Penyeragaman pangan memicu kerentanan pangan, merusak kedaulatan tubuh, menghancurkan daya hidup dan budaya lokal, termasuk merusak ekologi. Sagu, sang pangan lokal, berupaya melawan.
Oleh
Erika kurnia
·5 menit baca
Di suatu restoran kecil khas Papua di bilangan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, sejumlah tamu sibuk mengecap makanan di sela-sela acara yang mereka datangi. Di satu sisi restoran tersaji beragam kudapan renyah, favorit masyarakat sejagat raya. Ada biskuit kering cokelat, keripik nachos khas Meksiko, dan potongan ayam bersalut tepung goreng dengan perisa balado.
Di sisi lain ruangan, makanan berat disajikan secara prasmanan. Ada sate ayam dengan bumbu kacang dan lagi-lagi, ayam goreng tepung. Tidak ada nasi di sana. Sebagai asupan karbohidrat, hanya terhidang lontong papeda dan papeda ikan kuah kuning.
Papeda, bubur kenyal berbahan sagu khas Maluku dan Papua, bukanlah primadona dari suguhan hari itu, melainkan sagu Papua. Sagu menyaru dalam berbagai bentuk makanan modern dan tradisional dengan tekstur beragam, mulai dari yang kering dan renyah, hingga yang basah dan kenyal.
Kenikmatan sagu yang khas itu kini banyak digantikan bahan pati lain, seperti tapioka yang berasal dari singkong dan terigu asal biji gandum. Hal itu disampaikan Naga Waskita, Direktur PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Tbk, di sela-sela acara peluncuran buku Sagu Papua untuk Dunia, Senin (25/11/2019).
Perusahaan ANJ memiliki industri pengolahan sagu, PT ANJ Agri Papua (ANJAP), berbasis di Sorong Selatan, Papua Barat. Mereka menghasilkan tepung sagu yang dijual ke perusahaan besar dan ritel, termasuk restoran Papua yang mereka miliki di Jakarta.
Restoran bernama ”Bueno Nasio” (”Dapur Enak” dalam dialek suku Iwaro) itu buka sejak Agustus 2019. Restoran itu dihadirkan untuk mempromosikan sagu sebagai keberagaman pangan di Indonesia.
”Kami ingin meningkatkan pengetahuan dan manfaat mengonsumsi sagu,” ujar Waskita.
Dalam acara itu, Ahmad Arif, penulis buku Sagu Papua untuk Dunia terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, menyebut sagu sebagai sumber pangan sehat. Sagu mengandung probiotik dan indeks glikemik yang tinggi sehingga mampu mencegah infeksi dan peningkatan gula darah.
Tersingkir
Menurut Ahmad Arif, sagu semakin ditinggalkan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Papua yang telah ribuan tahun mengonsumsinya.
Dalam bukunya disebutkan, sejak awal abad ke-19, William Marsden yang menulis buku History of Sumatra (1811) telah menemukan, masyarakat Sumatera mulai mengganti makanan pokok mereka dari sagu, yang berasal dari pohon rumbia, ke nasi.
Di Papua, perubahan pola konsumsi dari sagu ke nasi terjadi beberapa puluh tahun terakhir. Hal itu terjadi sejak maraknya konversi hutan menjadi sawah dan masuknya bantuan pangan, dengan komoditas utama beras.
Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, dalam kurun waktu 2009-2013, konsumsi beras di Papua Barat saja mendominasi hingga 51,3 persen.
”Penyeragaman pangan memicu kerentanan pangan, merusak kedaulatan tubuh, menghancurkan daya hidup dan budaya lokal, termasuk merusak ekologi,” tutur Ahmad Arif.
Penyeragaman pangan memicu kerentanan pangan, merusak kedaulatan tubuh, menghancurkan daya hidup dan budaya lokal, termasuk merusak ekologi.
Tren peningkatan konsumsi nasi oleh masyarakat Indonesia membuat pemerintah terus membuka keran impor beras. Ombudsman RI mencatat, total impor beras dalam kurun waktu empat tahun terakhir (2015-2018) sebanyak 4,7 juta ton, sedangkan pada kurun waktu 2010-2014 mencapai 6,5 juta ton. Setiap tahun, Indonesia mengimpor rata-rata 1 juta ton beras dengan nilai kurang lebih 500 juta dollar AS atau Rp 5 triliun.
Ketergantungan pada beras juga bukan satu-satunya faktor yang mengancam keberagaman pangan dan eksistensi sagu Nusantara. Ketergantungan industri pengolahan makanan pada gandum, yang dipakai sebagai bahan baku pembuat tepung terigu, juga menyingkirkan kekayaan pangan Indonesia dan menguras devisa negara.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor gandum pada 2018 sebesar 10,15 juta ton dan senilai 3,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 53,5 triliun. Setiap tahun, gandum menjadi komoditas pangan dengan nilai impor tertinggi, diikuti kedelai (6,80 juta ton), jagung (1,60 juta ton), dan beras-berasan (1,17 juta ton). Impor empat komoditas itu menyebabkan neraca perdagangan selalu defisit (Kompas, 31/10/2019).
Komitmen industri
Indonesia memiliki 6 juta hektar kebun sagu yang tersebar di daratan Papua, Maluku, Kalimantan Selatan, Riau, hingga Aceh. Sekitar 5 juta hektar hutan sagu ada di Pulau Papua. Sagu di perkebunan Kabupaten Meranti, Riau, dan Sorong Selatan, Papua Barat, banyak diolah menjadi produk yang siap digunakan industri, termasuk untuk ekspor.
Namun, produksi sagu, termasuk pemanfaatan sagu untuk konsumsi langsung, masih sangat sedikit. Data ANJAP menunjukkan, luas lahan sagu di Papua sekitar 5 juta hektar berpotensi menghasilkan 15,6 juta ton tepung sagu per tahun. Angka itu melebihi volume gandum nasional per tahun yang melebihi 10 juta ton per tahun.
Waskita mengatakan, produksi sagu terkendala biaya produksi sagu yang tinggi. Belum lagi, biaya distribusi yang terkendala geografis di Papua.
Perusahaan memproduksi tepung sagu dengan nilai yang jauh lebih tinggi daripada harga jual mereka saat ini, yaitu sekitar Rp 6.000 per kilogram. Nilai itu setara harga tepung tapioka dan terigu yang banyak beredar di pasaran.
”Secara keseluruhan biaya produksi memang tinggi. Tapi kita enggak bisa menetapkan harga tinggi itu, nanti enggak ada orang yang mau beli sagu karena bisa diganti dengan tepung lain yang lebih murah,” tuturnya.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi mengapresiasi usaha yang dilakukan PT ANJAP untuk membuat produk sagu lebih terjangkau. Namun, usaha itu tidak akan berguna jika industri pengolah makanan tidak mau menyerap produk sagu.
Untuk itu, pemerintah tengah mendorong pelaku industri makanan olahan yang menggunakan tepung untuk menyerap tepung sagu. Dorongan itu diwujudkan dengan mengajak pelaku usaha menyepakati perjanjian kerja sama ”Pengembangan Penggunaan Tepung Lokal sebagai Bahan Baku Industri Pangan”.
Dengan komitmen penggunaan tepung sagu sebesar 10 persen oleh industri makanan diperkirakan dapat menghemat devisa hingga Rp 2,4 triliun setahun.
Perjanjian itu ditandatangani bersama Kementerian Perdagangan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, dan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) pada Juli 2019.
”Kami minta industri makanan agar pakai tepung sagu paling tidak 10 persen dari total kebutuhan. Lagi pula, menurut penelitian, campuran tepung sagu tidak akan mengubah karakter makanan. Kami harap ini berjalan dan meningkat terus. Kami akan terus kawal ini,” ujar Agung.
Penggantian tepung terigu ke tepung sagu diharapkan akan signifikan menghemat devisa negara. Dengan komitmen penggunaan tepung sagu sebesar 10 persen oleh industri makanan diperkirakan dapat menghemat devisa hingga Rp 2,4 triliun setahun.