Upaya Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, untuk mengentaskan anak jalanan layak ditiru.
Oleh
Iqbal Basyari / Nikolaus Harbowo / Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Mengentaskan anak jalanan tidak mudah dan membutuhkan kerja sama antarinstansi, antarpemerintah pusat dan daerah, juga antarpemerintah serta swasta.
Upaya Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, layak ditiru. Remaja tanggung, H, sudah sekitar tiga tahun menjadi anak jalanan di Bangkalan, Madura. Sejak masih duduk di salah satu sekolah dasar negeri di Surabaya, ia tidak nyaman pulang ke rumah karena orangtuanya sering bertengkar.
Sering kali H tidur di pinggir jalan di daerah Bangkalan. Di tempat itu pula, dia bekerja memenuhi kebutuhannya karena mustahil minta uang saku kepada orangtuanya. Kehidupannya berubah setelah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mendatangi rumah orangtuanya di Kenjeran, Surabaya.
Saya belum tahu mau jadi apa, jelas harus lebih tinggi daripada Satpol PP.
”Akhirnya saya harus menyerah setelah Bu Risma datang ke rumah saya. Setiap hari Satpol PP memantau rumah saya. Begitu saya pulang, langsung ditangkap dan dimarahi Bu Risma,” kata H saat di Surabaya, pekan lalu.
Oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), H dibawa ke Kampung Anak Negeri yang dikelola Dinas Sosial Kota Surabaya. Di tempat itu, ia disekolahkan kembali ke sekolah formal. Saat malam hari, dia ikut kegiatan silat, tinju, dan atletik. ”Saya belum tahu mau jadi apa, jelas harus lebih tinggi daripada Satpol PP,” ujar siswa kelas VI SD ini.
Anak-anak yang ada di Kampung Anak Negeri disekolahkan di sekolah formal dan beberapa di antaranya mengikuti ujian kejar paket. Mereka juga wajib ikut kegiatan lain, seperti olahraga, musik, dan latihan kedisiplinan. Waktu dan tempat bermain juga disediakan untuk mereka yang rata-rata masih SD dan SMP. ”Tidak ada waktu terbuang di sini. Semua melakukan kegiatan yang positif dan bermanfaat untuk masa depan,” kata JZ (18), penghuni lainnya.
Risma mengatakan, sejak 2010, hampir setiap hari petugas Satpol PP menyisir anak jalanan di Surabaya, lalu dibina di Kampung Anak Negeri. Sejak 2012, Kota Surabaya menyatakan bersih dari penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), seperti anak jalanan, pengemis, pengamen di perempatan jalan, di titik-titik lampu pengatur lalu lintas.
Anak-anak jalanan yang terjaring razia mulanya akan dipertemukan dengan orangtuanya. Jika dinilai ada masalah yang bisa berakibat pada telantarnya anak, mereka diarahkan ke Kampung Anak Negeri. ”Anak-anak yang ada di Kampung Anak Negeri hanya boleh keluar setelah mereka mendapatkan pekerjaan dengan upah di atas upah minimum kota. Kami berupaya menyalurkan mereka ke instansi dan perusahaan di Surabaya,” ujarnya.
Selain mengandalkan peran pemerintah, menurut sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, gerakan dari komunitas pemerhati anak jalanan juga dibutuhkan. ”Ada semboyan, perlu sekampung mendidik anak. Jadi, kampung sebagai komunitas keilmuan, konsep itu perlu dibangun. Jangan melihat kampung sebagai tempat tinggal, tetapi harus menjadi area pendidikan anak,” tutur Imam.
Imam menilai, komunitas peduli anak jalanan dan sejenisnya yang kini banyak muncul dan berkiprah baik perlu lebih banyak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Komunitas- komunitas itu akan turut membangun lingkungan yang bertanggung jawab, saling menjaga, sehingga kasus kejahatan di jalanan, seperti tawuran, pelecehan seksual, dan narkoba, dapat diminimalkan.
TBM Kolong di Ciputat
Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Kolong yang berada di kolong jembatan layang di Pasar Ciputat, Jalan Dewi Sartika, Tangerang Selatan, jadi salah satu contoh komunitas dan jaring pengaman yang cukup konsisten berkiprah.
”Tempat itu dulu kumuh dan banyak sampah, tidak terawat. Gak ada anak-anak mau main ke situ. Namun, sekarang berubah. Suasananya asyik, aman untuk anak-anak. Jadi, warga sekitar pun saling mendukung menjaga tempat tersebut dan menjaga anak-anak juga,” kata Desi (40), pedagang di sekitar Pasar Ciputat.
TBM Kolong yang berdiri pada 4 Juni 2016 awalnya hanya ruang baca untuk masyarakat sekitar, khususnya untuk anak. Berjalannya waktu, tempat tersebut berkembang menjadi ruang belajar dan bermain anak. Selain fasilitas pendukung, seperti perpustakaan, terdapat pula lapangan bola dengan alas rumput sintetis dan perosotan.
Sebagian dari para orangtua ini sibuk kerja dari pagi hingga malam.
Wakil Ketua TBM Kolong Devina Febrianti mengatakan, tujuan berdirinya TMB tidak sebatas dipicu oleh kegelisahan karena makin sempitnya ruang publik. Namun, TBM juga menjadi ruang perlindungan anak dari kekerasan jalanan hingga anak-anak yang telantar oleh berbagai kondisi permasalahan keluarga dan lingkungan.
”Sebagian besar anak-anak di sini adalah anak yang orangtuanya pedagang, ada buruh juga. Sebagian dari para orangtua ini sibuk kerja dari pagi hingga malam,” ujar Devina. Untuk meyakinkan orangtua dan warga sekitar, kata Devina, berbagai kegiatan dilakukan, seperti bimbingan belajar, mendongeng, dan bermain alat musik, setiap Selasa, Kamis, Sabtu, dan Minggu.
Bersama Pemerintah Kota Tangerang Selatan, TBM akan membuat program Gerakan Pelajar Aktif Produktif. Akan ada penambahan fasilitas untuk kegiatan bermain dan belajar anak-anak sesuai dengan minat dan bakat. Program itu juga tidak hanya untuk anak, tetapi juga diharapkan ada pemberdayaan masyarakat sekitar.