Pengetahuan atas Potensi Diri menjadi Dasar Kemerdekaan Berpikir
Sering kali terjadi multitafsir atas definisi kemerdekaan di kalangan guru, kepala sekolah, pengawas, hingga ke tingkat pemerintah pusat. Penyatuan visi dan singkronisasi aturan harus segera dilakukan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kemerdekaan berpikir bagi para pendidik menjadi landasan dari pembangunan sumber daya manusia untuk masa depan. Akan tetapi, sering kali terjadi multitafsir atas definisi kemerdekaan di kalangan guru, kepala sekolah, pengawas, hingga ke tingkat pemerintah pusat. Penyatuan visi dan singkronisasi aturan harus segera dilakukan.
“Kenyataan di lapangan sekolah sangat kompleks. Guru-guru ada yang menyadari pentingnya kemerdekaan berpikir, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana. Di saat yang sama ada guru yang telah menerapkan pendekatan spesifik kebutuhan anak didiknya tanpa menyadari bahwa itu merupakan praktik otonomi pendidik,” kata Ketua Yayasan Cahaya Guru (YCG) Henny Supolo di Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Ia menekankan perlunya penyebarluasan contoh-contoh praktik baik yang terjadi di berbagai sekolah di Tanah Air. Pemerintah pusat, daerah, dan organisasi-organisasi guru bisa turut andil memfasilitasi agar guru memiliki semacam pustaka kongkrit tindakan yang bisa mereka tiru maupun diadaptasi dengan situasi masing-masing.
Selain itu, memetakan potensi tiap-tiap sekolah juga perlu digalakkan, agar guru dan para pemangku kepentingan menyadari bahwa mereka sudah punta potensi untuk mengembangkan kreativitas yang unik. Konsep ini sudah mulai diterapkan oleh YCG.
Misalnya, di SMPN 4 Pacitan, Jawa Timur, yang memiliki potensi pada pendidikan kesehatan reproduksi yang terintegrasi dengan berbagai mata pelajaran. Di SDN Cisarua, Tegalwaru, Jawa Barat yang dekat dengan persawahan, menjadikan lingkungan sebagai sumber belajar yang nyata dan menyenangkan bagi siswa.
“Senjata untuk kemerdekaan berpikir ada di hal-hal yang sering kali kita anggap remeh di sekitar, padahal merupakan kekuatan besar apabila digunakan dengan bijak,” papar Henny. Pemetaan potensi ini minimal juga dipahami pada tingkat pemerintah daerah sehingga pengawas sekolah dan dinas pendidikan tidak terkejut, apalagi antipati ketika menemukan berbagai praktik yang tidak seratus persen serupa dengan buku teks karena pada dasarnya buku teks merupakan garis besar petunjuk saja.
Pedagogis
Dosen Etika Profesi Guru Universitas Muhammadiyah Jakarta Herwina Bahar berpendapat, tantangan terberat dalam pengembangan profesi guru ialah ketika para pendidik terjebak dalam zona nyaman sehingga memperlakukan kegiatan belajar mengajar sebagai rutinitas harian. Padahal, profesi pendidik berbeda dari pekerjaan lain karena kuncinya adalah di keterbukaan berpikir dan kemauan untuk berkembang.
Kemerdekaan berpikir sangat berpengaruh membentuk empat kompetensi guru, yakni pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Herwina menjelaskan ketika mendidik para guru senior yang mengambil gelar S1 demi linearitas profesi dengan bidang ilmu, dosen-dosen kerap harus “merombak” lagi pola pikir guru agar seperti para calon guru muda yang baru lulus kuliah dan masih idealis.
Kemerdekaan berpikir ketika dipraktikkan di kelas tidak memerlukan rencana pemelajaran yang banyak dan kompleks asal tujuan belajar dan indikatornya jelas. “Banyak guru mengeluhkan komunikasi yang tidak lancar antara mereka, kepala sekolah, siswa, dan orangtua sehingga kesulitan menciptakan suasana pemelajaran yang bisa dinikmati oleh guru maupun siswa. Ini masukan kepada sistem pengelolaan sekolah agar membudayakan diskusi karena pendidikan tidak bisa berjalan atas masukan satu pihak saja,” tutur Herwina.
Konsep lingkaran
Deputi Bidang pemberdayaan Masyarakat, Desa, dan Kawasan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Sonny Budiutomo Harmadi menjelaskan, pembangunan sumber daya manusia juga tidak cukup hanya dengan menggalakkan kinerja guru. Harus ada investasi di bidang pendidikan dari pusat, daerah, dan sektor swasta.
Ia mengungkapkan, mayoritas pendapatan pemerintah daerah digunakan untuk membayar gaji pegawai negeri sipil karena bekerja untuk pemerintah masih menjadi sumber nafkah utama. Fenomena ini adalah akibat tidak berkembangnya ragam mata pencarian di berbagai wilayah. Apabila ragam pekerjaan bertambah, belanja pegawai berkurang dan pemerintah daerah bisa mulai membelanjakannya untuk modal pendidikan.
“Ini konsep lingkaran. Mata pencarian yang baik hanya bisa berkembang dengan pendidikan baik di wilayah tersebut. Baik pendidikan akademik maupun vokasi dimulai dengan melihat permasalahan di sekitar dan bersama mencari jalan keluar yang realistis,” ujarnya.