Sejumlah 51 kelompok tani hutan atau KTH pengelola perhutanan sosial di 17 provinsi, Rabu (27/11/2019), di Jakarta, berkumpul dan bersepakat membentuk wadah Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah 51 kelompok tani hutan atau KTH pengelola perhutanan sosial di 17 provinsi, Rabu (27/11/2019), di Jakarta, berkumpul dan bersepakat membentuk wadah Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia atau AP2SI. Organisasi ini memiliki tujuan sebagai wadah perjuangan dan pertukaran gagasan antarsesama pengelola perhutanan sosial di tingkat tapak.
Wadah ini diharapkan merangsang munculnya pengelola-pengelola perhutanan sosial di tempat lain yang bisa mengelola kesempatan mengelola hutan tersebut dengan baik dan mendatangkan manfaat. Program Perhutanan Sosial ini digulirkan pemerintahan Joko Widodo pada tahun 2015-2019 dengan target 12,7 juta hektar (ha). Untuk mempercepatnya, program ini dimasukkan dalam program prioritas pemerintah Program Strategi Nasional yang tertuang dalam Perpres Nomor 56 Tahun 2018.
Keberadaan program ini selaras dengan semangat pemerintahan untuk ”membangun dari pinggiran”, termasuk dari masyarakat yang tinggal di pinggir dan sekitar hutan. Program ini juga bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan lahan dan meningkatkan kesejahteraan warga, juga untuk mengurangi konflik lahan dan ke depan membantu mengatasi kemiskinan dengan harapan mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat dan menimbulkan kesadaran guna menjaga kelestarian sumber daya hutan.
Hingga Juni 2019, tercatat perhutanan sosial yang telah diakses masyarakat mencapai 3,4 juta hektar dengan melibatkan lebih dari 755.000 keluarga atau telah memberikan manfaat kepada lebih kurang 3 juta jiwa. Capaian akses Perhutanan Sosial itu baru sekitar 25 persen dari total target nasional dan terbilang lambat. Lambatnya pencapaian target itu disayangkan di tengah antusiasme masyarakat yang tinggi dengan program tersebut.
”Dalam usaha menguatkan pengelolaan perhutanan sosial di Indonesia, kami yang berasal dari 51 kelompok tani hutan (KTH) pengelola perhutanan sosial yang tersebar di 17 provinsi bersepakat untuk berkumpul dan membentuk satu wadah bersama dengan nama Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI),” kata Roni Usman Kusuma, Ketua AP2SI, Rabu, di Jakarta.
Hingga kini, anggota kelompok pengelola perhutanan sosial yang tergabung dalam AP2SI telah mengakses atau menerima izin perhutanan sosial seluas 165.468,15 hektar dengan 59.285 keluarga sebagai pemanfaat. Mereka memiliki produk unggulan mulai dari hasil hutan bukan kayu (HHBK), agroforestry, jasa lingkungan, hingga wisata alam.
Dari pertemuan perdana AP2SI, mereka merangkum tujuh kendala pokok yang dihadapi kelompok pengelola perhutanan sosial. Kendala tersebut yaitu dukungan politik dari kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah terhadap program perhutanan sosial belum maksimal. Kendala lain meliputi layanan birokrasi dalam menunjang jalannya perhutanan sosial (pengetahuan dan pendampingan) belum maksimal.
Selain itu, kelompok pengelola perhutanan sosial terkendala penyusunan dan pelaksanaan dari rencana pengelolaan dan rencana kerja, kepastian atas batas area kerja, serta minimnya alat produksi dan sarana prasarana (komunikasi dan transportasi) untuk menunjang jalannya perhutanan sosial.
Kurangnya akses dan dukungan untuk modal pembiayaan terhadap pengelolaan perhutanan sosial oleh kementerian dan lembaga juga turut menghambat keberadaan kelompok pengelola perhutanan sosial. Hal itu diperparah oleh minimnya kapasitas untuk pengembangan inovasi produk dan pasar terhadap hasil hutan dan jasa lingkungan.
Pemberian akses
Roni memaparkan, program perhutanan sosial sudah berjalan cukup baik, tetapi agar tak berhenti pada pemberian akses atau izin kelola. ”Kami melihat perlu ada kolaborasi kerja bersama yang sinergis antara pengelola perhutanan sosial dan pemerintah pusat ataupun daerah,” katanya.
Harapannya, masalah-masalah itu dapat diatasi untuk mewujudkan visi Perhutanan Sosial ”Rakyat Sejahtera, Hutan Lestari”. Untuk mewujudkan visi tersebut, program perhutanan sosial harus memiliki sistem kelola yang partisipatif dan integratif dalam skema wilayah kelola rakyat meliputi tata kuasa (pemberian akses), tata kelola (perencanaan dan pemanfaatan), tata produksi (hasil pemanfaatan), serta tata konsumsi (penggunaan dari hasil kelola dan produksi).
Secara terpisah, dalam Festival Perhutanan Sosial Nasional (Persona), Rabu (27/11/2019), Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto mengatakan, untuk mendukung peningkatan ekonomi, para kelompok tani mendapatkan pembinaan awal melalui pendampingan penyuluh.
Kelompok tani penerima akses kelola hutan tersebut mendapatkan peningkatan kapasitas dalam bidang kelembagaan, tata kelola hutan, dan tata kelola usaha dengan melakukan kegiatan ekonomi produktif melalui hasil usaha bukan kayu, hasil hutan kayu, dan jasa lingkungan wisata dengan membentuk kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS).
”Kami telah bekerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM untuk pendampingan kelembagaan dan Kementerian Pertanian, Kementerian KKP untuk pendampingan teknis produksi agroforestry/silvofishery serta pengembangan produk dengan Himbara dan BUMN,” kata Bambang.
Hingga 26 November 2019 telah terbentuk 5.208 KUPS yang tersebar di 33 provinsi dengan kategori tahap awal (blue) sebesar 3.441 (66,07 persen), tahap moderat (silver) sebesar 1.286 (24,69 persen), tahap maju (gold) sebesar 433 (8,31 persen), dan tahap mandiri (platinum) sebesar 48 (0,92 persen).