Ekspor Karet Remah Menurun, Pabrik di Sumut Terus Terpuruk
Berbagai langkah harus diambil untuk menyelamatkan industri karet nasional. Peningkatan serapan karet dalam negeri, yang saat ini baru 15 persen dari produksi nasional, dinilai jadi solusi untuk meningkatkan harga karet.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Ekspor karet remah dari Sumatera Utara periode Januari-Oktober 2019 menurun hingga 9,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Penurunan ekspor terjadi karena produksi karet petani yang tidak bergairah akibat harga yang masih rendah. Pabrik karet remah pun terpuruk akibat kekurangan bahan baku.
”Dua dari 30 pabrik karet remah di Sumut sudah berhenti beroperasi karena kekurangan bahan baku. Pabrik lainnya mengurangi jam produksi karena bahan baku karet dari petani hanya mampu menutupi 50 persen dari kapasitas terpasang,” kata Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Utara Edy Irwansyah di Medan, Senin (25/11/2019).
Penurunan produksi karet remah ini juga tergambar dari berkurangnya volume ekspor. Edy menjelaskan, ekspor karet remah dari Sumut periode Januari- Oktober 2019 sebanyak 345.808 ton, menurun dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 yang sebesar 382.964 ton dan pada 2017 sebesar 431.900 ton.
Edy menjelaskan, petani kini tidak bergairah lagi menyadap karet karena harga getah karet yang bertahan berkisar Rp 4.500-Rp 6.000 per kilogram di tingkat petani. Padahal, petani pernah menikmati Rp 15.000 per kilogram beberapa tahun sebelumnya.
”Petani bisa bergairah lagi menyadap karetnya jika harga di tingkat petani paling tidak Rp 10.000 per kilogram. Harga itu bisa memenuhi kebutuhan dasar petani. Jika tidak, mereka akan beralih ke pekerjaan lain,” ujar Edy.
Penurunan produksi karet petani ini juga telah memukul pabrik karet remah di Sumut. Saat ini produksi karet remah di Sumut hanya sekitar 400.000 ton per tahun. Padahal, kapasitas terpasang pabrik karet remah 820.000 ton per tahun. Bahan baku ini sebagian didapat dari Aceh, Riau, Jambi, dan Kalimantan.
Krisis bahan baku ini juga membuat dua dari 30 pabrik karet remah di Sumut berhenti beroperasi. Pabrik lainnya bertahan dengan mengurangi jam produksi menjadi 1-3 hari dalam sepekan. Pabrik mengurangi jam produksi dan merumahkan sebagian karyawan.
Langkah mendesak
Edy mengatakan, berbagai langkah harus diambil untuk menyelamatkan industri karet nasional. Peningkatan serapan karet dalam negeri, yang saat ini baru 15 persen dari produksi nasional, dinilai menjadi solusi untuk meningkatkan harga karet.
Edy pun mengapresiasi langkah pemerintah yang mencanangkan pencampuran karet dengan aspal. Namun, pada 2019 pencampuran karet ke dalam aspal baru 2.500 ton, masih belum cukup berpengaruh terhadap produksi nasional yang mencapai 3,6 juta ton.
Di Kabupaten Mandailing Natal, para petani karet beralih menjadi petambang emas rakyat.
Mislan Purba, petani karet yang juga Kepala Desa Bah Damar, Kecamatan Dolok Merawan, Serdang Bedagai, mengatakan, harga karet di desanya kini berkisar Rp 4.500-Rp 5.000 per kilogram. Harga itu menurun sejak awal tahun yang sempat menyentuh Rp 6.500 per kilogram.
Mislan mengatakan, produksi karet berkurang karena banyak petani yang menebang tanamannya atau membiarkannya terbengkalai tidak disadap. Petani yang rata-rata punya 4.000 meter persegi kebun karet kini hanya mendapat sekitar Rp 200.000 per minggu. Sementara penyadap karet hanya bisa mendapat Rp 100.000 per minggu.
Warga yang merupakan penyadap karet sebagian besar beralih ke pekerjaan lain seperti pemanen sawit atau pekerja bangunan karena penghasilannya lebih baik.
Di Kabupaten Mandailing Natal, para petani karet beralih menjadi petambang emas rakyat. Pertambangan kini menjamur di sepanjang Sungai Batang Natal. Ali Bustami Nasution (60) membiarkan 5 hektar kebun karetnya terbengkalai tidak disadap. Ia memilih menjadi pekerja tambang dengan penghasilan Rp 100.00 hingga Rp 150.000 per hari. ”Kalau dari karet, kini saya hanya dapat Rp 50.000 sehari,” ujarnya.