”Daripada nyopet, daripada maling,” ujar bocah pengamen ondel-ondel, Farel Lediansyah (12). Alasan itu sudah klasik dijadikan pegangan hidup anak-anak pengamen untuk terus berkarya di jalanan Jakarta.
Oleh
J Galuh Bimantara
·5 menit baca
”Daripada nyopet, daripada maling,” ujar bocah pengamen ondel-ondel, Farel Lediansyah (12). Alasan itu sudah klasik dijadikan pegangan hidup anak-anak pengamen untuk terus berkarya di jalanan Jakarta. ”Ideologi” ini pun sukses membuat mereka meraup rupiah secara instan sehingga melestarikan eksistensi anak jalanan di Ibu Kota.
Berkaus garis-garis, bercelana pendek, serta mengenakan topi, Farel berjalan menyusuri toko-toko, warung-warung, dan lapak pedagang di Pasar Warakas, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, dalam gelapnya malam di hari Senin (18/11/2019). Ia menyetel muka memelas, menyodorkan wadah cat ke para konsumen di pasar, kemudian berjalan lagi ke arah konsumen lain. Kebanyakan yang didatangi memberikan uang logam dan memasukkannya ke wadah cat tersebut. Kecrik!
Sebagai ”tanda terima kasih” atas kebaikan hati para pemberi uang, mitra Farel, Gilang Syahputra (17), yang mengenakan kostum ondel-ondel berbaju biru setinggi 2 meter, menghibur para pembeli di pasar. Ia mendorong gerobak berisi pengeras suara yang mengumandangkan lagu-lagu dengan alunan melodi dari tehyan (alat musik gesek). Untuk menyemarakkan, Gilang beberapa kali berhenti lantas berputar-putar sehingga ondel-ondel seakan sedang menari ikuti irama.
Namun, mereka paham betul tidak semua orang terhibur. Ada juga yang merasa terganggu dengan alunan lagu saking tingginya volume suara dari alat pengeras. ”Berisik lu!” ucap Farel meniru salah satu lontaran makian yang pernah diterimanya.
Meski demikian, bocah laki-laki asal Kemayoran, Jakarta Pusat, itu terus bertahan. Cita-cita membeli ponsel pintar dari tabungannya sendiri meneguhkan pendiriannya untuk setiap hari bersama Gilang mengamen ondel-ondel di Warakas. Farel sudah dua tahun melakoni profesi ini, sedangkan Gilang yang sekaligus tetangga rumahnya telah tiga tahunan mengamen ondel-ondel.
Cita-cita membeli ponsel pintar dari tabungannya sendiri meneguhkan pendiriannya untuk setiap hari bersama Gilang mengamen ondel-ondel di Warakas.
Di lingkungan tempat tinggal mereka, hampir semua keluarga memiliki ondel-ondel. Jika sedang ada hajatan, anak-anak hingga para pemuda di sana terlibat meramaikan pertunjukan kesenian ondel-ondel dengan diiringi alat musik asli. Farel biasanya memainkan kenong.
Ayah Farel berprofesi sebagai pemborong percetakan, sedangkan ibunya asisten rumah tangga di suatu rumah indekos. Untungnya, anak kedua dari tiga bersaudara itu masih ingat kewajiban utamanya sebagai siswa kelas enam pada sebuah sekolah dasar di Kemayoran. ”Kalau ada PR (pekerjaan rumah), saya kerjakan dulu. Saya rangking satu, tanya aja (ke Gilang),” tegas dia yang diamini oleh Gilang.
Kalau ada PR (pekerjaan rumah), saya kerjakan dulu. Saya rangking satu, tanya aja (ke Gilang). (Farel)
Mereka biasanya mulai mengamen setelah waktu shalat Ashar kemudian pulang sekitar pukul 21.30. Bajaj langganan mereka mengantar dan menjemput di titik yang sama, yakni dari dekat Astra Daihatsu di Sunter Jaya, Tanjung Priok.
Dalam semalam, rata-rata mereka mengumpulkan Rp 400.000 dan bisa mencapai Rp 550.000 jika Pasar Warakas sedang ramai orang. Dari uang tersebut, mereka sisihkan Rp 40.000 untuk setoran ke kakak Gilang serta Rp 55.000 untuk menumpang bajaj. Kakak Gilang mendapat bagian karena menyediakan kostum serta gerobak berpengeras suara. Sisa uang lantas dibagi rata antara Gilang dan Farel.
Gilang menyatakan, ia melarang Farel mengikuti dirinya yang menggunakan uang untuk juga membeli rokok. ”Karena dia masih sekolah, enggak saya bolehin,” ujar pemuda yang belum tamat SD itu.
Mengamen ondel-ondel jadi pilihan terbaik bagi Gilang lantaran selain ondel-ondel sudah lekat dengan kesehariannya di tempat tinggal, ia juga menyadari tingkat pendidikan yang rendah menyulitkan dia mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan. Farel dengan tujuan hidupnya sendiri lantas mengikuti langkah Gilang.
Di pelintasan sebidang rel kereta dekat Stasiun Palmerah, Jakarta Pusat, pemandangan anak-anak yang akrab dengan kehidupan jalanan juga terpampang. Pada Minggu (17/11/2019) sore, misalnya, dua anak perempuan dan satu anak laki-laki menjajakan tisu kepada para pengendara yang berhenti saat lampu merah di seberang Kompleks Parlemen Senayan.
Kedua anak perempuan tadi lebih banyak bermain, tetapi si anak laki-laki lebih serius menjalankan tugasnya. Dengan muka datar dan suara lirih, ia yang kemudian diketahui berinisial RJ (10) mendatangi satu per satu pengendara sambil menyodorkan tisu. ”Om, tisunya, Om,” ucapnya dengan tempo sedikit pelan.
RJ rupanya bersaudara dengan salah satu anak perempuan yang berinisial SW (6). Dari pinggir jalan, mata ibu mereka, IS (29), mengawasi.
Keluarga IS boleh dikata sebagai keluarga jalanan. Sebab, dua anaknya yang lain, M (4) dan AAM (3), ikut disertakan ke Palmerah. IS juga berprofesi sebagai penjual tisu, sedangkan suaminya, SUR (35), berkreasi dengan menjadi manusia silver.
Tidak adanya orang yang bisa dititipi menjaga anak-anaknya jadi alasan IS mengajak seluruh anak dia ke jalanan. ”Benar-benar tidak ada saudara di sini. Mama di kampung di Pemalang (Jawa Tengah) udah tua banget, enggak mungkin semua dibawa ke Mama, kan,” katanya.
Bekerja di jalanan memungkinkan IS mencari nafkah sekaligus menjaga anak-anaknya. Penghasilan dia lebih tinggi saat berjualan tisu di jalan dibanding ketika dulu menjadi buruh cuci dan setrika. Dari sebelumnya hanya mendapat Rp 500.000-Rp 750.000 per bulan, ia serta anak-anaknya sekarang mendapatkan rata-rata lebih dari Rp 1 juta per bulan.
Risiko tergaruk petugas satuan polisi pamong praja tak dihiraukan IS meski ia sudah mengalaminya berkali-kali. ”Ya kalau enggak ke sini, makan dari apa,” ujar IS.
RJ mengatakan, ia masih bersekolah di salah satu SD negeri di daerah Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, dan belajar di kelas lima. Ia membantu menjual tisu seusai jam sekolah.
Menurut RJ, tidak ada orang-orang jahat yang mengganggu mereka di Palmerah. Ia dan adik-adiknya juga berkawan dengan anak-anak lain sesama pekerja jalanan. Bahkan, kadang-kadang mereka bermain petak umpat, entah mereka bakal bersembunyi di mana.
Tidak ada orang-orang jahat yang mengganggu mereka di Palmerah. Ia dan adik-adiknya juga berkawan dengan anak-anak lain sesama pekerja jalanan. Bahkan, kadang-kadang mereka bermain petak umpat, entah mereka bakal bersembunyi di mana.
Berdasarkan data penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang diunggah di laman data.jakarta.go.id pada 2018, terdapat total 787 anak jalanan di DKI dengan jumlah terbanyak ditemukan di Jakarta Barat, yakni 263 anak.