Kenaikan Harga Daging Ayam di Konsumen Belum Dinikmati Peternak
Menjelang akhir 2019, harga daging ayam segar di tingkat konsumen meningkat. Namun, kenaikan harga ini belum berimbas pada peternak ayam karena harga ayam pedaging di tingkat peternak masih di bawah harga acuan.
Oleh
M paschalia judith j
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang akhir 2019, harga daging ayam segar di tingkat konsumen meningkat. Namun, kenaikan harga ini belum berimbas pada peternak ayam karena harga ayam pedaging di tingkat peternak masih di bawah harga acuan pemerintah.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat, rata-rata harga daging ayam di tingkat konsumen pada Rabu (27/11/2019) Rp 35.200 per kilogram (kg). Harga ini lebih tinggi dibandingkan dengan awal Oktober 2019, yakni Rp 31.750 per kg.
Sementara harga ayam pedaging di tingkat petani masih di bawah harga acuan pemerintah. ”Saat ini, harga (jual) di Jawa Barat sekitar Rp 17.000 per kg,” kata Wakil Sekretaris Jenderal I Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Muhlis Wahyu saat ditemui di Kementerian Perdagangan (Kemendag), Jakarta.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2018 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen menyebutkan, harga acuan ayam pedaging di tingkat peternak Rp 18.000-Rp 20.000 per kg. Adapun di tingkat konsumen harga acuannya Rp 34.000 per kg.
Kondisi itu menyebabkan peternak yang tergabung dalam Paguyuban Peternak Rakyat Nasional berunjuk rasa di Kemendag. Mereka ditemui Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga.
Menurut Muhlis, selain terimpit harga ayam pedaging yang lebih rendah daripada harga acuan pemerintah, peternak juga terbebani harga bibit ayam umur sehari (DOC). Harga DOC saat ini Rp 6.000 per ekor, padahal pada pertengahan tahun ini harganya Rp 3.000 per ekor.
”Kami berharap pemerintah juga turut mengendalikan harga DOC. Salah satunya adalah dengan menetapkan harga acuan DOC,” ujarnya.
Selain terimpit harga ayam pedaging yang lebih rendah daripada harga acuan pemerintah, peternak juga terbebani harga bibit ayam umur sehari (DOC).
Pengendalian DOC ini tidak terlepas dari impor DOC di tingkat indukan ayam galur murni (GPS). Dalam menentukan kuota impor, pemerintah dinilai tidak transparan.
Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit menyebutkan, salah satu penentuan kuota impor DOC itu diatur dalam surat keputusan menteri pertanian. Surat itu ditandatangani Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita pada 23 Oktober 2019.
Surat ini menyebutkan, alokasi impor bibit ayam untuk ayam broiler diberikan kepada 15 perusahaan. Jumlah total DOC yang diimpor itu 707.000 ekor sepanjang 2019.
”Pertimbangan penentuan angka itu tidak transparan. Hal ini dapat berdampak pada ketidakpastian iklim berinvestasi dan berusaha,” kata Anton.
Menanggapi hal itu, Jerry hanya menyatakan telah mendengarkan tuntutan mereka. Kemendag akan mengkaji dan mengidentifikasi aturan-aturan yang terkait. Sementara itu, Ketut menolak berkomentar saat diminta konfirmasi terkait kuota impor DOC.
Inspektur Jenderal Kemendag Srie Agustina menambahkan, pemerintah mengandalkan penyerapan ayam pedaging di tingkat peternak sesuai regulasi. Kemendag sudah meminta pelaku ritel menyerap langsung dari peternak dengan harga sesuai permendag yang berlaku.
Akan tetapi, para peternak menyatakan, penyerapan ritel tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Peritel menyerap dengan harga yang lebih rendah daripada harga acuan pemerintah. Ritel juga menjual daging ayam beku dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam segar.
”Peritel membeli ayam pedaging di peternak seharga Rp 16.000 per kg. Adapun harga daging ayam beku yang dijual ritel berkisar Rp 26.000 per kg,” ujar Muhlis.
Penyerapan ritel tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Peritel menyerap dengan harga yang lebih rendah daripada harga acuan pemerintah.
15 provinsi
Tidak hanya harga daging ayam, pemerintah juga memantau harga bahan-bahan pangan pokok lain. Hal itu terkait dengan kesiapan kebutuhan pokok masyarakat menjelang Natal dan Tahun Baru.
Srie mengatakan, Kemendag telah mengidentifikasi 15 provinsi yang berpotensi mengalami kenaikan harga pangan pada Desember 2019. Ke-15 provinsi itu adalah Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Bali.
Kenaikan permintaan di 15 provinsi ini ditengarai karena perayaan Natal, Tahun Baru, serta libur akhir tahun. ”Gula pasir dan telur ayam mulai menunjukkan sinyal kenaikan harga. Sinyal ini dinilai wajar karena permintaan kedua komoditas tersebut selalu meningkat menjelang akhir tahun,” ujar Srie.