Nasi Jimat dan Meredupnya Nikmat Pesisir Cirebon
Nasi jimat yang disandingkan aneka lauk pauk itu merupakan sajian dalam upacara panjang jimat, puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di keraton Cirebon. Pesan luhur kehidupan banyak tersimpan di dalamnya.
Empat ibu-ibu berjalan pelan mengitari belanga berisi nasi. Sesekali mereka mengaduknya dengan spatula sepanjang hampir satu meter. Air wudhu di wajah keriput mereka telah luntur, berganti keringat. Di antara suara remukan kayu yang termakan api di bawah belanga, sayup-sayup terdengar selawat.
Begitu potret pembuatan nasi jimat di Dapur Mulud, Keraton Kasepuhan, Kota Cirebon, Jawa Barat, Minggu (10/11/2019). Nasi yang disandingkan aneka lauk pauk itu merupakan sajian dalam upacara panjang jimat, puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di keraton Cirebon.
Nasi jimat mulai disiapkan sehari sebelumnya ketika dapur maulud dibuka. Dapur berlantai keramik dengan ventilasi seadanya itu hanya beroperasi sekali setahun, saat Maulid. Bapak-bapak terlebih dahulu mengumpulkan kayu bakar untuk memasak. Sementara ibu-ibu menyiapkan aneka bumbu, seperti menumbuk rempah-rempah, seperti kayu manis, ketumbar, dan sahang.
Minggu pagi, acara memasak diawali pembacaan doa oleh pengurus Dewan Kemakmuran Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Ibu-ibu yang akan memasak pun berwudhu untuk mensucikan diri. Mereka umumnya sudah lanjut usia atau menopause, penanda kesucian karena telah melalui masa haid.
”Ini, kan, nasi untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Jadi, pembuatannya harus dimulai dengan yang suci,” kata Uum Marhumah (53), yang memimpin sekitar 20 juru masak di dapur.
Ini, kan, nasi untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Jadi, pembuatannya harus dimulai dengan yang suci (Uum Marhumah)
Baca juga: Titip Doa lewat Gentong Haji
Empat ibu-ibu bertugas mengaduk beras 24 kilogram yang direbus dengan minyak di belanga. Asap mengepul, memerihkan mata. Daun pisang di tangan mereka juga siap memisahkan nasi yang menempel di spatula. Dua ibu-ibu lainnya berupaya menyejukkan mereka dengan kipas anyaman bambu.
Saat setengah matang, nasi dipindahkan ke wadah lain untuk ditutup daun pisang sekitar satu jam. Kemudian, nasi dimasak kembali dengan campuran rempah-rempah. Di bagian lain, ibu-ibu memasak nasi kebuli, khas Timur Tengah, dari beras 70 kilogram.
Aneka lauk, seperti tempe, telur, daging, ayam kampung, dan ikan bekasem disiapkan. Ikan bekasem merupakan potongan ikan layur yang dicampur nasi, gula merah, garam, dan rempah-rempah. Lalu, didiamkan di dalam dua gentong selama sebulan. Setelah itu dijemur dan digoreng.
Lauk pauk itu lalu digabungkan dengan nasi jimat dan kebuli di dalam tujuh tenong yang menggambarkan jumlah hari dalam seminggu. Tenong pertama dan kedua merupakan jatah Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat. Tenong ketiga hingga lima bagian kerabat sultan. Sisanya, untuk penghulu dan kepala kaum masjid.
Doa dan selawat yang menyelusup dalam nasi jimat membuat makanan itu diincar warga. Sisa minyaknya saja dibungkus dalam plastik kecil dan dibagikan kepada warga yang telah menanti di luar dapur. Minyak itu bakal dimasak kembali.
”Orang-orang mengharapkan berkahnya. Nasi jimat yang juga disebut nasi Rasul ini inti dari upacara panjang jimat,” ujar H Saeful Rohim, pengurus Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Sesuai namanya, jimat merupakan akronim dalam bahasa Jawa, siji kang dirumat (satu yang dipelihara). Artinya, umat Islam harus berpegang pada ajaran agama.
Orang-orang mengharapkan berkahnya. Nasi jimat yang juga disebut nasi Rasul ini inti dari upacara panjang jimat (Saeful Rohim)
Baca juga: Tradisi Ratusan Tahun Menyambut Maulid di Cirebon
Kondisi serupa juga tampak di Keraton Kanoman. Warga bahkan rela menunggu hingga dini hari demi mendapatkan nasi jimat ketika upacara panjang jimat usai. ”Nasinya gurih. Ada telur dadar dan minyak kelapa. Kami ingin berkahnya supaya sehat dan diberi rezeki,” kata Kuniah (44), warga Kapetakan, sekitar 20 kilometer dari keraton.
Juru Bicara Kesultanan Kanoman Ratu Raja Arimbi Nurtina menuturkan, nasi jimat disimbolkan sebagai makanan bagi ibu yang lemas pasca-melahirkan. Dalam hal ini, kelahiran Nabi Muhammad SAW. ”Nasi jimat itu makanan empat sehat lima sempurna, tetapi tanpa susu,” katanya.
Baca juga: Ujian Berat untuk Toleransi di Kota Wali
Semakin sulit
Akan tetapi, di balik keberkahannya, pembuatan nasi jimat mengalami perubahan. Dulunya, nasi jimat diawali dengan mengupas gabah bijih demi bijih. Maknanya, dibutuhkan kesungguhan dalam melakukan sesuatu. Namun, dengan alasan efisiensi, kini, hanya satu kati (6 ons) gabah yang dikupas. Itu pun didatangkan dari Banten.
”Dari dulu dari Banten. Sudah turun-temurun,” kata Saeful.
Mendapatkan lauknya juga tidak lagi segampang dulu. Elli (66), warga Kecamatan Gunung Jati, Cirebon, bercerita bagaimana ikan kakap layur untuk dijadikan ikan bekasem sulit didapatkan.
”Sepuluh tahun lalu, dapat 1 ekor ikan ukuran 30 kilogram. Sekarang, karena enggak ada, saya beli yang tiga sampai empat ekor dengan ukuran sama,” ujarnya.
Elli merupakan generasi ketiga yang bertanggung jawab menyediakan bahan ikan bekasem. Sejak 1980-an, ia meneruskan wasiat ibunya, Weni, dan neneknya, Kasturi, untuk menyiapkan bahan bekasem. Saban tahun, sebelum tanggal 5 Safar, ia biasanya mendapatkan uang pembelian ikan dari pihak keraton.
Sepuluh tahun lalu, dapat 1 ekor ikan ukuran 30 kilogram. Sekarang, karena enggak ada, saya beli yang tiga sampai empat ekor dengan ukuran sama. (Elli)
Ikan itu didapatkan dari tempat pelelangan di Karangsong, Indramayu, bukan Cirebon. Karangsong berkontribusi lebih dari 40 persen dari 1,4 juta ton produksi perikanan Jabar, provinsi dengan penduduk terbanyak, lebih 48 juta jiwa.
Untuk ke Karangsong, Elli menumpang truk H Ali, juragan ikan di Gunung Jati. Mendiang ayah H Ali, H Samira, dulu kerap mengantar ibunya belanja ikan. Harga ikannya saat ini, Rp 35.000 per kg. ”Tahun lalu, masih Rp 25.000 per kg. Sebelumnya, lebih murah lagi,” kata ibu lima anak dan 12 cucu itu.
Sesuai dengan hukum pasar, jika barangnya sedikit dan permintaan banyak, harga pasti naik. Baginya, sulitnya mencari ikan sudah cerita lawas.
Semasa kecil, Elli masih ingat masa kejayaan neneknya, Mbah Kasturi, sebagai juragan udang gede di Bondet, Cirebon. Harga satu kilogram udang mencapai Rp 200.000. ”Dulu, jualannya per kuintal. Sekarang, per kg saja enggak ada. Sudah lama sekali,” ucapnya.
Perairan Bondet kini dipenuhi sampah dan tempat menjemur ikan asin. ”Saya tadi bawa ikan asin untuk keluarga sultan karena ikan laut enggak ada,” ucapnya.
Potret anjloknya produksi perikanan di Cirebon juga terekam dalam data Badan Pusat Statistik. Tahun lalu, produksi perikanan tangkap tercatat 22.747 ton. Jumlah ini jauh di bawah produksi perikanan laut di Cirebon pada 2004, yakni 48.843 ton.
Padahal, menurut Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan PRA Arief Natadiningrat, sejak dahulu Cirebon terkenal dengan kekayaan pesisirnya. ”Dulu, para wali juga biasanya tidak makan daging, tetapi ikan. Makanya, di nasi jimat, bekasemnya ikan,” katanya.
Dulu, para wali juga biasanya tidak makan daging, tetapi ikan. Makanya, di nasi jimat, bekasemnya ikan. (PRA Arief Natadiningrat)
Baca juga: Mimpi Cirebon dari Wilayah Pesisir
Pada abad ke-15, Cirebon juga terkenal dengan pelabuhannya yang menjelma sentra perdagangan bagi warga Eropa hingga China. Bahkan, nama Cirebon sendiri konon berasal dari kata cai dan rebon (udang kecil). Kini, Pelabuhan Cirebon didominasi bongkar muat batubara. Soal udang, silakan melihat patungnya di kantor Balai Kota Cirebon.
Jika suatu hari bahan nasi jimat, seperti bekasem ikan kian sulit didapatkan, bukan tidak mungkin tradisi ini terancam hilang. Semoga saja tidak. Lebih dari sekadar makanan, di sana tersimpan pesan baik mengarungi hidup.