Sejumlah pakar memaparkan pentingnya pendekatan kesatuan hidrologis gambut untuk melindungi gambut. BRG pada tahun 2020 memilih sejumlah lokasi untuk menjadi pionir atau uji coba pendekatan tersebut.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendekatan pengelolaan dan perlindungan gambut secara kesatuan hidrologis gambut merupakan syarat agar restorasi bisa dijalankan dengan maksimal. Badan Restorasi Gambut pada masa akhir kerjanya di tahun 2020 memilih sejumlah lokasi di area prioritasnya untuk menjadi pionir atau uji coba pendekatan tersebut.
Dalam Pertemuan Ilmiah Nasional Restorasi Gambut Berbasis Integrasi Pengetahuan dan Inovasi Teknologi untuk Mengantisipasi Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 2020, Selasa (26/11/2019), di Jakarta, sejumlah pakar memaparkan pentingnya pendekatan kesatuan hidrologis gambut (KHG) tersebut. Namun, tantangannya adalah KHG sebagai ekosistem gambut yang terletak di antara dua sungai atau di antara sungai dan laut ini, di dalamnya memiliki sekat administrasi kewilayahan ataupun status lahan/hutan.
Kepala BRG Nazir Foead seusai membuka kegiatan tersebut menyepakati akan pentingnya KHG untuk keberhasilan restorasi gambut. Karena itu, pada tahun 2020, pihaknya akan menentukan sejumlah KHG di wilayah prioritas restorasi untuk menjadi lokasi pionir atau uji coba pendekatan KHG tersebut.
Ia menyebutkan KHG di Riau yang sudah pasti menjadi lokasi uji coba, yaitu di Tebing Tinggi, Kepulauan Meranti. Daerah ini dipilih karena merupakan lokasi blusukan Presiden Joko Widodo yang menandai pembasahan gambut melalui penyekatan kanal, tepat lima tahun lalu.
”Tebing Tinggi ini sudah fix. Di situ perusahaan yang ada cuma satu, yaitu (HTI) sagu yang suka sama air (gambut basah). Kalau di tempat lain pasti tantangan sangat besar,” ucap Haris Gunawan, Deputi Penelitian dan Pengembangan BRG.
ia mengatakan, menurut rencana, sementara terdapat 12 KHG yang menjadi lokasi uji coba. Di Riau terdapat 2 KHG, yaitu di Tebing Tinggi dan Kampar, kemudian tempat lain yaitu di Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua. Sebagai catatan, pada areal kerja BRG terdapat total 106 KHG dari total lebih dari 400 KHG di Indonesia.
Akademisi dari Universitas Riau tersebut mengungkapkan pilihan pada Riau lebih cepat karena ”Bumi Lancang Kuning” rutin mengalami anomali cuaca, yaitu dua kali masa kemarau. Kemarau terdekat dimulai pada Februari. ”Jangan sampai Riau kecolongan-kelepasan lagi. Kalau provinsi lain, kan (musim kemarau) agak mundur datangnya,” katanya.
Haris mengungkapkan, pendekatan KHG membutuhkan syarat, yaitu kelengkapan data, seperti ketersediaan data neraca air. Ia mengakui belum semua daerah memilikinya. Karena itu, dalam waktu dekat, BRG berupaya melengkapi data ini untuk menjadi modal dalam perencanaan restorasi.
Nazir Foead mengatakan, dukungan kementerian lain untuk sama-sama mengeroyok restorasi KHG ini sangat tinggi. Disebutkan, beberapa waktu lalu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memimpin rapat bersama BRG; Menteri Pertanian; Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional; Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi; Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; serta Kementerian Sosial membahas area untuk sama-sama dibasahkan.
Ia menambahkan, lokasi uji coba lain yaitu di Londrang (Jambi), Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan), dan Sanggau (Kalimantan Barat). Alasannya, Londrang dan Ogan Komering Ilir merupakan daerah yang banyak terbakar dan Sanggau terdapat konsesi hutan tanaman industri (HTI) PT Wana Subur Lestari/PT Mayangkara Tanaman Industri yang dinilai menerapkan pengelolaan gambut secara baik.
Pendekatan KHG, lanjut Nazir, memerlukan kerja sama semua pemangku kepentingan di seluruh KHG. Ini karena dalam satu KHG bisa saja dimanfaatkan masyarakat untuk pertanian/perkebunan/permukiman, konsesi perkebunan dan kehutanan, hutan konservasi, dan hutan lindung yang memiliki hak dan kewenangan pengelolaan masing-masing.
Para pemangku kepentingan ini agar duduk bersama dan sama-sama menjalankan restorasi. Tujuannya agar pengelolaan gambut setiap penanggung jawab areal lahan/hutan saling diuntungkan. Apabila menggunakan pendekatan konsesi/areal masing-masing, bisa saja wilayah yang satu benar-benar dijaga sehingga gambut basah, tetapi di wilayah tetangga mengering.
Atau bisa juga, pada lahan perusahaan tetap basah, tetapi wilayah masyarakat menjadi banjir. Pengelolaan KHG ini membutuhkan ketersediaan data neraca air dan peta detsil KHG yang menggambarkan kelerengan, kedalaman, dan keberadaan kubah gambut.
Sementara itu, Budi Triadi, peneliti utama teknik sumber daya air pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, mengatakan, pendekatan pengelolaan gambut harus menggunakan KHG. ”Kalau dipecah-pecah, gambutnya sendiri akan tercacah-cacah,” ujarnya.
Ia mengakui, pengelolaan gambut dalam satu KHG ini hingga kini belum memiliki institusi yang memiliki kewenangan mutlak. Ia membandingkan dengan pendekatan daerah aliran sungai (DAS) yang memiliki pengelola sendiri di Kementerian PUPR melalui balai-balai wilayah sungai. Namun, catatan Kompas, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga terdapat institusi pengelola DAS berupa balai-balai di daerah.
”Mau tak mau gambut harus dikelola dalam konsep KHG karena kalau tidak nanti masing-masing akan punya kepentingan sendiri dan akan mengorbankan kepentingan yang lain,” ucapnya.
Budi Triadi mengakui, pendekatan KHG akan sangat luas cakupan wilayah dan pengampu kepentingan serta status/fungsi gambut/lahan/hutan tersebut. Karena itu, saran dia, bisa saja BRG mengambil uji coba pada skala sub-KHG untuk menjadi contoh yang jika sukses terkelola maka konsepnya bisa direplikasi di tempat lain.
Ia mengatakan, tantangan pendekatan KHG ini yaitu agar setiap pemangku kepentingan pada satu KHG tersebut bekerja bersama-sama dan memiliki semangat perlindungan gambut dari kebakaran. Ditanya siapa yang seharusnya bisa mengoordinasikan para pemangku kepentingan tersebut, Budi yang juga Ketua Subkelompok Ahli Hidrologi dan Tata Air BRG mengatakan, ”BRG bisa ambil peranan. Mungkin BRG bisa menginisiasi sebagai badan restorasi yang punya tugas serta fungsi fasilitasi dan evaluasi.”
Myrna Asnawati Safitri, Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG, mengatakan telah mulai membangun komunikasi antar-perusahaan dalam satu KHG di Kalimantan Tengah. ”Ini tahap awal bagi mereka untuk saling tahu dan petakan masalah di situ. Perusahaan kadang-kadang hanya ingin melindungi diri sendiri dan melupakan sekitar. Bimbingan Teknis KHG ini membuka kesempatan mereka untuk duduk bersama dan melihat apa yang bisa dilakukan dalam skala KHG,” terangnya.
Terkait siapa nantinya yang menjadi koordinator/penanggung jawab restorasi di KHG ini, Nazir Foead mengatakan masih dibahas. ”Apakah perlu satu komandan per KHG? Itu akan dibahas nanti,” ujarnya.
Nazir Foead mengatakan, pendekatan KHG ini juga merespons perintah Presiden Joko Widodo untuk memperhatikan tata kelola air dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan. ”Karena itu, kita mulai hitung jumlah air yang harus ditampung sehingga ada stamina optimal menghadapi kemarau. Kalau kurang (air yang tertampung), kita bikin hujan buatan di tengah jalan,” katanya.
Penggunaan teknologi modifikasi cuaca (TMC) berupa hujan buatan pada ”pertengahan jalan” tersebut pun juga pendekatan pencegahan baru untuk mengoptimalkan potensi pembasahan gambut. Artinya, sejak dini TMC tak lagi hanya dimanfaatkan untuk pemadaman, tetapi juga dimanfaatkan untuk pencegahan kebakaran.