Proyeksi pertumbuhan ekonomi RI jadi sentimen yang menekan Indeks Harga Saham Gabungan. Sejak awal tahun, IHSG melemah 2,72 persen.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Harga Saham Gabungan dalam perdagangan Selasa (26/11/2019), kembali melorot, mendekati posisi 6.000. Sejak awal tahun, IHSG melemah 2,72 persen.
Pelemahan sejak awal tahun ini lebih kecil dibandingkan dengan indeks di bursa saham Malaysia, yakni 6,31 persen. Sementara Vietnam membukukan kinerja terbaik di ASEAN dengan penguatan 9,44 persen sejak awal tahun.
Pada perdagangan Selasa, IHSG yang dibuka pada 6.096,661 ditutup pada posisi 6.026,188. IHSG melemah 0,734 persen dalam sehari.
Kemarin, investor asing membukukan jual bersih Rp 1,574 triliun. Sementara sejak awal tahun, investor asing masih membukukan beli bersih Rp 41,98 triliun. Kapitalisasi pasar saham per Selasa sebesar Rp 6.935 triliun.
Dengan kinerja tersebut, IHSG sudah terkoreksi selama tiga hari berturut-turut.
Analis pasar modal sekaligus pendiri LBP Institute, Lucky Bayu Purnomo, mengatakan, investor menjadikan penertiban portofolio reksa dana oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pertimbangan dalam bertransaksi.
”Beberapa produk reksa dana yang diterbitkan manajer investasi masuk pengawasan dan dibubarkan otoritas. Hal ini tentu tidak luput dari perhatian investor,” ujarnya.
Dalam penertiban yang dilakukan OJK, ada indikasi manajer investasi kurang cakap menata portofolio akibat tergiur potensi sejumlah emiten di dalam kelompok reksa dana kelolaan manajer investasi tersebut. Apalagi, salah satu manajer investasi yang ditertibkan disinyalir menawarkan kepastian imbal hasil.
”Kriteria cakap itu tidak menawarkan janji atau kepastian imbal hasil karena terindikasi ada sejumlah manajer investasi yang menjanjikan imbal hasil. Padahal, pasar memiliki sifat yang tidak pasti,” ujarnya.
Penertiban OJK itu menambah faktor yang memengaruhi pergerakan IHSG, yakni proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bagi pelaku pasar, sentimen utama di pasar modal Indonesia saat ini adalah proyeksi sejumlah pihak bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di ambang batas 5 persen pada tahun ini.
Penertiban OJK itu menambah faktor yang memengaruhi pergerakan IHSG, yakni proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dari sisi eksternal, investor masih khawatir terhadap sentimen global, mulai dari sengketa dagang Amerika Serikat dan China yang tidak kunjung menemukan titik temu hingga RUU ekstradisi Hong Kong yang menyulut demonstrasi.
Tertekan
Secara terpisah, Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan, cukup banyak saham berkapitalisasi tinggi yang menjadi portofolio dalam reksa dana yang dibubarkan OJK. Hal ini membuat IHSG tertekan.
Apabila terjadi pembubaran reksa dana, dalam waktu 60 hari kerja, manajer investasi akan menjual saham. ”Sulit bagi indeks untuk naik dalam waktu dekat ini. Minimal hingga Desember 2019, indeks akan tertekan,” ujar Hans.
Sebelumnya, OJK sudah mengenakan sanksi suspensi penjualan produk reksa dana keluaran PT Narada Aset Manajemen dan PT Minna Padi Aset Manajemen. OJK juga melarang penjualan reksa dana selama tiga bulan kepada PT Pratama Capital Assets Management.
Narada Aset Manajemen dijatuhi sanksi setelah gagal bayar dalam transaksi pembelian saham senilai Rp 177,78 miliar. Adapun Minna Padi Aset Manajemen dinilai menjual produk reksa dana berbasis saham dengan menjanjikan hasil investasi pasti.
Sementara itu, pembekuan reksa dana terbitan Pratama Capital Assets Management disebabkan kepemilikan saham PT Kawasan Industri Jababeka Tbk yang melebihi batas maksimal 10 persen.