Presiden Joko Widodo memberikan grasi berupa potongan hukuman satu tahun kepada terpidana korupsi Annas Maamun yang juga bekas Gubernur Riau.
Oleh
Riana Afifah / Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Keputusan Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada terpidana korupsi Annas Maamun, bekas Gubernur Riau, disorot sebagian kalangan. Tindakan tersebut dinilai tidak mencerminkan keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi.
Grasi untuk Annas, berupa potongan hukuman satu tahun, diberikan dengan pertimbangan kemanusiaan. Annas yang saat ini berusia 78 tahun sering sakit-sakitan.
”Grasi yang diberikan Presiden berupa pengurangan jumlah pidana dari pidana penjara 7 tahun menjadi pidana penjara selama 6 tahun. Namun, denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara tetap harus dibayarkan kepada negara oleh terpidana,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Ade Kusmanto.
Dengan pemberian grasi ini, Annas yang semestinya baru bebas pada 3 Oktober 2021, kini bisa bebas lebih awal. Berdasarkan hitungan pengurangan hukuman, Annas sudah bisa keluar dari penjara pada 3 Oktober 2020. Terkait denda yang tetap harus dibayarkan oleh Annas, menurut Ade, telah dilunasi oleh yang bersangkutan pada 11 Juli 2016.
Grasi untuk Annas, berupa potongan hukuman satu tahun, diberikan dengan pertimbangan kemanusiaan.
Putusan grasi dengan nomor 23/G tahun 2019 tertanggal 25 Oktober 2019 ini seolah mengembalikan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jawa Barat, yang menghukum Annas enam tahun penjara, tahun 2015. Ia terbukti bersalah dalam korupsi alih fungsi lahan yang merugikan negara Rp 5 miliar. Tahun 2018, hukumannya diperberat oleh majelis kasasi Mahkamah Agung menjadi tujuh tahun penjara.
”Yang bersangkutan mengajukan grasi karena usianya sudah uzur, sudah 78 tahun, dan sering sakit-sakitan,” kata Ade.
Berdasarkan surat permohonan grasi yang disampaikan, Annas mengidap berbagai penyakit, seperti depresi, lambung, hernia, dan sesak napas, sehingga memerlukan pemakaian oksigen setiap hari.
Pasal 6A Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan, demi kepentingan kemanusiaan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi tersebut. Presiden kemudian memutuskan setelah mendapat pertimbangan hukum tertulis dari MA.
Mengoyak rasa keadilan
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengatakan, keluarnya grasi presiden terhadap terpidana korupsi ini mengindikasikan melemahnya komitmen presiden terhadap pemberantasan korupsi. Sinyalemen ini mengkhawatirkan di tengah-tengah putusan pengadilan yang cenderung meringankan hukuman pelaku korupsi, serta berlakunya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
”Kalau memang alasan pengajuannya ialah kesehatan, kan tidak harus diberikan grasi. Namun, bisa saja yang bersangkutan diberikan pelayanan kesehatan yang memadai sesuai dengan prosedur operasional standar yang ditetapkan di dalam lembaga pemasyarakatan,” tutur Oce.
Pemberian grasi ini kian menguatkan keraguan publik terhadap komitmen antikorupsi presiden. ”Ini mengkhawatirkan,” ujarnya.
Sementara, peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, alasan kemanusiaan dalam pemberian grasi terhadap terpidana korupsi disayangkan. Sebab, terpidana yang diberikan grasi adalah bekas gubernur yang diberikan mandat oleh masyarakat, tetapi kepercayaan itu justru digunakan untuk korupsi.
Pemberian grasi ini kian menguatkan keraguan publik terhadap komitmen antikorupsi presiden.
Langkah presiden itu, menurut Kurnia, mencoreng rasa keadilan masyarakat. Sebab, bagaimanapun, pihak paling terdampak atas kejahatan korupsi yang dilakukan oleh terpidana adalah masyarakat itu sendiri. Presiden diharapkan mencabut pemberian grasi tersebut.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku sudah mendapat pemberitahuan mengenai pemberian grasi untuk Annas.
”Perlu dipahami bersama, korupsi di sektor kehutanan memiliki akibat lain, seperti lingkungan dan kepentingan publik yang lebih besar. Sementara, yang bersangkutan ini terlibat dalam berbagai perkara yang terkait dengan aspek kehutanan, yakni perubahan kawasan bukan hutan untuk kebutuhan perkebunan sawit saat itu,” tutur Febri.
Dari kajian KPK, terdapat tiga temuan yang jadi masalah di sektor kehutanan yang membuka celah korupsi.
Temuan itu antara lain ketidakpastian status kawasan hutan yang saat ini baru mencapai 68,29 persen dari 125,9 juta hektar per 2017, perizinan sumber daya alam yang rentan suap atau pemerasan, dan nilai manfaat sumber daya alam tidak sampai ke masyarakat karena adanya ketimpangan pengelolaan hutan oleh kepentingan skala besar.