Pembentukan Kelompok dan Efisiensi Pengolahan untuk Selamatkan Industri Karet
Petani diminta berkelompok dan memperbaiki pengolahan agar mendapat harga yang lebih baik di tengah anjloknya harga karet.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS – Berbagai upaya terus didorong untuk menyelamatkan industri karet nasional dari keterpurukan. Petani diminta berkelompok dan memperbaiki pengolahan agar mendapat harga yang lebih baik di tengah anjloknya harga karet. Pabrik karet remah pun didorong untuk melakukan efisiensi ongkos pengolahan.
“Berbagai upaya harus dilakukan secara bersama oleh semua pemangku kepentingan untuk menyelamatkan industri karet nasional dari keterpurukan akibat harga karet di pasar dunia yang kini anjlok,” kata Kepala Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sumut Herawati, di Medan, Selasa (26/11/2019).
Herawati mengatakan, para petani karet kini tidak bergairah menyadap karet karena harga di tingkat petani hanya berkisar Rp 4.500 hingga Rp 6.000 per kilogram. Padahal, beberapa tahun sebelumnya mencapai Rp 15.000 per kilogram. Akibatnya, banyak petani yang membiarkan kebunnya terbengkalai tidak disadap dan ada yang menebang tanaman karetnya.
“Peremajaan tanaman karet pun saat ini tidak lagi dilakukan sehingga produktivitas kebun karet terus menurun. Kami membagikan bibit karet unggul, tetapi tidak ada lagi petani yang mau meremajakan tanamannya,” kata Herawati.
Petani menjual getah karet ke pengumpul di Desa Rumah Sumbul, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hulu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (1/8/2018). Dalam tujuh tahun belakangan, petani karet terpuruk karena harga karet hanya sekitar Rp 6.000 per kilogram, turun dari Rp 18.000 pada tahun 2011. Akibatnya, banyak kebun tidak disadap bahkan ditebang untuk dijual batangnya.
Herawati mengatakan, petani didorong untuk berkelompok melalui pembentukan unit pengolahan dan pemasaran bersama bahan olah karet (UPPB). Melalui UPPB, petani bisa menikmati selisih harga Rp 2.500 – Rp 4.000 per kilogram karena pengolahan yang lebih baik dan dipangkasnya rantai produksi.
Melalui UPPB, kata Herawati, kelompok petani karet dapat menjual langsung bahan olah karet ke pabrik karet. Namun, kelompok ini harus bisa memproduksi sedikitnya 800 kilogram karet kering per tiga hari. Anggotanya minimal 25 orang petani. Standar pengolahan yang ditetapkan menggunakan bahan penggumpal asam semut atau asap cair. Ukuran, bentuk, dan waktu panen bahan olah karet pun harus seragam dan tak terdapat bahan pengotor di dalamnya.
Banyak petani yang tidak mau menjual karetnya ke kelompok karena pembayarannya harus menunggu karet diolah dan dijual ke pabrik.
Akan tetapi, kata Herawati, pembentukan UPPB sulit dilakukan di Sumut. Saat ini baru tiga kelompok yang terbentuk di Sumut di Kabupaten Serdang Bedagai, Deli Serdang, dan Tapanuli Selatan. Kelompok itu pun belum bisa berjalan dengan baik karena terkendala modal.
“Banyak petani yang tidak mau menjual karetnya ke kelompok karena pembayarannya harus menunggu karet diolah dan dijual ke pabrik. Sementara, para pengepul bisa langsung membayar meskipun harganya lebih rendah,” ujarnya.
Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut Edy Irwansyah mengatakan, persoalan lain yang dihadapi industri karet adalah tingginya ongkos pengolahan dan biaya logistik ekspor. Ongkos pengolahan saat ini semakin tinggi akibat berkurangnya pasokan bahan baku ke pabrik.
Saat ini, 30 pabrik karet remah di Sumut hanya mendapat bahan baku sekitar 400.000 ton, padahal kapasitas terpasang mencapai 820.000 ton. Dua pabrik pun tutup karena krisis bahan baku. “Pabrik karet remah di Sumut mengalami kapasitas menganggur 50 persen sehingga biaya pengolahan membengkak,” katanya.
Edy mengatakan, industri karet nasional harus diselamatkan karena dalam jangka panjang prospeknya sebenarnya masih cukup baik. Hal ini ditunjukkan pasar karet dunia yang masih terus bertumbuh. Menurut Edy, pembentukan UPPB cukup efektif untuk menggairahkan produksi petani rakyat.
Mislan Purba, petani karet yang juga Kepala Desa Bah Damar, Kecamatan Dolok Merawan, Serdang Bedagai, mengatakan, mereka telah membentuk UPPB. Awalnya, petani bergairah karena mendapat selisih harga Rp 3.000 per kilogram dibanding harga pasar. Namun, belakangan banyak petani yang tidak menjual karet ke kelompok karena pembayarannya harus menunggu karet diolah dan dijual ke pabrik. Padahal, pengepul mau membayar bahkan sebelum getah karet disadap.