Seniman Kritik Cara Komunikasi Pemprov DKI Jakarta soal Revitalisasi Pusat Kesenian
Polemik revitalisasi pusat kesenian Taman Ismail Marzuki, Jakarta, berakar pada persoalan komunikasi. Karena persoalan ini, konsep revitalisasi tidak seutuhnya sampai kepada seniman.
Oleh
STEFANUS ATO/AGUIDO ADRI/NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian seniman mengkritik cara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkomunikasi. Seniman merasa belum banyak informasi yang disampaikan terkait dengan proyek revitalisasi Taman Ismail Marzuki. Mereka menilai penjelasan ini penting agar ada pemisahan yang jelas antara manajemen kesenian dan manajemen bisnis atau komersialisasi.
Seniman menganggap ada dua isu penting yang belum dijelaskan secara detail oleh Pemprov DKI Jakarta dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) selaku badan usaha milik daerah (BUMD) yang ditugaskan merevitalisasi TIM. Hal itu berkaitan dengan komersialisasi TIM dan manajemen pengelolaan setelah TIM selesai direvitalisasi.
”Selama ini, menurut saya, komunikasinya tidak sampai 100 persen membangun ruang kesenian yang dimutakhirkan. Contoh ruang-ruang pameran yang sudah tidak layak. Dari satu elemen kecil itu, kami merasa sudah harus dimutakhirkan,” kata Pelaksana Tugas Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Danton Sihombing, Senin (25/11/2019) di Jakarta.
Berkaca dari ketidaklayakan beberapa bangunan di TIM itu, DKJ memiliki pemahaman yang sama agar bangunan-bangunan itu direvitalisasi. Revitalisasi TIM juga masuk dalam program strategis daerah yang nomenklaturnya menyebutkan untuk pengembangan pariwisata dan kebudayaan.
Namun, revitalisasi itu dipertanyakan sejumlah budayawan, termasuk DKJ, lantaran komunikasi yang dibangun Pemprov DKI Jakarta tidak dilakukan secara baik. Peran DKJ sebagai kurator konten program juga belum ada kejelasan setelah TIM selesai direvitalisasi.
Danton menjelaskan, komunikasi pemerintah dan Jakpro seharusnya fokus pada isu kritis, terutama mengenai manajemen pembangunan dan pengelolaan program kesenian. Sebab, isu yang terus berkembang, termasuk isu pembangunan hotel, berpengaruh terhadap psikologis budayawan yang bertahun-tahun hidup, berkarya, dan dibesarkan dari TIM.
Sekretaris Komite Teater DKJ Adinda Luthvianty menambahkan, budayawan yang selama ini sering berkarya di TIM terluka saat menginjakkan kaki di tempat itu lantaran terganggu oleh pagar-pagar seng (hoarding). Pengelola proyek seharusnya menyediakan informasi perkembangan proyek di hoarding itu agar progres pengerjaannya diketahui semua orang.
”Jadi, orang masuk sini bukan merasa seperti masuk wilayah pabrik. Situasi seperti ini mengakibatkan siapa pun datang sepi dan terluka,” katanya.
Adinda menjelaskan, isu lain yang juga mengganggu adalah komersialisasi TIM, terutama rencana pembangunan hotel. Desain revitalisasi TIM yang ditawarkan arsitek Andra Matin dinilai sudah cukup manusiawi dan komprehensif karena menyediakan ruang proses, mengembalikan teater tertutup dan terbuka, teater arena, dan wiswa seni.
”Artinya, Andra Matin mengembalikan TIM pada sejarahnya. Yang perlu dipertanyakan, Jakpro masih menggunakan desain itu atau bergeser, sebab yang kami tahu hanya konsep Andra Matin,” katanya.
Danton menambahkan, TIM merupakan laboratorium, etalase, dan barometer pusat kesenian Indonesia dan internasional. Karena itu, pengelolaan konten program tetap harus dipegang Dewan Kesenian Jakarta dan tidak diganggu independensinya.
Tak diambil alih
Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpro) Dwi Wahyu Daryoto menegaskan, Jakpro tidak mengambil alih TIM untuk meraup keuntungan dan mematikan ruang kreativitas para seniman dalam berkarya. Jakpro justru ingin memberikan ruang lebih luas kepada seniman dengan merevitalisasi TIM.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 327 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki, kata Wahyu, posisi Jakpro adalah Satuan Pelaksana Prasarana dan Sarana. Sementara, usulan susunan pengelolaan TIM setelah revitalisasi, fungsi yang dikelola Jakpro melingkupi infrastruktur dan bisnis.
Wahyu menolak tegas anggapan Jakpro akan menguasai TIM. Jika merujuk peraturan gubernur, tugas Jakpro diminta untuk membantu membangun, mengelola, dan memelihara TIM.
”Tugas kami mendukung program-program kesenian melalui sarana dan prasarana itu. Kami tidak menguasai TIM. Saya tegaskan, kami tidak mengelola urusan kesenian karena itu teman-teman seniman yang mengerti. Komersialisasi harus dijernihkan. Saya sampaikan lagi, hasil dari optimalisasi TIM akan dikembalikan kepada pengurus TIM,” kata Wahyu, Senin (25/11/2019).
Revitalisasi juga bertujuan untuk meringankan APBD DKI Jakarta dalam merawat fasilitas TIM yang sudah modern ke depan. Wahyu juga menanggapi polemik pembangunam hotel yang berkembang di kalangan seniman. Berdasarkan desain Matin, akan dibangun Wisma TIM yang akan digunakan untuk pameran seni, riset, dan bisa jadi tempat menginap bagi seniman jika ada pentas seni.
Bangunan galeri seni ada di lantai satu dan dua, gedung HB Jassin dan perpustakaan di lantai tiga dan empat. Selain itu, di lobi Wisma TIM, karya para seniman juga akan dipajang sehingga pengunjung bisa membeli lukisan tersebut.
”Ruang diskusi memang dibutuhkan terkait revitalisasi ini. Ayo, kami transparan. Kami tidak mencari untung. Dengan revitalisasi, justru ruang apresiasi akan lebih besar. Bangunan arsitektur modern diharapkan menarik warga untuk datang ke TIM,” kata Wahyu.
Diistimewakan
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Alberto Ali menyampaikan, Pemprov DKI sebenarnya telah menggelar sejumlah forum diskusi yang dihadiri sejumlah seniman untuk meminta masukan dalam proses revitalisasi TIM. Dia menduga sejumlah seniman yang menolak revitalisasi TIM disebabkan belum mendapatkan informasi yang utuh.
”Dengan kejadian kemarin, kami akan coba komunikasikan kembali dengan para seniman yang tadi merasa tidak dilibatkan. Ya, kami lakukan komunikasi yang baik. Komunikasi harus dibangun terus. Kan, itu mereka (menolak) karena tidak terinformasi secara utuh,” tutur Alberto.
Alberto menjamin revitalisasi TIM ke depan akan menguntungkan semua pihak, termasuk para seniman. Dia enggan menjabarkan itu. Yang pasti, lanjut Alberto, para seniman akan mendapatkan hak istimewa. ”Nah, itu yang harus kami komunikasikan dalam diskusi selanjutnya bersama mereka,” katanya.