Musik tidak memiliki jubah agama. Ia adalah bahasa universal. Bunyinya menembus segala bentuk sekat dan batas, menghadirkan harmoni, dan kerap mengubah kebencian menjadi cinta.
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·4 menit baca
Musik tidak memiliki jubah agama. Ia adalah bahasa universal. Bunyinya menembus segala bentuk sekat dan batas, menghadirkan harmoni, dan kerap mengubah kebencian menjadi cinta. Di tengah sentimen kebencian atas nama perbedaan, kolaborasi musik lintas agama seperti oase. Para pencinta kedamaian akan selalu merindukannya.
Gery da Costa, pemuda gereja yang mengenakan kopiah hitam dengan lilitan sorban di leher itu mengepakkan kedua tangannya. Di hadapannya, ratusan peniup terompet serta penabuh rebana dan tifa menunggu aba-aba darinya. Ribuan orang yang memenuhi Lapangan Tahapary, Ambon, Maluku, pada Senin (25/11/2019) malam itu mulai menyimak.
Kompak, paduan terompet yang diisi 150 anak muda itu mengembuskan irama lagu Salawat Nabi, lagu bernuansa Islami. Irama cepat terompet itu langsung disambar tepukan rebana dan pukulan tifa. Harmoni yang tersaji kurang dari satu menit itu disambut tepuk tangan meriah tamu undangan dan peserta Lomba Seni Qasidah (Lasqi) Tingkat Nasional XXIV itu.
Peniup terompet yang terbagi dalam irama sopran, alto, trombon, tupa, dan bas, itu semuanya merupakan anggota Angkatan Muda Gereja Kristen Protestan Maluku. Selama tiga hari terakhir, mereka berlatih irama beberapa lagu rohani Islam yang dibawakan dalam acara malam itu. Mereka membuat notasi sendiri untuk mempermudah variasi tiupan.
Sementara pemain rebana dan pemukul tifa setiap remaja Muslim dari Desa Batu Merah dan pemuda Kristiani dari Desa Soya. Mereka kerap berkolaborasi dalam berbagai kegiatan keagamaan yang digelar di Maluku. ”Puluhan kali saya jadi dirigen. Memadukan aliran musik yang berbeda menjadi harmoni ini penuh tantangan,” ujar Gery.
Perpaduan itu hendak memberikan pesan kepada perserta Lasqi tentang musik kolaborasi yang menjadi sebuah aliran baru dalam khazanah musik di Maluku, sebuah daerah yang dihuni oleh banyak bakat dan jiwa musikal. Aliran kolaboratif itu muncul secara alamiah saat Maluku dilanda konflik sosial sekitar dua dasawarsa lalu. Aliran itu mudah diterima semua orang Maluku sebab musik dan tarik suara melekat dalam keseharian mereka.
Aliran itu pula yang menjadi kunci lolosnya Kota Ambon menjadi kota musik dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada akhir Oktober lalu. UNESCO beranggapan, musik menjadi media untuk mencapai perdamaian, sesuatu yang bisa terbilang langka di dunia. Kolaborasi itu tidak ditemukan di kota musik lainnya yang mendapat predikat yang sama oleh UNESCO. Dengan modal itu, sekali diajukan, Ambon langsung lolos.
Maynard Raynolds Nathanael Alfons, legenda musik tradisional Maluku, menuturkan, kolaborasi musik itu untuk pertama kali dia ciptakan menyongsong Lasqi di Manado, Sulawesi Utara, pada awal 2000. Saat itu, konflik di Maluku masih membara. Ia diminta oleh Gubernur Maluku saat itu, M Saleh Latuconsina, untuk menciptakan kreasi musik yang memadukan nuansa Islam dan Kristen. ”Waktu itu kolaborasi rebana, tifa, dan toto buang (gong kecil),” ujar Rence, sapaan akrab Maynard.
Kolobarasi semacam itu merupakan bagian ”provokasi” perdamaian.
Sejak saat itu, kolaborasi menjadi ciri khas musik di Maluku yang selalu dipentaskan dalam berbagai kegiatan skala lokal maupun nasional. Seperti contoh, kolaborasi itu disajikan pada saat pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran Nasional pada 2012 dan Pesta Paduan Suara Gerejawi Nasional tahun 2015. Dua kegiatan yang berlangsung di Ambon itu semakin memperkuat rekatan persaudaraan antarwarga.
Ustaz Abidin Wakano, pegiat perdamaian, dalam suatu kesempatan kepada Kompas mengatakan, kolobarasi semacam itu merupakan bagian ”provokasi” perdamaian. Provokator yang ingin mengacaukan keadaan harus dilawan dengan provokator yang menebarkan pesan damai. Tidak ada aturan agama yang melarang kolaborasi semacam itu selama tidak menyentuh hal sangat sakral mengenai ritual keagamaan. ”Musik itu tidak beragama. Semua yang mendengar musik akan riang hatinya,” katanya.
Wakil Gubernur Maluku Barnabas Orno, dalam sambutannya, mengatakan, harmoni yang tersaji dalam musik merupakan simbol kultur masyarakat Maluku yang berpadu dalam keberagaman. Maluku terdiri dari ribuan pulau, puluhan bahasa, dan belasan suku. Kerterlibatan pemuda Kristiani dalam kegiatan bernuansa Islami menegaskan filosofi hidup orang Maluku seperti ”ale rasa beta rasa”, ”sagu salempeng dibagi dua”, dan ”potong di kuku rasa di daging”.
Kolaborasi musik itu menjadi salah satu yang berjasa membawa Maluku keluar dari jurang kehancuran akibat konflik. Masyarakat bangkit membawa Maluku yang pernah dijadikan ”laboratorium konflik” menjadi ”laboratorium perdamaian”. Banyak negara yang kini dilanda konflik, seperti Myanmar, datang dan belajar di Maluku. ”Maluku jadi provinsi dengan indeks kerukunan tertinggi,” kata Barnabas.
Bagi Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid, seni adalah ekspresi yang mengungkap nilai keindahan. Islam dapat menerima segala ekspresi kebaikan yang dilakukan untuk tujuan kedamaian. Ia berharap, musik menjadi pengikat bagi rakyat Indonesia dalam menjaga identitasnya sebagai Tanah Air yang kaya akan keberagaman. Zainut hadir membuka acara yang diikuti peserta dari seluruh provinsi di Indonesia itu.
Lebih dari itu, hamoni musik kolaborasi yang tersaji dalam pembukaan Lasqi di Ambon itu ditarik ke dalam kehidupan keseharian. Indahnya musik itu karena perpaduan bunyi yang beragam dari alat musik yang berbeda-beda pula. Kalau alat musik yang merupakan benda mati saja bisa akur, mengapa manusia yang dikaruniai akal budi itu menolak perbedaan? Mari berkolaborasi dalam musik.