Masyarakat Sekitar Hutan Potensial Jadi Ujung Tombak Penanganan Konflik
Masyarakat yang bermukim dekat kawasan hutan potensial menjadi ujung tombak penanganan konflik antara manusia dengan satwa. Mereka perlu terus didampingi mengembangkan pengetahuan tentang masalah ini.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
KOTA AGUNG, KOMPAS – Masyarakat yang bermukim dekat kawasan hutan potensial menjadi ujung tombak penanganan konflik antara manusia dengan satwa. Mereka perlu terus didampingi mengembangkan pengetahuan tentang perspektif satwa liar dan penanggulangan konflik secara mandiri berbasis konservasi.
Salah satu desa yang telah mandiri menanggulangi konflik satwa dengan manusia adalah Desa Margomulyo, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Daerah ini menjadi satu dari 16 desa di Sumatera yang dinilai telah mandiri menangani konflik. Pada Senin (25/11/2019), warga menggelar kegiatan temu karya. Berbagai peralatan yang digunakan untuk mitigasi konflik dengan gajah dipamerkan dalam acara itu.
“Kami menggunakan kawat sirine dan alat dentuman untuk menghalau gajah. Alat ini aman digunakan dan murah,” ujar Ketua Satgas Mitigasi Konflik Manusia-Satwa Desa Margomulyo Suyono, disela-sela kegiatan.
Suyono menjelaskan, kawat sinire dipasang di dua jalur lintasan gajah di desa itu. Kawat itu berfungsi sebagai alat pendeteksi kedatangan gajah. Masyarakat yang mendengar bunyi sirine dapat langsung menyiapkan alat dentuman untuk menghalau gajah kembali ke dalam hutan.
Warga juga kini tidak lagi menanam pisang di perbatasan desa dengan hutan TNBBS. Mereka menyadari, tanaman pisang semakin membuat gajah tertarik masuk ke desa. Warga hanya menanam kopi, lada, dan pala di perbatasan hutan.
Sebagai desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, warga kerap berhadapan dengan kawanan gajah liar yang keluar dari hutan untuk mencari makanan. Komplotan gajah liar berjumlah 6-23 ekor sebelumnya kerap merusak kebun pisang warga.
Semula, warga tidak kompak dan tidak memiliki kemampuan menghalau gajah dengan baik. Warga pernah menggunakan bola api untuk mengusir gajah. Ternyata, alat itu justru membuat gajah merasa diserang dan semakin agresif. Bola api juga berbahaya karena dapat melukai tubuh gajah dan memicu kebakaran.
Sekretaris Desa Margomulyo Binarno mengatakan, pemerintah desa memberikan bantuan senter, handy talky, dan jas hujan untuk tim satgas. Selain itu, pemerintah desa juga memfasilitasi kegiatan pelatihan penanganan konflik.
Landscape Manager Program Bukit Barisan Selatan Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP) Firdaus Affandi menuturkan, penguatan mitigasi konflik di tingkat tapak penting karena masyarakat desa menjadi ujung tombak penanganan konflik satwa dan manusia. Dengan begitu, dampak negatif konflik, seperti kerusakan kebun warga hingga jatuhnya korban jiwa bisa ditekan.
Selama periode 2012-2018, WCS-IP mencatat ada 233 konflik manusia dengan gajah dan 128 konflik manusia dengan harimau di Bukit Barisan Selatan serta Bukit Balai Rejang Selatan. Di Lampung, konflik manusia dengan gajah telah menewaskan tiga orang dalam dua tahun terakhir.
Penguatan mitigasi konflik di tingkat tapak penting karena masyarakat desa menjadi ujung tombak penanganan konflik satwa dan manusia (Firdaus Affandi)
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Wiyogo Supriyanto mengapresiasi kemampuan warga mengatasi konflik berbasis konservasi. Kemampuan warga beradaptasi menjadi kunci keberhasilan bagi pembangunan kehutanan dan konservasi di Lampung.
Menurut dia, pemda berupaya membantu penanganan konflik melalui program rehabilitasi hutan dengan menyediakan pakan gajah di dalam hutan. Dengan begitu, pergerakan gajah ke luar kawasan bisa ditekan.