Pelaksanaan teknis dan penilaian SKB atas aduan perilaku intoleran, radikalisme, dan pernyataan menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan akan diteruskan ke Satgas Kemenpan dan RB.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Pelaksanaan teknis Surat Keputusan Bersama enam menteri dan lima kepala lembaga terkait dengan penanganan radikalisme pada aparatur sipil negara bergantung pada penilaian dari Satuan Tugas Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Pelaksanaan Surat Keputusan Bersama (SKB) itu pun saling terkait dengan ada tidaknya laporan masyarakat melalui portal aduanasn.id yang diluncurkan bersamaan dengan penetapan SKB tersebut, pekan lalu.
Menteri Komunikasi dan Informatika Jhonny Gerard Plate, Selasa (26/11/2019), saat dihubungi dari Jakarta mengatakan, portal aduanasn.id dibuat untuk memudahkan laporan masyarakat terkait dengan ASN. Selama ini, masyarakat biasanya membuat laporan secara offline atau manual, dan tidak terhubung dengan jaringan (online). Adanya portal aduasasn.id itu diharapkan bisa memudahkan pelaporan masyarakat tersebut.
Terkait dengan SKB tersebut, menurut Jhonny, penanggungjawabnya ialah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), sebagaimana disebutkan SKB. Dalam praktiknya, untuk penilaian terhadap aduan, apakah itu terkait perilaku intoleran, radikalisme, dan pernyataan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, menurut Jhonny, akan diteruskan Satgas Kemenpan dan RB untuk ditindaklanjuti dan dianalisis lebih jauh. Satgas itu pula yang akan memberikan penilaian apakah terjadi pelanggaran aturan ASN ataukah tidak.
Yang dimonitor adalah traffic percakapan yang terkait dengan ketidakpatuhan sipil dan kekacauan sipil.
Menurut Jhonny, SKB itu tak merampas kebebasan berpendapat ASN. Sebab, yang menjadi perhatian ialah alur percakapan yang dinilai menjadi bagian dari ketidakpatuhan sipil dan kekacauan sipil.
”Kebebasan berpendapat masyarakat termasuk ASN dijamin oleh konstitusi dan hak tersebut harus dilindungi. Yang dimonitor adalah traffic percakapan yang terkait dengan ketidakpatuhan sipil dan kekacauan sipil,” kata Jhonny.
Kementeriannya pun sejak lama mempunyai unit patroli siber yang bekerja 24 jam untuk memonitor seluruh lalu lintas internet dan media sosial secara keseluruhan. Keberadaan unit ini tak ada kaitannya dengan portal aduan ASN dan SKB.
Dalam SKB itu diatur 11 poin larangan untuk ASN, antara lain penyampaian pendapat dalam bentuk teks, gambar, atau video yang mengandung konten kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan pemerintahan. ASN juga dilarang menyebarkan berita yang menyesatkan, baik secara langsung maupun melalui medsos, termasuk menggunakan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan pemerintah.
Implementasi SKB itu pun belum memiliki aturan teknis di setiap kementerian ataupun aturan teknis antarkementerian. Sebagai contoh, implementasi SKB itu di Kementerian Agama (Kemenag) masih menunggu peraturan menteri terkait atau surat edaran menteri untuk bisa diberlakukan di internal kementerian
”Lazimnya, pelaksanaan suatu aturan, ada peraturan menteri atau surat edaran menteri supaya bisa diberlakukan untuk internal kementerian. Namun, saat ini ketentuan itu masih dalam pembahasan di tingkat pimpinan,” kata Kepala Bagian Humas Kemenag Ubaidillah.
Selain aturan internal, tidak tertutup juga SKB itu diturunkan dalam bentuk aturan teknis yang lebih detail dalam aturan teknis antarkementerian.
Ancaman kebebasan
Koordinator Sekretariat Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia (KKAI) dan Komite Pengarah/Steering Committee Southeast Asian Human Rights Studies Network (SEAHRN), Herlambang Perdana Wiratraman, mengatakan, SKB itu berlebihan, justru berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan. Aturan di dalamnya juga memperlihatkan negara kian menjauh dari prinsip negara hukum.
”Dari sudut ketatanegaraan, pembatasan hak dan kebebasan seharusnya bukan ditempatkan dengan bentuk hukum SKB/ Keputusan Bersama, melainkan dengan undang-undang. Atau, apabila pemerintah merasakan ada urgensinya, seharusnya presidenlah yang harus berani menerbitkan perppu (peraturan pengganti undang- undang),” kata Herlambang.
Pembatasan memang bisa dilakukan pemerintah, tetapi harus jelas standar dan acuannya.
Substansi SKB itu pun berpotensi menjadi ancaman atas kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat, serta penyampaian kritik, utamanya bagi ASN yang bekerja di kampus.
”Pembatasan memang bisa dilakukan pemerintah, tetapi harus jelas standar dan acuannya, terutama dengan berlandaskan standar hukum hak asasi manusia (HAM) internasional. Misalnya, pembatasan yang merujuk pada prinsip-prinsip Siracusa, yakni prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan pengurangan HAM dalam kovenan internasional tentang hak sipil dan politik,” tutur Herlambang.
Evaluasi dalam perangkat etika yang ada di kampus, serta lembaga pemerintah, lanjut Herlambang, harus dilakukan guna mengidentifikasi, menguji, sekaligus mempertanggungjawabkan potensi persoalan yang timbul.
”Bila tidak (pernah) ada basis evaluasi yang bisa dipertanggungjawabkan, dikhawatirkan dalam praktik justru terjadi kesewenang-wenangan antarhierarki di internal jajaran pemerintahan yang justru bertolak belakang dengan semangat membangun integritas dan profesional ASN,” tuturnya, menambahkan.