Kawasan Wallacea menyimpan potensi besar untuk diteliti dan dikembangkan ditengah ancaman kerusakan lingkungan. Potensi daerah perlu dikembangkan agar dirasakan warga sehingga ikut melindungi kawasan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS - Kawasan Wallacea menyimpan potensi besar untuk diteliti dan dikembangkan dalam bidang sains, pariwisata, serta berbagai bidang lain. Di sisi lain, kawasan itu menghadapi ancaman kerusakan lingkungan dan belum ada program perlindungan komprehensif.
Persoalan ini dibahas dalam Wallacea Frontiers of Science Symposium pada Pekan Wallacea di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (25/11/2019). Pekan Wallacea merupakan kegiatan untuk mengingat dan menjaga warisan naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace. Simposium dibuka oleh Rektor Unhas Dwia Aries Tina Pulubuhu dan dihadiri Direktur British Council Indonesia Paul Smith.
Salah satu pembicara, Guru Besar Biologi Universitas Indonesia Jatna Supriatna, menyatakan, tidak ada kawasan yang memiliki sejarah evolusi selengkap kawasan Wallacea. Selalu ada kejutan atau penemuan spesies baru dari penelitian di kawasan ini meski telah dijelajahi dan diteliti puluhan hingga ratusan kali.
”Kawasan Wallacea laiknya laboratorium di jantung Indonesia. Kawasan ini secara biogeografik diapit oleh fauna oriental dan australis dengan kondisi geologi yang kompleks dan dinamis. Ragam hewan di wilayah ini sangat banyak,” kata Jatna, yang juga Wakil Presiden Direktur Conservation International Indonesia.
Ancaman deforestasi dan eksploitasi perusahaan skala besar terus terjadi.
Sulawesi, kata Jatna, memiliki sejumlah lokasi perpaduan akibat lempengan dan pulau-pulau yang saling menyatu. Lokasi hibrid ini tidak hanya membuat lanskap daratan berubah, tetapi juga perpaduan dan evolusi fauna yang ada. Berdasarkan data, ada enam lokasi hibrid di Sulawesi.
Tidak mengherankan jika selalu muncul temuan dan jenis spesies baru. Tarsius, misalnya, di Kalimantan dan Sumatera, hanya ada satu jenis. Namun, di Sulawesi ada 11 spesies, bahkan kemungkinan ada 16 spesies.
”Ancaman deforestasi dan eksploitasi perusahaan skala besar terus terjadi. Padahal, wilayah ini memiliki banyak hal untuk diteliti dengan potensi spesies langka dari kondisi geologi yang terus berubah. Harus ada upaya untuk melindungi kekayaan ini. Tak hanya di Sulawesi, tetapi di seluruh kawasan Wallacea,” ujarnya.
Jeffrey Sayer, ahli konservasi dan praktik pembangunan dari British of Columbia, Kanada, menuturkan, tantangan terbesar saat ini adalah menjaga kekayaan lingkungan yang diwariskan. Dari penelitiannya, terjadi kerusakan lingkungan berkelindan dengan kompleksnya masalah di lokasi.
Salah satu lokasi penelitian Sayer adalah Pulau Buano, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, seluas 13.500 hektar. Di sana degradasi terus terjadi. Daerah kaya fauna itu terancam deforestasi, kemiskinan, dan tidak ada pengawasan ketat. ”Untuk menjaga alam, harus ada kerja sama erat dari peneliti, pemerintah, dan masyarakat. Komitmen jangka panjang, fokus pada potensi yang ada, dan penelitian lintas disiplin dibutuhkan,” katanya.
Potensi besar kawasan Wallacea di Pulau Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara tidak hanya di darat, potensi di perairan juga sangat tinggi. Kawasan ini masuk dalam segitiga koral dunia. Namun, kawasan belum mampu dikelola dan diteliti maksimal. Sementara itu, kerusakan di darat ataupun di laut terus terjadi.
Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin Jamaluddin Jompa menyatakan, warisan tidak ternilai di kawasan Wallacea rusak. Sebagian besar disebabkan penduduk lokal, misalnya pengeboman ikan yang membunuh anak ikan dan merusak koral tempat hidup ikan.
”Wilayah yang kaya dengan biodiversitas itu ditempati penduduk miskin. Namun, potensi daerah itu belum dikembangkan agar bisa dirasakan oleh masyarakat,” ujar Jamaluddin.
Deputi Bidang Koordinasi SDM, Iptek, dan Budaya Maritim Kemenko Kemaritiman Safri Burhanuddin mengatakan, potensi kerusakan perairan Wallacea sangat besar. Padahal, kawasan itu memiliki pola arus unik yang memungkinkan memiliki keragaman kehidupan bawah air.
”Salah satu penyebab kerusakan adalah sampah plastik. Ikan selakan, salah satu ikon di perairan Wallacea, ditemukan mengandung plastik. Riset terbaru menunjukkan, 0,63-0,92 juta ton sampah plastik yang kita buang ke darat mengalir ke laut. Pemerintah berkomitmen menekan sampah plastik hingga 70 persen,” kata Safri.