Terkait Larangan Bekas Napi Korupsi Ikut Pilkada, KPU Bimbang
Komisi Pemilihan Umum yang sebelumnya gigih memperjuangkan aturan larangan bagi mantan napi korupsi untuk ikut pemilihan kepala daerah menjadi bimbang setelah proses harmonisasi rancangan peraturan KPU.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum, yang sebelumnya gigih memperjuangkan aturan larangan bagi bekas napi korupsi untuk ikut pemilihan kepala daerah, menjadi bimbang setelah proses harmonisasi rancangan peraturan KPU yang mengatur larangan itu dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kini, KPU kembali membahas perlu tidaknya larangan tersebut.
”Kami sudah selesai melakukan harmonisasi peraturan KPU pencalonan. Sekarang kami tinggal memfinalisasinya di internal dengan mempertimbangkan berbagai masukan pada masa harmonisasi. Tunggu saja,” ujar Komisioner KPU Evi Novida Ginting seusai kegiatan uji publik peraturan KPU, Senin (25/11/2019), di Jakarta.
Larangan bekas napi korupsi maju di pilkada dimasukkan KPU di Rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan. Dalam proses harmonisasi rancangan PKPU dengan Kemenkumham, Evi menyebut Kemenkumham memberikan masukan terkait aturan larangan itu. Namun, dia tak menyebutkan secara detail masukan yang dimaksud.
”Selanjutnya, kami akan bahas aturan larangan itu di rapat pleno komisioner KPU dengan melihat masukan saat masa harmonisasi dan masukan lain dari Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri), Bawaslu, dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Setelah itu, baru kami serahkan untuk diundangkan,” katanya.
Menurut Evi, yang disampaikan pihak Kemenkumham saat masa harmonisasi hanya sebatas masukan. Selanjutnya, KPU yang memutuskan akan tetap menghadirkan larangan itu atau tidak.
Sebelumnya, KPU selalu gigih memperjuangkan larangan itu masuk di PKPU Pencalonan. KPU, misalnya, tidak mencabut aturan larangan itu sekalipun ditentang Kemendagri dan Komisi II DPR saat rapat konsultasi Rancangan PKPU Pencalonan, beberapa waktu lalu.
KPU saat itu yakin, larangan merupakan cara KPU untuk menghadirkan calon pemimpin daerah yang berintegritas. Apalagi, berkaca pada sejumlah kasus, pemimpin daerah yang berstatus bekas napi korupsi kembali korupsi setelah terpilih dalam pilkada.
Kasus terakhir adalah yang dilakukan Bupati Kudus Muhammad Tamzil. Akhir Juli 2019, dia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menerima uang suap jabatan kepala dinas.
Padahal, pada 2014, Tamzil divonis bersalah dalam kasus korupsi APBD Kabupaten Kudus. Setelah bebas seusai menjalani hukuman pidana pada 2015, yang bersangkutan maju menjadi calon Bupati Kudus pada Pilkada 2018 dan terpilih.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari meminta KPU jangan mundur dan tetap pada sikap awalnya untuk memasukkan larangan napi korupsi maju di pilkada.
KPU, kata Feri, mestinya jangan bimbang karena kondisi-kondisi politik tertentu yang menghadirkan tekanan yang tak berpihak pada gagasan ideal KPU.
”Menurut saya, tidak tepat bagi KPU merespons keinginan partai politik. Saya yakin itu sudah ada yang mempermasalahkan tindakan KPU,” kata Feri dihubungi dari Jakarta.