Anak Jalanan Masih Berkeliaran di Kota Kita
Sejumlah persoalan masih menjerat anak sehingga mereka rentan hidup di jalanan, mulai dari masalah keluarga hingga ketidakberdayaan pemerintah.
Jumlah anak jalanan di Jakarta terus meningkat setiap tahunnya sejak 2016. Tak hanya Jakarta, Depok sebagai kota penyangga Ibu Kota juga memikul beban berat pertambahan anak jalanan. Sejumlah persoalan masih menjerat anak sehingga mereka rentan hidup di jalanan, mulai dari masalah keluarga hingga ketidakberdayaan pemerintah.
Dinas Sosial DKI Jakarta selama ini hanya memotret jumlah anak jalanan berumur kurang dari 18 tahun di dua panti sosial milik Dinsos DKI dan rumah-rumah singgah. Dua panti sosial itu adalah Panti Sosial Asuhan Anak Putra Utama (PSAA-PU) 2 di Plumpang, Jakarta Utara, dan PSAA-PU 4 di Cengkareng, Jakarta Barat.
Apabila seluruh anak jalanan di tempat-tempat tersebut diakumulasi, pada 2016 ada 1.212 anak. Namun, pada 2017, jumlah anak jalanan melonjak tinggi menjadi 2.022 orang. Dua tahun setelahnya, anak jalanan masih terus meningkat dari 2.453 orang di 2018 menjadi 2.688 orang di 2019.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta Yayat Duhayat mengatakan, peningkatan itu karena dua hal, yakni jumlah rumah singgah yang terus bertambah dan penyisiran anak jalanan yang lebih intensif. Bahkan, sebetulnya, total anak jalanan yang terdata belum termasuk mereka yang bersembunyi dari petugas.
”Apalagi situasi menjelang hari raya, biasanya ramai anak jalanan,” ujar Yayat.
Dalam upaya menyisir anak jalanan, Dinsos DKI memiliki tim bernama petugas penghalau pengamanan sosial (P3S). Tim tersebut tersebar di 279 titik rawan di Jakarta, mulai dari jalur protokol, hingga tingkat kecamatan. Setiap titik ada 3-4 orang yang bekerja secara bergantian mulai pukul 07.00 hingga pukul 23.00.
”Tim nongkrongin titik-titik rawan, mulai anak jalanan, gelandangan, dan pengemis. Hasil jangkauan lalu diserahkan ke panti anak jalanan atau rumah singgah,” tutur Yayat.
Sebagai catatan, anak-anak yang berada di PSAA-PU 2 dan 4 sepenuhnya hidup di jalanan. Sementara hampir 50 persen anak binaan di rumah singgah merupakan anak yang rentan hidup ke jalanan. Pemerintah Provinsi DKI mengklasifikasikan kerentanan itu jika sang anak berkeliaran di jalanan minimal 4-5 jam per hari.
Oleh karena itu, Yayat berharap, dengan sang anak berada di panti anak jalanan atau rumah singgah, mereka bisa mendapatkan bimbingan intensif dari psikolog sehingga tak lagi turun ke jalan.
Permasalahan anak jalanan
Yayat menyebutkan, mayoritas permasalahan anak jalanan dipengaruhi oleh masalah keluarga. Misalnya, ekonomi keluarga lemah, kepedulian antar-anggota keluarga sangat kurang, dan keluarga tidak harmonis (perceraian orang tua). ”Anak jalanan itu merupakan bagian dari keluarga yang rentan,” kata Yayat.
Anak jalanan itu merupakan bagian dari keluarga yang rentan. (Yayat Duhayat)
Selain masalah keluarga, Yayat menambahkan, arus migrasi dan fenomena urbanisasi yang terlalu berpusat di Jakarta juga menjadi penyebab peningkatan jumlah anak jalanan. Ironisnya, warga yang berpindah itu tak memiliki modal besar, terutama keterampilan. Mereka akhirnya menganggur.
Bahkan, Yayat menyebutkan, hampir 60 persen anak jalanan di Jakarta berasal dari daerah lain, seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat.
”Anggapan mereka, Jakarta itu bagaikan madu, semua mudah untuk mencari uang. Nyatanya, tak semudah itu. Semua butuh usaha dan modal yang besar untuk hidup di Jakarta,” ucap Yayat.
Anggapan mereka, Jakarta itu bagaikan madu, semua mudah untuk mencari uang. Nyatanya, tak semudah itu. Semua butuh usaha dan modal yang besar untuk hidup di Jakarta
Seiring berjalannya waktu, ketika tak lagi memiliki tempat tinggal di Jakarta, mereka bergeser ke kota penyangga, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Secara terpisah, Wali Kota Depok Mohammad Idris membenarkan hal itu. Petugas satuan polisi pamong praja (satpol PP) kerap mendapati anak jalanan yang berasal dari Jakarta.
”Dari razia petugas kami (Satpol PP), banyak anak-anak dari Jakarta tertangkap. Ya, kami harus pulangkan lagi ke rumah asalnya,” kata Idris.
Oleh karena itu, menurut Idris, persoalan anak jalanan tak akan bisa tertangani dengan baik jika sinergisitas antar-pemda serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) masih lemah. Sinergisitas ini, lanjut Idris, sangat penting agar disepakati payung hukum yang mengatur, mulai dari penertiban, pembinaan, pendidikan, pekerjaan, hingga rehabilitasi bagi anak jalanan.
”Yang utama memang payung hukum karena menyangkut perlindungan anak. Semua harus bergerak karena ini juga menyangkut kekuatan APBD masing-masing pemda seperti apa,” ujar Idris.
Di Depok, lanjut Idris, cukup beruntung memiliki komunitas Sekolah Masjid Terminal (Master) yang menjadi ruang bagi anak-anak untuk mengecap pendidikan gratis. Namun, kata Idris, itu saja tidak cukup.
Dia pernah memiliki program kartu izin mengamen yang bisa digunakan anak-anak untuk berkarya di kafe-kafe dan mal. Sayangnya, program ini tidak berlangsung lama karena tidak banyak kafe dan mal yang mau menampung mereka.
”Artinya juga perlu sinergisitas dengan perusahaan,” kata Idris.
Pendiri Sekolah Masjid Terminal (Master) di Depok, Nurrohim, mengatakan, permasalahan anak jalanan ada dua, yakni ketidakberdayaan keluarga dalam mengurus anak dan ketidakberpihakan kebijakan pemerintah terhadap anak. Kesimpulan itu dia dapatkan setelah hampir 19 tahun bergelut di pendidikan anak jalanan.
Permasalahan anak jalanan ada dua, yakni ketidakberdayaan keluarga dalam mengurus anak dan ketidakberpihakan kebijakan pemerintah terhadap anak. (Nurrohim)
”Saya melihat, mereka (anak jalanan) ini sebagai korban dari dua permasalahan itu,” ujar Rohim, panggilan Nurrohim.
Mengadu nasib
GP (14) merupakan satu dari sekian banyak anak yang terpaksa mengadu nasib di jalanan. Ia mewarisi keterbatasan ekonomi dari orangtuanya. Meski lahir dan besar di Jakarta, kedua orangtua GP tidak berasal dari Jakarta. Ayahnya berasal dari Purwakarta, Jawa Barat, dan sang ibu berasal dari Brebes, Jawa Tengah. Masing-masing merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib sampai akhirnya bertemu dan menikah.
Ayah dan ibu GP datang ke Jakarta tanpa bekal pendidikan dan keterampilan yang cukup untuk bersaing mencari pekerjaan. Sulitnya mencari pekerjaan membuat ayah GP bekerja sebagai juru parkir di Sabang, Jakarta Pusat. Sementara ibunya bekerja sebagai tukang cuci setrika di daerah Slipi, Jakarta Barat.
Keterbatasan ekonomi dan kesibukan kedua orangtuanya membuat GP turun ke jalan menjual tisu saat berumur 7 tahun. ”Dulu itu lihat teman-teman jual tisu, saya ikutan di daerah Sabang. Jual tisu di sana karena ada ayah juga, jadi ada yang jagain. Sebenarnya ibu melarang, tetapi mau gimana lagi, kondisi susah. Lumayan saat itu jual tisu bisa dapat Rp 20.000-30.000 per hari,” kata anak kedua dari tiga bersaudara itu.
Keterbatasan ekonomi dan kesibukan kedua orangtuanya membuat Gita turun ke jalan menjual tisu saat berumur 7 tahun.
Karena keterbatasan ekonomi pula, GP tidak bisa melanjutkan sekolah ke tingkat menengah pertama. Sampai umur 11 tahun, Gita tak lagi menjual tisu. Ia beralih profesi menjadi pengamen hingga saat ini.
Sehari-hari GP mengamen di sekitar Sabang-Sarinah, tetapi dalam kurun waktu 6 bulan ia sesekali pergi ke Depok untuk mengamen. Penghasilannya pun meningkat. Dalam sehari, Gita bisa mendapatkan Rp 50.000-80.000, bahkan tak jarang sampai lebih dari Rp 100.000. Selain digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, uang tersebut ia berikan ke ibunya untuk membantu perekonomian keluarga.
Sementara itu, AAS (18), mengaku, dirinya sudah berkeliaran di jalanan sejak umur 12 tahun. Saat itu kondisi keluarganya sedang hancur. Orangtua AAS bercerai.
Perceraian itu membuat AAS hanya tinggal bersama ibunya di Pondok Cina, Depok. Mereka hidup serba berkekurangan. ”Ngaruhnya ke gue. Jadi, mending keluar dari rumah dan mengamen,” ujar AAS.
Baca juga : Sekolah untuk yang Terabaikan
Baca juga : Surabaya Cari Solusi Menghadang Anak Putus Sekolah