Empat hari menjelang tenggat penyelesaian RAPBD 2020, 30 November 2019, baru 10 dari total 34 provinsi yang sudah menyelesaikannya. Jika tenggat terlampaui, kepala daerah dan DPRD dikenai sanksi.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah diminta mengalokasikan lebih besar anggaran untuk hal-hal yang langsung menyentuh kepentingan publik. Tidak boleh lagi alokasi anggaran untuk belanja pegawai mendominasi.
Pemerintah daerah (pemda) juga diingatkan segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2020. Empat hari menjelang tenggat penyelesaian, yaitu 30 November 2019, baru 10 provinsi yang sudah menyelesaikannya.
Jika tenggat terlampaui, Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur sanksi yang akan dikenai kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
”Ada program yang menyentuh masyarakat itu tidak sampai 20 persen di APBD, sementara untuk (belanja) aparaturnya mencapai 50 dan 60 persen. Padahal, harusnya terbalik, program untuk menyentuh masyarakatnya harus jauh lebih besar dibanding untuk aparaturnya,” kata Mendagri Tito Karnavian dalam acara Musyawarah Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia di Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Tito mencontohkan alokasi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan sejumlah rancangan APBD yang telah masuk ke Kemendagri untuk dievaluasi, jumlah alokasi anggaran untuk kedua sektor itu minim alokasinya.
Oleh karena itu, pemda diminta betul-betul menyisir dan mengoreksi mata anggaran saat penyusunan APBD. Sebab, jika paradigmanya terus seperti saat ini, akan ada kepentingan publik yang menjadi korban.
Minimnya alokasi anggaran untuk kebutuhan publik itu diperparah dengan penyerapan yang tidak optimal. Tito menyampaikan, rata-rata penyerapan APBD hanya 60 persen. Dari 60 persen itu, belanja modal ke masyarakat tidak mencapai 20 persen. ”Ini yang tolong betul-betul gubernur bisa menyisir. Harusnya anggaran bisa didominasi program-program yang menyentuh masyarakat,” ujarnya.
Mengacu pada UU Pemerintahan Daerah, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah memiliki tugas mengevaluasi RAPBD kabupaten/kota yang telah disahkan pemerintah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Adapun Menteri Dalam Negeri bertugas mengevaluasi RAPBD provinsi setelah disahkan pemerintah provinsi dan DPRD provinsi.
Tenggat RAPBD
Selain soal alokasi anggaran di RAPBD, Tito meminta pemda segera menyelesaikan pembahasan RAPBD. Untuk itu, Kemendagri akan berkomunikasi dengan pemda agar pembahasan RAPBD bisa dituntaskan sebelum tenggat.
”Sekarang kita membangun hubungan komunikasi agar mereka menyampaikannya tepat waktu, insya Allah tepat waktulah, kita akan bangun komunikasi terus-menerus,” ujar Tito.
Pasal 312 UU Pemerintahan Daerah menyebutkan, kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama RAPBD paling lambat satu bulan
sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun. Artinya, tenggat waktu penyelesaian RAPBD, 30 November 2019.
Jika persetujuan bersama tidak tercapai sebelum tenggat, DPRD dan kepala daerah dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkannya hak-hak keuangan selama enam bulan. Sanksi ini tidak dapat dikenakan kepada anggota DPRD apabila keterlambatan penetapan APBD disebabkan oleh kepala daerah terlambat menyampaikan RAPBD kepada DPRD dari jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin, hingga kini sudah 10 provinsi yang menyerahkan RAPBD 2020 ke Kemendagri, di antaranya Aceh, Sulawesi Tenggara, dan Papua. ”Selanjutnya kami evaluasi. Ketika ada anggaran yang tidak untuk kepentingan masyarakat, itu pasti kami koreksi dan kami minta alihkan untuk kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Adapun salah satu provinsi yang hingga kini belum tuntas menyelesaikan RAPBD adalah DKI Jakarta. DPRD DKI Jakarta bahkan berencana meminta perpanjangan waktu pembahasan RAPBD 2020 kepada Kemendagri.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng melihat, selama ini fungsi evaluasi Kemendagri ataupun pemerintah provinsi terhadap RAPBD belum berjalan optimal.
Masih banyak alokasi anggaran yang tak menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Kondisi ini bisa terjadi karena terlalu banyaknya RAPBD yang harus dievaluasi.
Untuk mencegah hal serupa kembali terulang saat mengevaluasi RAPBD 2020, dia mendorong Kemendagri agar mencari strategi baru.