karya Ahmad Arif, wartawan Kompas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, volume sagu Indonesia yang diekspor saat ini baru sekitar 11.500 ton per tahun dengan nilai sekitar 3 juta dollar AS. Sagu itu paling banyak diekspor ke Malaysia, menyusul Jepang, China, Singapura, dan Amerika Serikat. Sebagian besar sagu untuk ekspor diproduksi di perkebunan Kabupaten Meranti, Riau.
Buku Sagu Papua untuk Dunia mencatat, ekspor sagu Indonesia masih kalah jauh dari negara tetangga, Malaysia. Negara yang memiliki luas lahan tidak sampai 0,1 persen dari luas lahan sagu Indonesia ternyata mendominasi ekspor pati sagu dunia (halaman 158). Malaysia mampu mengekspor sagu kering sekitar 47.000 ton per tahun.
Upaya menambah volume dan pasar ekspor sagu Indonesia tengah dilakukan PT Austindo Nusantara Jaya Agri Papua (ANJAP) sebagai industri pengolahan tanaman sagu swasta berbasis di Sorong Selatan, Papua Barat. Anak usaha PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Tbk yang telah beroperasi sejak 2015 itu menjajaki pasar sagu di beberapa negara, khususnya Jepang.
”Jepang itu pasar yang cukup baik dan relevan. Ramen, misalnya, bisa dibuat dari tepung sagu. MSG (monosodium glutamate) yang banyak dibuat perusahaan Jepang itu juga butuh,” kata Direktur ANJ Naga Waskita.
Rencana itu pun didukung Pemerintah Daerah Sorong Selatan. Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sorong Selatan Johan Hendrik mengatakan, pemerintah tengah menyiapkan sosialisasi dan regulasi yang berkaitan dengan perbaikan investasi untuk mendorong ekspor sagu.
”Dalam rangka mendukung ekspansi perusahaan untuk ekspor, kami mencoba memberdayakan ekonomi kerakyatan agar ikut meningkatkan pasokan sagu dari kebun mereka ke pabrik. Kami juga berupaya mengurangi benturan kepentingan investasi ini dengan kearifan lokal,” katanya.
Lahan perkebunan sagu di Sorong Selatan mencapai 1 juta hektar. Sebanyak 40.000 hektar lahan di antaranya diberikan pada ANJAP dalam bentuk izin kelola hutan.
Kawasan ekonomi khusus
Pemerintah Daerah Sorong Selatan dan pemerintah pusat juga tengah bersinergi mendukung kegiatan industri sagu di Papua. Sinergi itu akan dimaksimalkan setelah pemerintah meresmikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong yang diresmikan Oktober 2019.
”Agar industri sagu kita dapat bersaing, kami akan memanfaatkan KEK dengan pelabuhan ekspornya yang bisa mengirimkan produk-produk industri kami langsung ke Jepang hingga Abu Dhabi,” lanjutnya.
Dalam hal peningkatan penyerapan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk mendukung industri pengolahan sagu, Johan mengatakan, pemerintah daerah menyiapkan pelatihan kepada warga lewat balai latihan kerja (BLK) skala nasional di Papua Barat.
”Perusahaan seperti ANJAP ini butuh sekitar 1.700 tenaga kerja. Mereka harus benar-benar punya keahlian, minimal pengalaman di perkebunan,” pungkasnya.