Penanganan Anak Jalanan Belum Menyentuh Akar Persoalan
Penanganan anak jalanan sejauh ini belum menyentuh akar persoalan sehingga angka anak jalanan masih tinggi, terutama di Ibu Kota.
Penanganan anak jalanan sejauh ini belum menyentuh akar persoalan sehingga angka anak jalanan masih tinggi, terutama di Ibu Kota. Setiap pemerintah daerah didorong untuk ikut berperan menyelesaikan persoalan tersebut dengan menyediakan ruang-ruang informal bagi anak jalanan. Selain itu, gerakan di komunitas juga perlu terus digencarkan dalam upaya menciptakan kepedulian terhadap anak-anak itu.
Dinas Sosial DKI Jakarta menyebutkan, mayoritas permasalahan anak jalanan dipengaruhi oleh masalah keluarga. Misalnya, ekonomi keluarga lemah, kepedulian antar-anggota keluarga sangat kurang, dan keluarga tidak harmonis (perceraian orangtua).
Selain masalah keluarga, arus urbanisasi yang terlalu berpusat di Jakarta juga menjadi penyebab peningkatan jumlah anak jalanan. Ironisnya, warga yang berpindah itu tak memiliki modal besar, terutama keterampilan. Mereka pun akhirnya menganggur. Bahkan, hampir 60 persen anak jalanan di Jakarta berasal dari daerah lain, seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, mengatakan, ketimpangan antara kota dengan desa membuat pendatang ingin mengadu dan mengubah nasib di Jakarta. Namun, mereka kerap kali datang tanpa mempersiapkan keterampilan dan pendidikan yang cukup. Hal itu membuat mereka kalah bersaing dan terjerat dalam permasalahan ekonomi.
Akibatnya, mereka tinggal di wilayah padat atau di tanah ilegal. Bahkan, ada yang akhirnya sampai menikah dan mempunyai anak. Itu akan menjadi masalah bagi mereka karena akan kembali mewarisi permasalahan yang sama, yaitu ekonomi. Salah satu dampaknya adalah anak-anak akan turun ke jalanan.
”Perkampungan itu semakin bertumbuh sehingga membuat anak jalanan pun bertambah,” ujar Imam.
Untuk itu, lanjut Imam, pemerintah daerah perlu memperhatikan warganya dengan menciptakan lapangan pekerjaan atau melakukan penguatan pemberdayaan desa.
Di Jakarta sendiri, pemerintah daerah perlu serius menciptakan ruang informal untuk memfasilitasi anak jalanan, salah satunya dengan mengoptimalkan fungsi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Ruang informal tersebut sangat dibutuhkan sebagai tempat pencarian bakat dan minat anak. Dengan demikian, mereka tak lagi turun ke jalanan dan terhindar dari eksploitasi anak, kekerasan fisik dan seksual, serta jeratan narkoba.
”Sayangnya, tidak banyak RPTRA yang menjadi ruang sehat yang memfasilitasi minat dan bakat anak. RPTRA jangan sebatas fasilitas infrastruktur fisik semata, tetapi harus ada pengorganisasian yang menjalani program pendidikan, olahraga, seni, dan budaya,” ujar Imam.
”Sayangnya, tidak banyak RPTRA yang menjadi ruang sehat yang memfasilitasi minat dan bakat anak. RPTRA jangan sebatas fasilitas infrastruktur fisik semata, tetapi harus ada pengorganisasian yang menjalani program pendidikan, olahraga, seni, dan budaya,” ujar Imam.
Selain mengandalkan peran pemerintah, menurut Imam, gerakan dari komunitas pemerhati anak jalanan juga dibutuhkan. Komunitas atau lembaga sosial budaya yang peduli terhadap anak, saat ini sudah mulai banyak bermunculan.
”Di sini peran seseorang yang berjiwa pemenang untuk menuangkan hati dan jiwanya untuk anak-anak. Ada semboyan, perlu sekampung mendidik anak. Jadi kampung sebagai komunitas keilmuan, konsep itu perlu dibangun. Jangan melihat kampung sebagai tempat tinggal, tetapi harus menjadi area pendidikan anak,” tutur Imam.
Namun, Imam menilai, komunitas itu perlu lebih banyak mendapatkan perhatian dari pemerintah pula. Terciptanya komunitas di wilayah perkampungan Jakarta dan sekitarnya akan membangun lingkungan yang bertanggung jawab, saling menjaga, sehingga kasus kejahatan di jalanan, seperti tawuran, pelecehan seksual, dan narkoba, dapat diminimalkan.
”Keberadaan komunitas di lingkungan tersebut menjadi sangat menentukan bagi anak-anak yang rentan itu. Jika komunitas itu ada, akan menjadi magnet untuk anak terlibat dalam kegiatan sehingga kecenderungan anak ke jalan akan kecil karena mereka tertarik dengan kegiatan di komunitas yang sesuai minat dan bakat mereka. Ingat, sifat anak-anak itu bermain,” kata Imam.
Bantuan pemerintah
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta Yayat Duhayat menjelaskan, perhatian Pemerintah DKI terhadap anak jalanan adalah dengan menyediakan dua panti, yakni Panti Sosial Asuhan Anak Putra Utama (PSAA-PU) 2 di Plumpang, Jakarta Utara, dan PSAA-PU 4 di Cengkareng, Jakarta Barat.
Terhadap dua panti itu, ada dua bantuan yang rutin diberikan, yakni pendidikan dan layanan keterampilan.
Pemerintah DKI juga mengklaim selalu memenuhi hak sipil anak berkaitan akta kelahiran melalui rumah singgah. Dinas Sosial akan memberikan rekomendasi kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Pemerintah DKI juga mengklaim selalu memenuhi hak sipil anak berkaitan akta kelahiran melalui rumah singgah. Dinas Sosial akan memberikan rekomendasi kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Selain itu, Pemerintah DKI juga selalu menganggarkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar (PKD) sebesar Rp 300.000 per anak per bulan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada 2019, Pemerintah DKI sebenarnya mempersiapkan anggaran untuk 7.003 anak jalanan, tetapi hanya ada 1.251 anak yang menerima bantuan setelah melewati kajian.
”Itu dari tim kajian memang tidak semuanya dulu (diberi bantuan) agar bantuannya tepat, tidak salah sasaran. Kalau sumber datanya sih satu, melalui basis data kemiskinan terpadu yang dikeluarkan Kementerian Sosial,” ujar Yayat.
Yayat menyebutkan, uang yang tak terpakai kemudian dimasukkan kembali ke kas daerah. Namun, untuk 2020, dia sudah menargetkan ada 9.531 anak jalanan yang akan diberi bantuan PKD. Anggaran yang diusulkan lebih dari Rp 34 miliar.
Anggaran sebesar itu belum menyentuh anak-anak jalanan di 22 rumah singgah di Jakarta. Oleh karena itu, dia berharap, ke depan, pemerintah pusat dapat memasukkan anak-anak jalanan di rumah-rumah singgah itu ke dalam basis data kemiskinan terpadu.
Tak cukup program
Yayat menegaskan, program bantuan pemerintah kepada anak jalanan janganlah dipandang sebagai satu-satunya penyelesaian persoalan. Sebab, penanganan anak jalanan yang utama itu tetap kembali kepada keluarga.
Sebelumnya, Yayat menyebutkan, mayoritas permasalahan anak jalanan dipengaruhi oleh masalah keluarga. Misalnya, ekonomi keluarga lemah, kepedulian antar-anggota keluarga sangat kurang, dan keluarga tidak harmonis (perceraian orangtua).
Yayat menegaskan, program bantuan pemerintah kepada anak jalanan janganlah dipandang sebagai satu-satunya penyelesaian persoalan. Sebab, penanganan anak jalanan yang utama itu tetap kembali kepada keluarga.
”Jangan selamanya (anak ditaruh) di panti. Setelah program selesai, anak harus kembali ke keluarga. Masa depan anak ada di keluarga. Pemerintah hanya menopang, memfasilitasi saja. Jangan merasa (anak) dititip di panti, lalu bebas sebagai orangtua,” ucap Yayat.
Namun, jika anak itu sudah yatim piatu, lanjut Yayat, negara harus hadir menyelesaikan persoalan anak.
Yang terakhir, menurut Yayat, adalah pemerintah daerah harus ikut dalam menyelesaikan persoalan anak jalanan di wilayahnya. Seperti diketahui, Jakarta sebagai Ibu Kota selalu menjadi incaran orangtua atau anak jalanan dari daerah lain. Ironisnya, mereka yang datang ke Jakarta tanpa dibarengi dengan modal keterampilan.
”Jadi, penanganan ini harus komprehensif. Bahkan harus ada komitmen dari seluruh pemerintah daerah. Ketika kami (Pemerintah DKI) memulangkan (anak jalanan) ke daerah asal, ya harus diorangkan di daerahnya,” ujar Yayat.
Terhambat
Ria Lestari (20), pengamen asal Depok, kerap terjaring razia oleh petugas Satpol PP. Setiap kali tertangkap, ia selalu dinasihati untuk tidak mengamen lagi dan mencari pekerjaan.
”Lah gimana kami mau cari kerja jika tidak punya ijazah karena tak mampu sekolah? Pemerintah juga seharusnya membantu kami dengan memberikan pelatihan, arahan, dan realisasinya,” kata Ria.
”Lah gimana kami mau cari kerja jika tidak punya ijazah karena tak mampu sekolah? Pemerintah juga seharusnya membantu kami dengan memberikan pelatihan, arahan, dan realisasinya,” kata Ria.
Ria pun melanjutkan, selama ini ia dan teman-temannya tidak pernah mendapatkan pelatihan atau program bantuan dari pemerintah. Bantuan hanya didapatkan dari komunitasnya, Sekolah Masjid Terminal (Master), di Depok.
Pendiri Sekolah Master di Depok, Nurrohim, menuturkan, setiap pemerintah daerah harus mempunyai perhatian yang sama terhadap anak jalanan, seperti pemenuhan hak sipil, akta kelahiran, dan kartu keluarga. Selain itu, anak-anak tersebut juga harus diberi pelatihan dengan mitra pemerintah sehingga mereka memiliki kepastian keberlanjutan hidup dan tak lagi turun di jalan.
”Belum ada sinergi antara pemerintah dan kalangan usaha. Pemenuhan hak-hak yang seharusnya tugas negara saja, kami yang urus. Negaranya tidur,” ucap pria yang akrab disapa Rohim ini.
Seperti diketahui, di Sekolah Master, Rohim yang dibantu Lembaga Bantuan Hukum ikut mengadvokasi setiap permasalahan anak jalanan, seperti kelengkapan identitas. Ada empat divisi di sana, yakni kesehatan, pendidikan, advokasi, dan pemberdayaan ekonomi.
”Kami enggak akan pernah menyerah untuk memperjuangkan hak mereka,” kata Rohim.
Baca juga : Sekolah untuk yang Terabaikan
Baca juga : Surabaya Cari Solusi Menghadang Anak Putus Sekolah