SKB 11 menteri dan kepala lembaga negara bertujuan meredam ujaran kebencian, dan jangan sampai mengganggu kinerja serta tidak menghalangi kebebasan ASN.
JAKARTA, KOMPAS - Dewan Perwakilan Rakyat mengingatkan agar Surat Keputusan Bersama 11 menteri dan kepala lembaga negara tentang Penanganan Radikalisme pada Aparatur Sipil Negara memiliki indikator larangan yang jelas agar SKB tersebut tidak disalahgunakan. Ketentuan di SKB juga jangan sampai menyasar para ASN yang kritis terhadap instansi dan pemerintah secara umum.
Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/11/2019), mengkhawatirkan SKB bisa mengganggu kinerja ASN. Sepuluh larangan di SKB tidak hanya akan membuat ASN berhati-hati berpendapat, tetapi juga bisa menghalangi kebebasannya mengkritik.
Untuk itu, Doli meminta parameter lebih tegas dan rinci soal tindakan apa yang dilarang di SKB. Jika tidak, suara kritis ASN bisa disalahartikan sebagai pelanggaran poin pertama dalam SKB. Poin pertama berisi penyampaian pendapat, lisan maupun tertulis lewat media sosial, yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
Sebelum parameter itu dirumuskan, perlu tenggat memproses uji publik penerbitan SKB. ”Pemerintah harusnya bisa terbuka menerima masukan dan berdialog,” kata Doli.
Sebagaimana diketahui, selain membentuk tim satuan tugas menangani potensi radikalisme ASN, SKB juga membuka akun pelaporan bernama aduanasn.id, dan pengaturan 10 jenis pelanggaran yang bisa dilaporkan melalui portal itu.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Sodik Mudjahid, menyatakan, iklim demokrasi yang ditandai kebebasan berpendapat, berekspresi, dan menentukan sikap, SKB dengan indikator dan parameter yang tidak jelas bisa memundurkan demokrasi.
”Memang, ASN harus profesional, tetapi saat mereka sangat dibatasi, profesionalismenya terganggu. Jika diperlakukan represif, ASN semakin tidak loyal dan memendam sesuatu,” ujar Sodik.
Hal senada diungkapkan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati. Secara terpisah, ia mengatakan, meskipun menyasar ASN, SKB bisa menghalangi kebebasan berpendapat. Terlebih lagi kriteria radikal dan intoleran tidak dirinci dan rumusan pasalnya ” karet”. ”Masalah utama tentang cakupan radikalisme. Salah satunya, intoleran. Padahal, intoleran dan radikalisme berbeda. Kategori kebencian juga tak terukur,” tutur Asfinawati.
Pengamat terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst, Harits Abu Ulya, mengatakan, pemerintah perlu menjelaskan definisi radikalisme. Tanpa definisi jelas, penanganannya bisa tidak tepat.
Meredam ujaran kebencian
Terkait kritik terhadap SKB, Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo mengatakan, pemerintah tidak antikritik, termasuk otokritik dari para ASN. Para pegawai pemerintahan tetap dapat menajukan kritik lewat prosedur dan mekanisme biasa.
”Pemerintah sama sekali tidak alergi terhadap kritik. Kami hanya tidak mau bagaimana kemudian ujaran kebencian menjadi konsumsi sehari-hari,” kata Pramono di kompleks Sekretariat Negara.
Sementara, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Haryono seusai rapat dengan DPR mengatakan, SKB justru untuk mendorong sikap teladan para ASN. Untuk mencegah ASN terseret paham intoleransi dan radikalisme, perlu regulasi tegas.
Selama ini, tutur Haryono, banyak contoh ASN yang mengumbar ujaran kebencian dan mencaci-maki pimpinannya serta instansi negara. Peringatan sudah dilayangkan. Namun, pendekatan seperti itu tak mampu mengurangi intensitas mengumbar kebencian oknum ASN lewat media sosial. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu tindakan tegas yang dikeluarkan melalui SKB.
”Itu konsekuensi bahwa Pancasila sebagai dasar negara, sasaran utamanya bukan rakyat. Jangan dorong rakyatnya Pancasilais, tetapi pejabat dan aparatnya tidak Pancasilais. Kalau ASN sebagai mesin pemerintah saja tak bisa, apakah mungkin pemerintahnya bisa menjalankan Pancasila dengan baik?” kata Haryono balik bertanya.
Sebagai pejabat yang digaji oleh negara dan sudah bersumpah untuk setia kepada Pancasila, lanjutnya, ASN memang perlu diatur. Kebebasan ASN tetap harus terikat dan tertib sesuai etika dan aturan yang berlaku. Ia juga menjamin akan adanya aturan dan penjelasan terkait indikator tindakan yang dilarang agar penerapannya tidak diinterpretasikan secara karet.