Kementerian Sosial menargetkan terbitnya regulasi daerah tentang Gerakan Sosial Indonesia Bebas Anak Jalanan di enam provinsi dan lima kabupaten/kota setiap tahun dalam kurun lima tahun.
Oleh
Ida Ayu Grhamtika Saitya
·5 menit baca
Pelaksanaan peraturan di daerah menjadi sarana penting untuk mengurangi jumlah anak jalanan. Sayang, di sejumlah wilayah, banyak problem regulasi belum tuntas. Sejumlah daerah tercatat sudah memiliki peraturan terkait perlindungan anak, baik khusus mengenai anak jalanan maupun kesejahteraan sosial secara umum. Sesuai data Kementerian Sosial, ada 15 provinsi yang memiliki peraturan yang di dalamnya mengatur anak-anak.
Dari 15 provinsi tersebut, tidak semuanya berupa peraturan daerah di tingkat provinsi. Provinsi Kalimantan Timur dan Kota Balikpapan sama-sama memiliki peraturan tentang perlindungan anak. Regulasi di tingkat provinsi mengatur tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak serta penanganan dan pemberdayaan penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Empat perda kota yang juga ibu kota provinsi adalah Makassar (Sulawesi Selatan), Palembang (Sumatera Selatan), Mataram (Nusa Tenggara Barat), dan Padang (Sumatera Barat). Sementara peraturan wali kota Balikpapan secara khusus mengatur penanganan anak jalanan integratif, berbasis masyarakat.
Di DKI Jakarta sejak 2007 sudah ada tiga peraturan yang secara tidak langsung berkaitan dengan anak jalanan. Pertama adalah Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Kedua, Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2014 tentang Satgas P3S (Pelayanan, Pengawasan, dan Pengendalian Sosial). Ketiga, Peraturan Gubernur Nomor 169 Tahun 2014 tentang Pola Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.
Kementerian Sosial menargetkan terbitnya regulasi daerah tentang Gerakan Sosial Indonesia Bebas Anak Jalanan di enam provinsi dan lima kabupaten/kota setiap tahun dalam kurun lima tahun. Bentuk regulasi daerah ini bisa berupa perda, peraturan gubernur, peraturan wali kota, atau peraturan bupati.
Perbandingan perda
Kehadiran regulasi daerah memang tidak serta-merta menurunkan jumlah anak jalanan di daerah tersebut. Dari 11 provinsi yang memiliki regulasi daerah di tingkat provinsi, diketahui tiga provinsi justru mengalami peningkatan jumlah anak jalanan, yakni Banten, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta.
Di Banten, pemerintah provinsi melalui Perda No 8/2010 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial melarang pemberian uang atau barang kepada gelandangan dan pengemis di jalan atau di tempat umum. Kelompok yang diatur upaya penanganannya antara lain anak balita telantar, anak telantar, dan warga lanjut usia telantar.
DKI Jakarta bahkan sejak 2007 melarang setiap orang atau badan untuk menjadi atau menyuruh orang lain menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil. Selain itu, ada larangan membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada mereka.
Berdasarkan data dari Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta, kini terdapat 279 titik rawan penyandang masalah kesejahteraan sosial, dengan anak jalanan termasuk di dalamnya. Paling tidak ada 22 rumah singgah dengan 2.339 orang binaan rentan menjadi anak jalanan dan 2 panti sosial asuhan anak yang membina 300 anak jalanan.
Peraturan anak jalanan
Di sisi lain, dari 15 daerah yang tercatat mempunyai regulasi terkait anak, hanya dua yang secara khusus mengatur anak jalanan. Kedua daerah tersebut adalah Provinsi DI Yogyakarta dan Kota Balikpapan.
Peraturan Wali Kota Balikpapan No 16/2016 tentang Penanganan Anak Jalanan Integratif Berbasis Masyarakat menjelaskan bahwa penanganan ini dilaksanakan oleh pemda dengan melibatkan lembaga kesejahteraan sosial dan komunitas pemerhati anak jalanan dalam rangka pemenuhan hak mereka.
Dalam peraturan ini, Pemerintah Kota Balikpapan tidak hanya menangani anak jalanan, tetapi juga memberdayakan keluarga. Bentuknya adalah bimbingan keterampilan dan kewirausahaan serta pemberian bantuan stimulan usaha ekonomi produktif. Dinas Sosial melalui pekerja sosial masyarakat melakukan pendampingan dan menyampaikan laporan secara periodik.
Berbeda halnya dengan DI Yogyakarta dengan Peraturan Gubernur No 31/2012 tentang Tata Cara Penjangkauan dan Pemenuhan Hak Anak yang Hidup di Jalan. Anak jalanan diupayakan untuk kembali ke orangtua atau keluarga asal. Hal ini dilakukan apabila orangtua atau keluarga asal dinilai siap menerima anak kembali.
Terdapat tiga hal yang dinilai sebagai parameter kesiapan tersebut, yakni kondisi mental, lingkungan, dan ekonomi. Prinsip penghargaan atas pendapat anak dan kepentingan terbaik untuk anak juga dipertimbangkan terkait upaya pengembalian anak ini.
Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota berwenang menetapkan dan melaksanakan regulasi lokal untuk mendukung gerakan Indonesia bebas dari anak jalanan, yang didorong pemerintah pusat. Apalagi, Kementerian Sosial secara khusus menilai daerah yang berhasil menangani anak jalanan, dari aspek kehadiran regulasi daerah dan menurunnya angka anak jalanan.
Sejak 2015, jumlah anak jalanan memang menurun setiap tahun. Terakhir pada tahun 2018 terdapat 12.000 anak jalanan yang tersebar di sejumlah wilayah. Data persebaran yang tercatat pada tahun 2017 menunjukkan daerah dengan keberadaan anak jalanan terbanyak adalah Jawa Barat.
Menemukan solusi
Faktor sosial dan ekonomi ditengarai menjadi penyebab utama anak-anak harus hidup atau bekerja di jalanan. Anak terpaksa mencari uang untuk membantu keluarga atau mencari sumber penghidupan karena sebatang kara di jalanan.
Berbagai program intervensi telah dilakukan pemerintah, tetapi tetap sulit untuk menyelamatkan anak jalanan. Sayang, situasi sosial dan ekonomi yang ada tidak serta-merta bisa diubah secara cepat dan mudah. Program penanganan anak jalanan akan gagal jika mengesampingkan hak anak dan kebebasan anak untuk memilih yang terbaik menurut mereka sendiri.
Pemahaman yang komprehensif atas persoalan yang membelenggu dan menghambat penanganan anak jalanan perlu segera diambil. Riset, baik kuantitatif maupun kualitatif, harus dilakukan pemerintah. Penelitian kuantitatif di tingkat nasional dilakukan untuk memetakan besarnya permasalahan anak jalanan dengan klasifikasi detail, setidaknya berdasarkan jenis kelamin dan usia.
Di sisi lain, penelitian kualitatif perlu dilakukan guna mengetahui akar permasalahan dari anak jalanan serta hubungan antara kemiskinan, ketimpangan, eksploitasi, dan kekerasan. Tujuan kedua jenis riset ini tentu untuk menghasilkan program yang lebih efektif demi penurunan angka anak jalanan.
Program yang menyasar anak jalanan seharusnya memperhatikan konteks yang lebih luas, yakni keluarga dan komunitas. Intervensi terhadap anak jalanan perlu fokus terhadap keluarga dan integrasi kembali anak dengan keluarga. Salah satunya dengan menguatkan kembali tanggung jawab orangtua terhadap anak mereka. Pilihan terakhir adalah di rumah singgah atau panti asuhan.
Pada akhirnya, tempat anak terbaik adalah di mana mereka merasa aman sehingga bisa mendapatkan yang terbaik. Tanggung jawab ini tidak hanya milik pemerintah, tetapi juga masyarakat. Sekecil apa pun kepedulian yang kita berikan pasti akan menyentuh hati anak-anak jalanan. (Litbang Kompas)