Panjangnya jalur sepeda di Jakarta, yakni 63 kilometer, membuat penindakan atas pelanggar belum merata. Sebagian pengendara juga masih bebas melaju di jalur sepeda.
Oleh
ADITYA DIVERANTA/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun penindakan terhadap pelanggar jalur sepeda mulai dilaksanakan pada Senin (25/11/2019), jumlah pengendara kendaraan bermotor yang melintasi jalur sepeda masih banyak. Di sejumlah ruas jalan, banyak kendaraan bermotor yang berhenti di jalur sepeda.
Panjangnya jalur sepeda di Jakarta, yakni 63 kilometer, membuat penindakan atas pelanggar belum merata. Sebagian pengendara juga masih bebas melaju di jalur sepeda.
Acuk (42), pengojek daring yang biasa parkir di sekitar Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, percaya diri tidak akan ditilang petugas karena jalur sepeda belum banyak digunakan pesepeda sehingga masih boleh dilalui pengendara bermotor.
Fikri (26), pengendara sepeda motor, ditilang saat menerobos jalur sepeda di dekat halte bus Bank Indonesia. ”Sejak sebulan lalu, saya sering minggir di jalur hijau sepeda ini. Setahu saya, (jalur sepeda) ini belum ada aturannya kalau harus ditilang,” ujarnya kesal.
Padahal, Peraturan Gubernur Nomor 128 Tahun 2019 tentang Penetapan Jalur Sepeda disahkan pada Kamis (21/11/2019).
Bagi Julius Caesar (43), karyawan swasta yang tergabung dalam Bike to Work (B2W), perilaku pengendara bermotor masih sama saat sebelum ada aturan tentang jalur sepeda.
Ia menyadari jumlah petugas kepolisian dan dinas perhubungan terbatas sehingga tidak semua jalur sepeda bisa diawasi setiap saat. Untuk itu, ia menyarankan publik dilibatkan dalam pengawasan.
Petugas keamanan di gedung pertokoan atau perkantoran juga bisa diajak kerja sama untuk menegur pengguna jalan yang melanggar aturan jalur sepeda.
”Jumlah polisi yang mengawasi jalur sepeda tentu tidak banyak karena fungsi polisi tidak hanya untuk itu. Kenapa tidak mengajak masyarakat ikut mengawasi? Kontrol sosial yang baik akan meningkatkan keteraturan sosial,” tutur Julius.
Susanto (44), pesepeda yang berdomisili di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, percaya pengawasan jalur sepeda yang baik bisa mendorong lebih banyak warga bersepeda. Saat ini jumlah pesepeda rutin tidak banyak karena lalu lintas di Ibu Kota tidak teratur dan tidak aman.
”Sebetulnya masyarakat pengin bersepeda. Cuma, karena jalurnya kurang aman, mereka enggan,” katanya.
Selain itu, sebagian besar jalur sepeda di Jakarta belum nyaman. Sebagian jalur sepeda di Jalan Fatmawati Raya, misalnya, bergelombang dan berlubang. Pesepeda yang kurang mahir rentan kecelakaan.
Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum Polda Metro Jaya Komisaris Fahri Siregar mencatat terdapat 66 pelanggaran di jalur sepeda, kemarin. Pelanggaran didominasi pengendara sepeda motor dan terbanyak di Jalan Medan Merdeka Selatan.
Sementara berdasarkan data Dinas Perhubungan DKI, patroli bersama antara petugas Dinas Perhubungan dan polisi menindak 4 mobil dan 115 sepeda motor yang melanggar jalur sepeda.
”Petugas gabungan ada yang berpatroli, juga ada yang statis menjaga rute-rute. Dari patroli pukul 06.00-14.00, ada 119 kendaraan yang ditilang. Kalau pesepeda yang keluar jalur, kami tegur dan kami imbau untuk kembali ke jalur. Tak ada penindakan bagi mereka,” ujar Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo.
Sebanyak 74 petugas Dinas Perhubungan dan 26 polisi patroli pukul 06.00-14.00 dan pukul 14.00-22.00. Syafrin berharap pengendara memberi prioritas ke pesepeda.
Menurut rencana, Pemerintah Provinsi DKI bakal membangun total 200 kilometer jalur sepeda tahun 2020. Rencana ini setidaknya terungkap dalam pengajuan anggaran pembuatan jalur sepeda senilai Rp 62 miliar tahun depan.
Bidang khusus
Nirwono Joga, pengamat perkotaan, berpendapat, jika DKI serius mengelola kendaraan tidak bermotor (nonmotorized transportation/NMT), Dinas Perhubungan perlu membentuk bidang khusus NMT. Bidang itu bertanggung jawab pada sepeda, skuter atau otoped, dan pejalan kaki.
”Kalau saya review kembali kegagalan program sepeda (tahun 2009), karena di Dinas Perhubungan tak ada bidang yang bertanggung jawab mengawal program NMT. Program (jalur sepeda) ini tidak akan berkelanjutan begitu Pak Syafrin dipindah,” katanya.
Adanya bidang itu, jelas Nirwono, akan membuat penyusunan program, kegiatan, dan penganggaran terkait NMT menjadi jelas.
Syafrin berpendapat, Dinas Perhubungan belum memerlukan bidang khusus NMT. Semua keperluan terkait jalur sepeda masih bisa diakomodasi organisasi di dinas. ”Untuk sarana-prasarana bisa ditangani bidang lalu lintas. Untuk penegakan di bidang pengendalian operasi. Lalu untuk sosialisasi di sekretaris dinas,” ujarnya.
Nirwono mengatakan, DKI Jakarta sudah memiliki rencana induk jalur sepeda tahun 2009. Rencana induk itu mengakomodasi kebutuhan pesepeda, baik jalur yang biasa digunakan maupun detail aspek keselamatan dan keamanan.
Namun, rencana induk yang diinisiasi komunitas B2W bersama Green Map Jakarta dan Dinas Perhubungan DKI itu tak terwujud. Kini, muncul program 62 km jalur sepeda.
Skuter listrik
Terkait skuter listrik, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan, pelanggaran oleh pengendara skuter listrik berbeda dengan pelanggaran di jalur khusus sepeda.
”Unsurnya beda. Orang naik skuter listrik diberhentikan petugas, lalu dia mengerti, dia pindahkan (skuternya), itu tak boleh ditindak. Kecuali pada saat diberhentikan, dia lari, itu bisa ditindak,” katanya.