Dunia Perlu Bertindak Lebih Cepat Menekan Dampak Perubahan Iklim
Dunia akan kehilangan kesempatan mencegah krisis iklim apabila tidak berhasil menekan kenaikan suhu bumi sesuai target Kesepakatan Paris. Hal ini membutuhkan langkah cepat yang konsisten sekarang juga.
Dunia akan kehilangan kesempatan mencegah krisis iklim apabila tidak berhasil menekan kenaikan suhu bumi sesuai target Kesepakatan Paris. Hal ini membutuhkan langkah cepat yang konsisten sekarang juga. Jika tidak, dampak perubahan iklim akan semakin besar.
GENEVA, SELASA -- Emisi global harus turun 7,6 persen per tahun selama sepuluh tahun ke depan sampai 2030 untuk membatasi suhu global agar tidak naik melampaui 1,5 derajat celsius. Adapun untuk membatasi kenaikan suhu agar tidak melebihi 2 derajat celsius, penurunan emisi yang harus dilakukan sebesar 2,7 persen per tahun.
Namun, realitasnya emisi telah naik hingga rata-rata 1,5 persen per tahun selama satu dekade terakhir atau setara dengan 55,3 miliar ton karbon dioksida atau gas rumah kaca pada 2018, tiga tahun setelah 195 negara menandatangani Kesepakatan Paris.
Demikian ”Laporan Kesenjangan Emisi” yang dikeluarkan oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP). Laporan itu merupakan satu dari beberapa hasil studi yang dirilis menjelang penyelenggaraan Konferensi Perubahan Iklim Ke-25 PBB di Madrid, Spanyol, pekan depan.
”Suhu bisa naik 3,2 derajat celsius pada akhir abad ini dan membawa dampak kerusakan yang luas,” demikian simpulan laporan UNEP tersebut.
”Saat menjadi seorang kakek, kita tidak ingin mewariskan hal ini kepada cucu-cucu kita,” kata Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen dalam konferensi pers di Geneva, Swiss, Selasa (26/11/2019).
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), Senin (25/11), menyatakan, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer tahun 2018 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Dalam Kesepakatan Paris, negara-negara berkomitmen untuk menekan ambang batas kenaikan suhu bumi ”jauh di bawah” 2 derajat celsius di atas masa pra-industri, bahkan membatasinya hingga ke level aman, maksimal 1,5 derajat celsius.
Untuk menuju hal itu, negara-negara di dunia sepakat mengurangi tingkat emisi masing- masing dan berusaha mewujudkan dunia rendah karbon dalam satu dekade.
Namun, PBB melihat bahwa dunia saat ini menghadapi kenaikan suhu 3,2 derajat celsius, sesuatu yang ditakuti oleh para ilmuwan.
Tahun lalu, Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim PBB memperingatkan akan terjadinya perubahan global yang sangat besar apabila target dalam Kesepakatan Paris tidak tercapai. Misalnya, dunia akan kehilangan hampir semua terumbu karang dan sebagian besar es di Kutub Utara.
Target menekan kenaikan suhu tidak melampaui 1,5 derajat celsius diyakini masih bisa dicapai. Namun, hal itu akan mengguncang perekonomian yang masih didorong oleh bahan bakar fosil yang belum pernah terjadi sebelumnya.
”Kita gagal membatasi emisi gas rumah kaca,” ujar Andersen. ”Kita tak akan bisa mencapai target 1,5 derajat celsius jika tak bertindak sekarang dan membuat perubahan signifikan mengurangi emisi global.”
Kita tak akan bisa mencapai target 1,5 derajat celsius jika tak bertindak sekarang dan membuat perubahan signifikan mengurangi emisi global.
Laporan UNEP juga mengandaikan negara-negara di dunia bertindak serius mengatasi perubahan iklim tahun 2010, tepat setahun setelah pertemuan tingkat tinggi di Kopenhagen. Saat itu ditegaskan bahwa penurunan emisi per tahun yang diperlukan agar kenaikan suhu tidak melebihi 2 derajat celsius hanya 0,7 persen. Jika kenaikan suhu diharapkan tidak melampaui 1,5 derajat celsius, dibutuhkan penurunan emisi 3,3 persen per tahun.
”Penundaan sepuluh tahun untuk bertindak mengatasi perubahan iklim telah membawa kita pada kondisi kini,” kata Andersen.
Satu pesan
Laporan UNEP juga menggarisbawahi ”peluang” khusus bagi penyumbang emisi terbesar untuk mendorong perekonomian mereka agar sejalan dengan Kesepakatan Paris.
Rekomendasi yang diberikan untuk setiap negara penyumbang emisi terbesar bervariasi. Namun, ada satu pesan yang sama: hentikan penggunaan batubara, kurangi minyak dan gas secara signifikan, serta bangun energi terbarukan.
Dalam hal ini, negara-negara anggota G-20 dipandang sebagai penghambat. Negara-negara G-20 menghasilkan 78 persen emisi global. Namun, hanya 15 negara kaya yang memiliki rencana jelas menuju emisi nol.
Secara umum, negara-negara di dunia harus berupaya lima kali lipat dalam meningkatkan kontribusi pada perjuangan menekan dampak perubahan iklim agar target menahan kenaikan suhu 1,5 derajat celsius bisa dicapai.
”Perubahan secara bertahap tidak akan memberikan hasil,” kata penulis utama laporan itu, John Christensen. ”Kita benar- benar harus mengubah masyarakat dalam sepuluh tahun ke depan.”
Wendel Trio, Direktur Climate Action Network (CAN) Europe, mengatakan, harus ada ”perubahan besar yang bersejarah” dalam perjuangan iklim.
Seruan itu tidak berlebihan mengingat laporan UNEP juga menunjukkan bahwa emisi juga termasuk yang berasal dari perubahan penggunaan lahan, seperti deforestasi, belum mencapai puncaknya.
”Dunia sedang menghadapi darurat iklim yang tidak bisa diatasi hanya oleh pemerintah sendiri,” kata Katia Simeonova dari Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). ”Tahun 2020 adalah kesempatan terbaik kita yang terakhir untuk membalikkan situasi,” katanya.
Dunia sedang menghadapi darurat iklim yang tidak bisa diatasi hanya oleh pemerintah sendiri.
Christensen mendesak negara-negara di dunia yang telah berhasil mencapai target kontribusi nasional (NDC) masing- masing, seperti Turki dan Rusia, untuk terus mempertahankan hal itu dengan ketat.
Pembuat emisi terbesar
Laporan UNEP menyebut Amerika Serikat sebagai salah satu penyumbang emisi paling besar bersama Brasil dan Jepang. Negara-negara itu gagal mencapai NDC masing-masing.
Bulan ini, pemerintahan Donald Trump mengisi dokumen pengunduran diri dari Kesepakatan Paris sebagai langkah awal dari proses formal penarikan diri dari kesepakatan itu. Bahkan, kepada PBB, pemerintahan Trump juga menyampaikan akan meningkatkan produksi bahan bakar fosilnya, termasuk memberi subsidi bagi teknologi untuk menangkap dan menyimpan emisi karbon dioksida dari pembangkit listrik.
Sejumlah pejabat tak terlalu menganggap penting dampak penarikan diri AS dari Kesepakatan Paris. Sebab, banyak perusahaan, negara bagian, dan kota di AS justru meningkatkan komitmen mereka dalam memerangi perubahan iklim.
Meski begitu, Andersen tetap mendesak Washington untuk mempertimbangkan sikapnya tersebut. ”Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah tetaplah berada di meja perundingan, bernegosiasi, terlibat, dan memastikan bahwa kita bersama bisa mencapai kemajuan dalam melawan perubahan iklim,” ujarnya.
Negara-negara di dunia menghadapi tenggat tahun 2020 untuk menurunkan emisi secara signifikan. ”Andai saja itu kita lakukan sepuluh tahun lalu, tentu akan jauh lebih mudah sekarang,” kata Andersen.
Minggu lalu, UNEP memublikasikan laporan terpisah yang menunjukkan bahwa negara- negara di dunia berencana mengekstraksi lebih dari dua kali lipat bahan bakar fosil pada tahun 2030 jika target 1,5 derajat celsius tercapai.
”Apa yang negara-negara katakan soal pasokan bahan bakar fosil tidak sejalan dengan apa yang mereka katakan soal mengurangi emisi,” kata Michael Lazarus, salah seorang penulis laporan UNEP yang juga ilmuwan senior di Stockholm Environment Institute.
(AFP/REUTERS/AP)