ITB Dokumentasikan Gedung Unik Liga Film Mahasiswa
Akademisi dari Insititut Teknologi Bandung mendokumentasikan secara lengkap Gedung Liga Film Mahasiswa (LFM) ITB dalam format digital.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Akademisi dari Kelompok Keahlian Sejarah, Teori dan Kritik Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Insititut Teknologi Bandung, Arif Sarwo Wibowo, bersama tim, mendokumentasikan secara lengkap Gedung Liga Film Mahasiswa (LFM) ITB dalam format digital. Pendokumentasian dilakukan sebagai pendataan arsip terbaru sekaligus upaya konservasi bangunan untuk perawatan dan peningkatan fasilitas ke depan.
Gedung LFM ITB memiliki sejarah unik. Tahun 1939, saat ITB masih bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng, dibangunlah sebuah gedung baru di sebelah utara Barakgebouw B (sekarang Aula Timur). Dulu, gedung ini dibangun untuk mengantisipasi meningkatnya jumlah mahasiswa. Dengan kapasitas 140 orang, gedung ini mulai digunakan pada Agustus 1940 untuk perkuliahan ilmu bahan bangunan. Ruang perkuliahan di dalamnya dinamakan “Zaal VI” atau “Ruang VI”.
“Karena desainnya berbentuk amphitheater, gedung ini sering digunakan sebagai bioskop mahasiswa yang diadakan oleh LFM ITB. Maka, gedung ini akrab disebut dengan nama “Gedung LFM”. Sampai sekarang, ruangan di dalamnya masih digunakan sebagai tempat kuliah umum dengan nomor R. 9009,” kata Arif, Senin (25/11/2019) saat dihubungi dari Jakarta.
Cagar budaya
Gedung LFM ITB masuk dalam kategori sebagai bangunan cagar budaya karena telah memenuhi beberapa kriteria bangunan cagar budaya menurut UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sejumlah kriteria itu, antara lain, berusia 50 tahun atau lebih; mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun; memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Gedung LFM ITB merupakan salah satu peninggalan bersejarah dari para pendahulu civitas academica ITB. Gedung ini juga merupakan salah satu bangunan dengan gaya Indisch yang merupakan gaya khas dari arsitek populer Hindia Belanda abad ke-20 yang bernama Henri Maclaine Pont yang diterapkan pada Bangunan Aula Barat dan Aula Timur ITB.
Maclaine Pont melakukan inovasi dengan memodernisasi konsep bangunan tradisional lokal yang responsif terhadap kondisi negara tropis. Pendekatan desain yang demikian inilah yang kemudian diteruskan dalam pembangunan beberapa gedung lainnya di Kampus ITB Ganesha, termasuk Gedung LFM ITB ini.
Gedung LFM ITB sebagai bagian dari sejarah berkembangnya kampus tersebut menyimpan identitas dan karakter ITB yang sangat kental, sehingga sudah sepatutnya mendapatkan perhatian untuk dilestarikan. Pelestarian dapat dilakukan dengan cara melindungi, mengembangkan serta memanfaatkan cagar budaya tersebut. Proses pendokumentasian Gedung LFM ITB dibiayai dengan dana hibah dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat ITB.
Pendataan obyek pemajuan kebudayaan
Semua inilah yang kita rangkum menjadi strategi kebudayaan untuk 20 tahun ke depan.
Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, pemerintah daerah dan pusat mulai memetakan puluhan ribu obyek pemajuan kebudayaan (OPK), mulai dari cagar budaya, bahasa, manuskrip, adat-istiadat, seni, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, hingga ritus.
Dalam hal pelindungan OPK, terlihat bahwa selama ini belum ada sistem pendataan kebudayaan yang terpadu. Demikian pula belum ada mekanisme pelindungan terhadap aneka macam peninggalan budaya yang ada.
Hingga kini, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud telah menerima laporan dari sekitar 350 kabupaten/kota mengenai kekayaan dan kekuatan di daerah mereka. Secara bertahap, daerah- daerah lainnya akan mengirimkan peta kekayaan dan kekuatan budaya mereka sehingga terkumpul data budaya secara nasional.
Dalam laporan tersebut, tercatat 10.533 cagar budaya, 4.521 warisan budaya tak benda, 7.444 pengetahuan tradisional, 3.800 permainan rakyat, dan 8.224 jenis kesenian. Dari sisi infrastruktur, kekuatan lembaga kebudayaan yang tercatat mencapai 21.406 lembaga, 6.936 sarana prasarana pemerintah, dan 12.177 sarana prasarana masyarakat.
Hal itu menunjukkan kekayaan dan kekuatan budaya Indonesia luar biasa. Demikian pula, lembaga dan sarana prasarananya begitu banyak sehingga tidak perlu susah payah membangun kembali. ”Semua inilah yang kita rangkum menjadi strategi kebudayaan untuk 20 tahun ke depan,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid.