Kelompok anti-Beijing dalam pemilu Hong Kong perlu menjaga sentimen dan dukungan warga. Jika tidak, mereka akan mengulangi kekalahan pada 2007.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
HONG KONG, SELASA—Pelayanan pada warga menjadi salah satu cara kelompok anti-Bejing untuk menjaga dukungan warga. Dukungan itu penting karena masih ada dua pemilu besar dalam tiga tahun mendatang.
Dalam pemilu dewan distrik, Minggu (24/11/2019), sebanyak 388 dari 452 kursi di 18 dewan distrik diraih oleh kelompok anti-Beijing. Mereka mendapat 1,6 juta suara atau setara 55 persen suara sah, sementara kelompok pendukung Beijing mendapat 1,2 juta suara sah atau setara 41 persen. Sisa suara sah diraih calon perseorangan yang mayoritas anti-Beijing.
Mantan Wakil Ketua Partai Demokrat Hong Kong, Anthony Cheung, menyebut tak ada waktu untuk terlena dan menikmati kemenangan. ”Mereka (anggota terpilih dari kelompok anti-Beijing) harus menunjukkan bisa membuat kehidupan masyarakat lebih baik. Mereka harus bekerja dengan pemerintah untuk mewujudkan itu,” ujarnya, Selasa (26/11).
Jika tidak (mampu melayani warga), warga akan kecewa.
Mantan kepala kepolisian Hong Kong, Tang King-shing, mengingatkan tugas utama dewan distrik adalah mengurus kebutuhan sehari- hari warga distrik. Mereka harus memastikan pelayanan kesehatan, transportasi, hingga pendidikan tersedia dengan baik. Butuh kerja sama dengan pemerintah untuk mewujudkan itu. ”Jika tidak (mampu melayani warga), warga akan kecewa,” ujarnya seperti dikutip media terbitan Beijing, Global Times.
Dampak kekecewaan
Kelompok anti-Beijing pernah merasakan dampak kekecewaan itu dalam pemilu 2007. Pada pemilu 2003, mereka menang. Karena gagal melayani warga, mereka kalah di pemilu berikutnya.
Pengamat politik dari University of Hong Kong, Max Wong, mengatakan, salah satu faktor kekalahan kelompok pendukung Beijing adalah kehilangan momentum di tengah rangkaian unjuk rasa di Hong Kong. Kerja mereka dalam melayani warga tertutup oleh momentum politik itu. ”Kekalahan bukan berarti kelompok pendukung Beijing kehilangan dukungan di akar rumput,” katanya.
Momentum kemenangan kelompok anti-Beijing tak diketahui akan bertahan sampai kapan. Padahal, ada pemilu parlemen pada September 2020 dan pemilihan kepala eksekutif Hong Kong pada 2022.
Tanggapan Lam
Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menyatakan, pemerintah tidak akan menafsirkan hasil pemilu. Meskipun demikian, ia mengakui ada ketidakpuasan terhadap pemerintah sekaligus pada rangkaian unjuk rasa. Ia merujuk pada 41 persen suara sah yang diraih kelompok pendukung Beijing. Selama ini, kelompok itu dikenal anti-unjuk rasa dan mendukung pemerintahan Lam sekaligus Beijing.
Lam juga mengulangi pernyataan soal dialog dengan berbagai elemen masyarakat. Dialog itu pernah ditawarkannya beberapa bulan lalu. ”Langkah lanjutan yang benar-benar dibutuhkan adalah berhubungan dengan warga dan memulai
dialog. Sayangnya dalam keadaan kacau dan tidak stabil, saya tidak bisa melanjutkan hubungan itu. Saya harap akan ada kesempatan sekarang,” ujarnya.
Terkait lima tuntutan pengunjuk rasa, ia menyatakan pemerintah telah berusaha menanggapinya. Pemerintah telah mencabut Rancangan Undang-Undang Ekstradisi yang menjadi pemicu unjuk rasa. Pemerintah juga tengah membuat komite independen untuk menelaah akar unjuk rasa.
Pengamat politik dari Chinese University of Hong Kong, Ma Ngok, mengatakan, bola kini ada di Lam dan Beijing untuk menindaklanjuti hasil pemilu dan meredam unjuk rasa. ”Mayoritas warga mendukung pergerakan (unjuk rasa). Jika mereka (Beijing) tidak menanggapi dengan konsesi apa pun, saya kira unjuk rasa masih akan berlanjut,” ujarnya.