Penertiban Sejumlah Reksa Dana Turut Tekan Pasar Modal
Banyaknya saham berkapitalisasi tinggi yang menjadi portofolio dalam sejumlah reksa dana yang dibubarkan bisa berimbas pada tertekannya IHSG pada perdagangan ke depan. Sulit bagi IHSG untuk naik dalam waktu dekat ini.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Harga Saham Gabungan bergerak lesu pada perdagangan Selasa (26/11/3019). Selain data ekonomi makro domestik yang tak sesuai harapan serta tak kunjung menentunya situasi ekonomi global, pembubaran sejumlah reksa dana oleh otoritas pun turut menekan pasar saham.
Pada penutupan perdagangan hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di level 6.026,19, turun 44,57 poin atau 0,73 persen dari posisi hari sebelumnya di level 6.070,76. Investor asing mencatatkan aksi jual mencapai Rp 1,57 triliun.
Dengan kinerja tersebut, indeks dalam negeri sudah terkoreksi selama tiga hari berturut-turut. Sementara bursa saham Asia lainnya ditutup dengan kinerja yang bervariasi.
Indeks Nikkei 225 naik 0,35 persen. Adapun indeks Shanghai Composite naik tipis 0,03 persen. Sebaliknya, indeks Hang Seng turun 0,29 persen, begitu pula dengan indeks Strait Times yang turun 0,4 persen.
Analis pasar modal sekaligus pendiri LBP Institute, Lucky Bayu Purnomo, menilai sentimen utama penekan pasar modal berkutat pada proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 di ambang batas 5 persen. Capaian ini di bawah ekspektasi investor yang di awal tahun memprediksi pertumbuhan ekonomi bisa 5,3 persen.
Dari sisi eksternal, investor masih memiliki kekhawatiran terhadap sentimen global, mulai dari sengketa dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang tidak kunjung menemukan kesepakatan hingga RUU ekstradisi Hong Kong yang menyulut aksi demonstrasi.
”Perang dagang masih belum tuntas, kemudian kita ketahui angka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia tidak berada dalam level memadai,” ujarnya.
Perang dagang masih belum tuntas, kemudian kita ketahui angka pertumbuhan produk domestik bruto Indonesia tidak berada dalam level memadai.
Namun, di luar sentimen yang bersumber dari angka pertumbuhan ekonomi Indonesia dan ketidakpastian ekonomi global, menurut Lucky, investor juga turut memperhatikan aksi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menertibkan portofolio reksa dana.
”Beberapa produk reksa dana yang diterbitkan manajer investasi masuk pengawasan dan dibubarkan oleh otoritas. Tentu ini tidak luput dari perhatian investor,” ujarnya.
Beberapa produk reksa dana yang diterbitkan manajer investasi masuk pengawasan dan dibubarkan oleh otoritas. Tentu ini tidak luput dari perhatian investor.
OJK sebelumnya telah mengenakan sanksi berupa suspensi penjualan produk reksa dana keluaran PT Narada Aset Manajemen dan PT Minna Padi Aset Manajemen dengan alasan berbeda. OJK juga menjatuhi larangan penjualan reksa dana selama tiga bulan kepada PT Pratama Capital Assets Management.
Narada Aset Manajemen mendapatkan sanksi setelah mengalami gagal bayar dalam transaksi pembelian saham senilai Rp 177,78 miliar. Adapun Minna Padi Aset Manajemen dinilai menjual produk reksa dana berbasis saham dengan menjanjikan hasil investasi pasti (fixed rate).
Sementara itu, pembekuan reksa dana terbitan Pratama Capital Assets Management disebabkan adanya kepemilikan saham PT Kawasan Industri Jababeka Tbk yang melebihi batas maksimal 10 persen.
Peraturan OJK No.23/POJK.04/2016 melarang manajer investasi menerbitkan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif berupa kepemilikan efek yang diterbitkan oleh satu pihak lebih dari 10 persen dari nilai aktiva bersih.
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan, banyaknya saham berkapitalisasi tinggi yang menjadi portofolio dalam sejumlah reksa dana yang dibubarkan bisa berimbas pada tertekannya IHSG pada perdagangan ke depan.
Apabila terjadi pembubaran reksa dana, dalam waktu 60 hari kerja manajer investasi akan menjual saham. ”Sulit bagi indeks untuk naik dalam waktu dekat ini. Minimal hingga Desember 2019, indeks akan tertekan,” ujarnya.