Menjaga Marwah Pusat Kebudayaan Jakarta
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mengungkapkan tujuan dibangunnya pusat kebudayaan Taman Ismail Marzuki di Ibu Kota. Sebuah fasilitas sebagai wadah menyuburkan kesenian Indonesia tanpa intervensi pemerintah/politik.
”Saya ingin menjadikan ibu kota Jakarta juga sebagai kota budaya, di mana kesenian Indonesia dalam segala cabangnya dapat muncul dan subur di pusat kebudayaan ini.” (Gubernur Ali Sadikin, Kompas 23 Oktober 1968)
Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) Ali Sadikin menyampaikan tujuan dibangunnya pusat kebudayaan di Ibu Kota. Sebuah fasilitas yang sedianya sebagai wadah untuk menyuburkan kesenian Indonesia. Pembangunan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki merupakan peristiwa monumental pada era setelah terjadinya gejolak politik 1965.
Ali Sadikin memandang perlunya kemerdekaan untuk kesenian dan budaya. ”Dalam pembinaan kehidupan kebudayaan di Ibu Kota dimana yang akan diwujudkan melalui Pusat Kebudayaan, politik tidak boleh lagi mengintervensi seperti di masa lalu.”
Pada 9 Mei 1968 diadakan pertemuan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan para seniman Indonesia di Taman Suropati, Jakarta. Hasilnya, disepakati batas-batas keterlibatan pemerintah dalam bidang kesenian yang diwujudkan di proyek Pusat Kesenian Jakarta.
Gubernur Ali Sadikin menyatakan ”Tugas kami Pemerintah Daerah ialah menyediakan infrastruktur, fasilitas berkreasi bagi saudara-saudara seniman dan budayawan di Ibu Kota. Selanjutnya kegiatan kreatif terserah kepada saudara-saudara. Kami pemerintah tidak akan turut campur.”
Pembangunan kawasan kesenian yang meliputi lahan seluas 61.400 meter persegi ini menjadi penanda kemerdekaan seniman dalam berkarya. Lokasi yang dipilih adalah bekas komplek Bioskop Garden Hall dan Kebun Binatang lama di Jalan Cikini Raya Nomor 73. Kawasan ini dahulu dikenal dengan nama Ruang Rekreasi Umum Taman Raden Saleh.
Empat bulan
Fasilitas yang dibangun, antara lain teater terbuka berkapasitas 2.500 penonton, teater tertutup dengan daya tampung 500 penonton, bangunan pameran berukuran 25 meter x 17 meter, sanggar kesenian yang terdiri dari empat bangunan, gedung pertemuan yang dapat memuat 800 penonton, dan teater arena berkapasitas 400 penonton.
Pembangunan dikerjakan dalam rentang waktu empat bulan. Proyek ini melibatkan 34 sarjana teknik dan 1.530 buruh, serta menelan biaya Rp 90 juta pada 1968 atau sekitar 216.868 dollas AS. Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki dapat diwujudkan dan diresmikan oleh Ali Sadikin pada 10 November 1968, (Kompas, 21/10/1968).
Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki diperuntukkan bagi seniman dari seluruh Indonesia. Terdapat dua jenis seni yang digelar. Seni hiburan dan seni kreatif. Seni hiburan digelar untuk fungsi menghibur masyarakat. Sementara kesenian kreatif ditujukan untuk penciptaan karya seni baru atau eksperimen tanpa memperhitungkan selera populer.
Panggung maestro
Taman Ismail Marzuki yang juga dikenal dengan sebutan TIM, menjadi etalase seni dari beragam cabang kesenian. Para maestro dari beragam seni mempersembahkan karya mereka di muka publik. Taman Ismail Marzuki menjadi panggung seniman-seniman kawakan nasional.
Pimpinan Teater Bengkel Yogyakarta WS Rendra, naik pentas di TIM pada 1969. Koreografer Sardono W Kusumo mementaskan tari Samgita Pancasona. Penari balet Farida Oetojo juga pernah unjuk kebolehan di pusat kesenian ini.
Berderet panjang nama-nama maestro yang pernah menampilkan karya di Taman Ismail Marzuki. Pelukis Affandi, Trisno Soemardjo, Hendra Gunawan, Agus Djaya, Oesman Effendi, S Sudjojono, Rusli, Rustamadji, Mustika mengisi etalase TIM dengan lukisan mereka.
Seniman Slamet Abdul Sjukur menggelar konser pianonya yang berjudul ”Sumbat”. Bagong Kusudiardjo dan Huriah Adam dengan keahlian koreografinya menampilkan rangkai gerak nan artistik.
Revitalisasi
Sayup-sayup terdengar kabar perbaikan atau revitalisasi kawasan Taman Ismail Marzuki. Sebenarnya rencana tersebut sudah ada sejak masa pemerintahan Gubernur Surjadi Sioedirja (1992-1997). ”DKI di Bawah Surjadi Sioedirja: Hutan Kota, Pelayanan dan Rumah Susun” adalah artikel harian Kompas yang memuat persoalan perkotaan yang dihadapi oleh pemerintah kala itu.
Di pengujung masa baktinya, Gubernur Surjadi Sioedirja mengucap soal perbaikan Jakarta salah satunya revitalisasi kawasan Taman Ismail Marzuki. Gubernur mendorong renovasi Taman Ismail Marzuki agar bisa menjadi tempat berkesenian taraf dunia (Kompas, 13/10/1996).
Krisis ekonomi keburu melanda Indonesia, revitalisasi belum jadi menyentuh Taman Ismail Marzuki. Berselang dua puluh tahun, yakni pada 2015 tampak ada aksi nyata dalam rangka meremajakan kawasan Taman Ismail Marzuki.
Gubernur Ali Sadikin menyatakan ”Tugas kami Pemerintah Daerah ialah menyediakan infrastruktur, fasilitas berkreasi bagi saudara-saudara seniman dan budayawan di Ibu Kota. Selanjutnya kegiatan kreatif terserah kepada saudara-saudara. Kami pemerintah tidak akan turut campur.”
Pada 2015 penataan kawasan Taman Ismail Marzuki dilakukan pada tempat parkir dan kompleks warung. Tempat parkir sepeda motor dan mobil yang semula di halaman tengah dipindah ke tempat parkir bawah tanah (Kompas, 28/2/2015).
Saat ini program revitalisasi kawasan Taman Ismail Marzuki ditangani PT Jakarta Propertindo (Jakpro). Melalui pengembangan infrastruktur dan kesenian, BUMD Provinsi DKI Jakarta tersebut berencana mengomersialkan kawasan Taman Ismail Marzuki.
Peletakan batu pertama telah dilaksanakan pada Rabu (3/7/2019). Kawasan Taman Ismail Marzuki direvitalisasi dengan desain ramah lingkungan, ramah disabilitas, dan mengoptimalkan ruang publik.
Revitalisasi Taman Ismail Marzuki akan didasarkan rancangan arsitek Andra Matin. Aset yang akan dikomersilkan adalah hotel berbintang lima dan galeri seni. Tujuannya supaya kegiatan kesenian di Taman Ismail Marzuki dapat mandiri secara finansial.
Kesenian publik
Langkah Pemprov DKI melalui BUMD-nya diprotes para seniman. Alasannya, komersialisasi Taman Ismail Marzuki menyalahi gagasan Ali Sadikin sebagai pendorong dibangunnya ruang cipta seni tersebut. Rencana komersialisasi dipandang sebagai wujud pendiktean terhadap seniman dalam ”bertahan hidup” secara finansial (Kompas, 18/7/2019).
Kendati menuai tentangan, revitalisasi kawasan yang menelan biaya Rp 1,8 triliun ini tetap dilaksanakan. Luas kawasan yang direvitalisasi 72.551 meter persegi. Revitalisasi dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama senilai Rp 200 miliar dari APBD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2019. Hotel, pusat kuliner, dan galeri seni menjadi objek proyek tahap pertama.
Berdasar rencana Jakpro, revitalisasi tahap dua dilakukan pada kurun waktu Januari 2020–Desember 2021. Fasilitas yang dibangun adalah Asrama Seni Budaya dan Teater Arena. Belum ada rencana lebih lanjut terkait revitalisasi tahap dua.
Revitalisasi Taman Ismail Marzuki diharapkan dapat mendukung kerja kreatif seniman Indonesia. Perbaikan juga dapat menjadikan kawasan Taman Ismail Marzuki memiliki infrastruktur bertaraf internasional, konten kesenian Jakarta berkelas dunia, sebagai destinasi kultural yang unggul, dan menjadi daya dukung landmark Jakarta.
Namun, penting juga untuk selalu mengingat tujuan keberadaan Taman Ismail Marzuki pada 1968. Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki merupakan sebuah wadah untuk menyuburkan kesenian Indonesia.
Revitalisasi harus diletakkan dalam kerangka mengoptimalkan ruang kesenian publik. Perbaikan fisik kawasan Taman Ismail Marzuki selayaknya juga memberikan sarana peningkatan kualitas mendekatkan kesenian kepada masyarakat umum. (Litbang Kompas)