Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, tidak perlu ada penerbitan surat penghentian penyidikan (SP3) terhadap sejumlah perkara korupsi yang belum tuntas ditangani KPK.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, tidak perlu ada penerbitan surat penghentian penyidikan (SP3) terhadap sejumlah perkara korupsi yang belum tuntas ditangani KPK.
Sementara itu, DPR mengingatkan agar jangan sampai perkara yang belum terselesaikan ini menjadi beban bagi komisioner KPK periode 2019-2023.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Rabu (27/11/2019), di Jakarta, mengatakan, saat ini KPK masih akan memproses sejumlah perkara korupsi yang belum tuntas. Salah satunya kasus korupsi Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino yang telah diterapkan KPK sebagai tersangka sejak 2015.
”Sepertinya tidak perlu ada SP3 yang diterbitkan karena ketika kami menetapkan seseorang sebagai tersangka, sudah ada dua alat bukti yang cukup,” ucapnya di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Rabu ini.
Menurut Laode, KPK masih perlu menunggu audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung jumlah kerugian negara akibat kasus korupsi Pelindo II. Menurut rencana, hasil audit tersebut akan selesai pada pertengahan Desember nanti.
”Selain itu, jika ada tersangka yang meninggal, secara otomatis kasusnya akan ditutup sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,” ucapnya.
Sementara itu, dalam rapat dengar pendapat tersebut, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra meninta agar komisioner KPK periode 2015-2019 segera membuat daftar perkara apa saja yang kemungkinan akan diterbitkan SP3. Ketentuan SP3 ini tercantum dalam UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.
”Saat ini sudah berapa kasus yang diselesaikan KPK ataupun yang belum diselesaikan oleh KPK? Dari sekian banyak kasus yang menumpuk, seharusnya KPK bisa membuat catatan kasus mana saja yang layak untuk diterbitkan SP3,” katanya.
Desmond mengatakan, sebaiknya KPK bisa menerbitkan SP3 agar sejumlah perkara yang belum tuntas tidak membebani komisioner KPK periode 2019-2023. Selain itu, Desmond juga meminta agar KPK bisa segera menyusun mekanisme penerbitan SP3 di lembaga tersebut.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Benny K Harman, mengingatkan agar KPK tidak sembarangan menetapkan orang sebagai tersangka jika bukti yang dikumpulkan belum cukup. Ia pun mempertanyakan mekanisme penetapan tersangka oleh KPK.
”Bagaimana mungkin seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal kita semua belum tahu berapa kerugian negara yang ditimbulkan akibat perilakunya? Seharusnya, sudah ada hasil audit terlebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka,” ujarnya.
Benny mengatakan, KPK tidak memperhatikan nasib seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi kasusnya masih belum mampu diselesaikan. Menurut dia, jika seseorang telah satu tahun ditetapkan sebagai tersangka, berkas perkaranya perlu segera dibawa ke pengadilan.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan bahwa BPK ataupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak pernah mau melakukan audit jumlah kerugian negara jika belum ada tersangka yang ditetapkan.
Oleh sebab itu, dalam proses penyidikan, KPK hanya bisa memperkirakan potensi kerugian negara akibat kasus korupsi yang terjadi. ”Terkait kasus RJ Lino nantinya, jika sudah ada hasil audit dari BPK, kami akan segera membawa kasus ini ke pengadilan. Menurut rencana, BPK akan menyelesaikan hasil auditnya pertengahan Desember nanti,” ucapnya.