KPK Akan Pelajari Surat Grasi Terpidana Kasus Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan akan mempelajari surat terkait Keppres Nomor 23/G Tahun 2019 tentang pemberian grasi terhadap terpidana kasus korupsi sekaligus bekas Gubernur Riau 2014-2019 Annas Maamun.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan akan mempelajari surat terkait Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 tentang pemberian grasi terhadap terpidana kasus korupsi sekaligus bekas Gubernur Riau 2014-2019 Annas Maamun. Grasi tersebut berupa pemotongan masa tahanan selama satu tahun.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah melalui keterangan pers menyampaikan, KPK baru menerima surat dari Lapas Sukamiskin pada Selasa (26/11/2019) sore. Dengan tetap menghargai kewenangan Presiden Joko Widodo yang memberikan pengampunan atau grasi terhadap Annas Maamun, KPK akan mempelajari surat yang dikirim Lapas Sukamiskin.
Pada pokoknya, kata Febri, surat tersebut berisikan permintaan kepada KPK untuk melakukan eksekusi dan melaksanakan Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019. Keputusan ini diterbitkan sejak 25 Oktober 2019.
”Kami cukup kaget ketika mendengar informasi pemberian grasi terhadap Annas Maamun yang justru terlibat dalam sejumlah perkara korupsi yang ditangani KPK. Bahkan, kasus korupsi yang dilakukan terkait dengan sektor kehutanan, yaitu suap untuk perubahan kawasan bukan hutan untuk kebutuhan perkebunan sawit saat itu,” ujarnya.
Penanganan perkara terhadap Annas Maamun, kata Febri, telah melewati proses yang cukup kompleks dan membutuhkan waktu cukup lama sejak operasi tangkap tangan pada 25 September 2014 hingga putusan berkekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung pada 4 Februari 2016.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Ade Kusmanto membenarkan pemberian grasi yang dilakukan Presiden Joko Widodo. Grasi yang diberikan berupa pengurangan jumlah pidana dari pidana 7 tahun penjara menjadi 6 tahun penjara.
Namun, pidana denda Rp 200 juta subsider pidana kurungan 6 bulan tetap harus dibayar. Menurut data pada sistem basis data pemasyarakatan, Annas Maamun seharusnya bebas pada 3 Oktober 2021, tetapi akan bebas pada 3 Oktober 2020. Denda pun telah dibayar pada 11 Juli 2016.
Alasan Annas Maamun mengajukan grasi, kata Ade, karena alasan kepentingan kemanusiaan. Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 49 Tahun 2019 tentang Tata Cara Permohonan Grasi, pertimbangannya karena Annas Maamun telah berusia di atas 70 tahun, yaitu 78 tahun dan menderita sakit berkepanjangan.
”Dalam surat permohonannya, karena usia 78 tahun sudah uzur, sakit-sakitan, sudah mulai renta, kesehatan sudah mulai menurun. Mengidap berbagai penyakit sesuai keterangan dokter PPOK (COPD akut), dyspepsia syndrome (depresi), gastritis (lambung), hernia, dan sesak napas (membutuhkan pemakaian oksigen setiap hari),” kata Ade.
Berdasarkan Pasal 6A Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi, demi kepentingan kemanusiaan, Menteri Hukum dan HAM berwenang meneliti dan melaksanakan pengajuan grasi tersebut. Selanjutnya, Presiden dapat memberikan grasi setelah memperhatikan pertimbangan hukum tertulis dari Mahkamah Agung serta Menteri Hukum dan HAM.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menyatakan, keputusan Presiden Joko Widodo tentang pemberian grasi kepada Annas Maamun mesti dipertanyakan. Sebab, bagaimanapun kejahatan korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa. Untuk itu, pengurangan hukuman dalam bentuk dan alasan apa pun tidak dapat dibenarkan.
Misalnya saja, Presiden Joko Widodo berdalih karena rasa kemanusiaan sehingga mengeluarkan grasi kepada terpidana. Alasan itu tidak dapat dibenarkan karena indikator ”kemanusiaan” sendiri tidak dapat diukur secara jelas.
”Mesti dipahami bahwa terpidana yang diberikan grasi oleh Presiden Joko Widodo adalah seorang mantan kepala daerah yang awalnya diberikan mandat oleh masyarakat untuk menjadi gubernur, tetapi justru kepercayaan yang diberikan malah digunakan untuk melakukan kejahatan korupsi,” kata Kurnia.
Dengan demikian, jika konsep penegakan hukum seperti ini yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo, pemberian efek jera kepada pelaku korupsi tidak akan pernah tercapai sampai kapan pun. Untuk itu, Presiden Joko Widodo harus segera mencabut keputusan presiden itu.
Menerima suap
Dalam perkara ini, kata Febri, Annas Maamun menerima suap 166.100 dollar AS dari Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut. Suap terkait kepentingan memasukkan area kebun sawit dengan total luas 2.522 hektar di tiga kabupaten dengan perubahan luas bukan kawasan hutan di Riau.
Selain itu, Annas Maamun menerima suap Rp 500 juta dari Edison Marudut melalui Gulat Medali Emas Manurung. Suap terkait dengan pengerjaan proyek untuk kepentingan perusahaan Edison Marudut di lingkungan Provinsi Riau.
Annas Maamun juga menerima suap Rp 3 miliar dari janji Rp 8 miliar (dalam bentuk mata uang dollar Singapura) dari Surya Darmadi melalui Suheri Terta. Suap diterima untuk kepentingan memasukkan lahan milik sejumlah anak perusahaan PT Darmex Argo yang bergerak dalam usaha perkebunan kelapa sawit dalam revisi usulan perubahan luas kawasan bukan hutan di Riau.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan tiga tersangka lain pada 29 Maret 2019, yakni PT Palma Satu, Legal Manager PT Duta Palma Group Tahun 2014 Suheri Terta, serta pemilik PT Darmex Group/PT Duta Palma, Surya Darmadi.
”Perlu kita pahami, korupsi yang terjadi di sektor kehutanan memiliki akibat yang lebih besar terhadap hutan itu sendiri, lingkungan, dan kepentingan publik untuk lingkungan yang sehat,” kata Febri.