Perlindungan anak menjadi kunci mencegah kekerasan sekaligus mendorong pemenuhan hak anak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perlindungan anak di tingkat desa/kelurahan yang melibatkan seluruh pihak, menjadi kunci mencegah kekerasan sekaligus mendorong pemenuhan hak anak. Salah satunya, model Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat diinisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sejak tahun 2016, yang meningkatkan kepedulian pemerintah dan masyarakat di desa/kelurahan untuk melindungi anak-anak.
Selain membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan hak-hak anak, gerakan bersama melalui Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) mengubah kebiasaan masyarakat dalam mendidik anak-anak yang selama ini dengan pendekatan kekerasan menjadi pendekatan berbasis perlindungan anak.
“PATBM mengubah norma-norma di masyarakat yang tadinya tidak ada aturan menjadi ada aturannya. Selain itu, mengubah kebiasaan yang tadinya enggak peduli untuk memenuhi dan melindungi anak, kini masyarakat peduli dan meresponskasus yang terjadi di lingkungannya,” ujar Deputi Perlindungan Anak, Nahar, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Selasa (26/11/2019) di tengah acara Jambore Nasional Kader Masyarakat Indonesia Bersama Lindungi Anak (Kami Berlian) 2019 di Jakarta.
PATBM mengubah norma-norma di masyarakat yang tadinya tidak ada aturan menjadi ada aturannya.
Jambore yang dimulai sejak Senin (25/11/2019) dan akan berlangsung hingga Kamis (28/11/2019) tersebut merupakan pertama kali diselenggarakan KPPPA semenjak PATBM diinisiasi tahun 2016. Sebanyak 560 aktivis PATBM dari 34 provinsi di Indonesia hadir dalam acara itu, saling berbagi pengalaman masing-masing terkait praktik baik pengelolaan PATBM selama tiga tahun terakhir.
PATBM dibentuk untuk merespons tingginya kasus kekerasan terhadap anak di masyarakat. Melalui gerakan itu, semua unsur mulai dari pemerintah desa/kelurahan, hingga tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat, didorong terlibat dalam mencegah kekerasan dan menangani kekerasan terhadap anak.
Para aktivis PATBM terdiri dari orang-orang atau pendamping anak yang mempunyai kepedulian kepada anak, bekerja aktif dan mampu menggerakkan kegiatan kemasyarakatan, yang dibekali dengan berbagai pengetahuan tentang perlindungan anak.
“Awalnya PATBM dimulai di 136 desa sebagai percontohan kemudian dilakukan pengembangan di 764 desa yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Program ini adalah bentuk tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak. Negara dalam hal ini tidak hanya pemerintah tetapi juga membutuhkan peran masyarakat,” kata Nahar.
Karena itulah, forum pertemuan aktivis PATBM tersebut juga dijadikan sarana untuk mengevaluasi manfaat PATBM bagi masyarakat dalam menurunkan angka kekerasan pada anak selama tiga tahun pelaksanaannya. Dari beberapa pengalaman di berbagai daerah membuktikan bahwa konsep PATBM benar-benar mampu menumbuhkan inisiasi masyarakat, memahami, dan mengambil inisiatif untuk memecahkan permasalahan yang ada secara mandiri.
Sesi inspiratif
Pada hari kedua pelaksanaan Jambore, selain diisi materi oleh seluruh asisten di Kedeputian Perlindungan Anak KPPPA, salah satu sesinya adalah menghadirkan tokoh inspiratif yang berbagai pengalaman tentang perlindungan anak, yakni Roslinda Tamo Inda (14) Ketua Forum Anak Desa Kombapari, Katala Hamu Lingu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
“Awalnya saya dan teman-teman melakukan kegiatan ASA atau analisis situasi anak-anak yang ada di desa, salah satunya soal kepemilikan akta kelahiran. Jadi, kami prihatin karena masih banyak anak yang belum memiliki akta kelahiran. Setelah ASA kami melakukan rencana tindak lanjut,” ujar Roslinda yang pernah berbicara di High Level Political Forum (HLPF) on Sustainable Development di New York, Juli 2019.
Didampingi Wahana Visi Indonesia, Roslinda dan Forum Anak Desa setempat hadir dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) menyampaikan aspirasi anak, terkait pentingnya akta kelahiran. Hasilnya, saat ini dari 362 anak yang tidak memiliki akta kelahiran, sebanyak 360 anak sudah memiliki dokumen kependudukan tersebut.
Hadir juga Ratemat Aboe (79) penarik becak asal Tanjung Putrayudha, Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang, Jawa Timur. Aboe sejak tahun 2012 menjadi “pengajar” bagi anak-anak gelandangan, pemulung, dan pengemis di Kampung Tanjung Putrayudha yang banyak dihuni pemulung.
Hal itu bermula ketika menemukan ada anak yang mengedar narkoba, juga ada yang sekolah tapi tidak punya buku. Aboe memulai mendampingi anak-anak dengan membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Jumlah anak yang belajar di rumahnya hingga kini mencapai 60 orang.
“Saya ini asli tukang becak. Orang-orang di kampung kami di bawah garis sejahtera, tidak ada pegawai negeri, tidak ada orangtua yang sekolah sampai SMP, hanya sampai SD itu pun tidak sampai lulus. Saya mengajar anak-anak, karena anak harus belajar bukan bekerja,” katanya.
Selain Roslinda dan Aboe, hadir juga dalam sesi inspiratif, Putri Alam dari Google yang membagi tips orangtua untuk mendampingi anak-anak dalam penggunaan internet.