Agar Pembangunan Sesuai Karakteristik Wilayah, Pemerintah Padukan Data Geospasial dan Statistik
Pemerintah kini tengah berupaya memadukan antara data geospasial dan data statistik untuk mendukung program pembangunan nasional. Perpaduan ini bisa membuat masalah sosial kependudukan bisa dipetakan secara akurat.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah kini tengah berupaya memadukan antara data geospasial dan data statistik untuk mendukung program pembangunan nasional. Dengan informasi geospasial ini, diharapkan data statistik tentang masalah sosial kependudukan bisa dipetakan secara akurat.
Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Hasanuddin Z Abidin menjelaskan, BIG kini sedang berupaya menggabungkan data pemetaan wilayah atau data spasial dengan data statistik milik Badan Pusat Statistik (BPS). Hal tersebut dilakukan dalam rangka menjelaskan setiap indikator dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
”Saat ini, menjelaskan kemiskinan hanya dengan angka saja tidak cukup. Perlu ada penjelasan secara spasial wilayah-wilayah mana saja yang tingkat kemiskinannya masih tinggi,” katanya dalam Seminar Nasional Geografi Peran Big Data Spasial di Era 4.0, Rabu (27/11/2019), di Depok.
Hasan menambahkan, hal tersebut dimaksudkan agar pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan karakteristik wilayahnya, baik dari tingkat desa maupun nasional. Selain itu, kolaborasi ini juga sesuai dengan instruksi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kepada semua negara agar memadukan data geospasial dan statistiknya.
Saat ini, beberapa data sedang dipadukan oleh BIG dan BPS. Data tersebut, antara lain, adalah data tentang angka rasio gini, kelahiran dan kemiskinan. Meski begitu, Hasan mengatakan bahwa hal tersebut belum cukup karena data yang dipadukan sejauh ini masih dalam lingkup nasional.
”Koordinasi ini masih perlu dilakukan dalam level kabupaten dan kota. Hanya saja, ketersediaan data masih menjadi masalah,” ujarnya.
Menurut Hasan, Indonesia kini sudah berada di jalur yang tepat dalam mewujudkan integrasi data tersebut. Setelah mengeluarkan kebijakan satu peta untuk menggabungkan peta tematik milik kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, kini pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan satu data.
Saat ini, menjelaskan kemiskinan hanya dengan angka saja tidak cukup. Perlu ada penjelasan secara spasial wilayah-wilayah mana saja yang tingkat kemiskinannya masih tinggi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, kebijakan satu data tersebut penting untuk melawan kesimpangsiuran data. Sebab, kesimpangsiuran tersebut selama ini kerap menjadi menghambat optimalisasi pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Menurut Hasan, ke depan seluruh rencana pembangunan harus dibuktikan di atas peta sehingga pelaksanaannya bisa berjalan efektif dan efisien. Terlebih, dalam hal ini peta juga berfungsi sebagai geospasial forensik. Misalnya, dalam hal pemberian izin pembukaan lahan, pemerintah bisa langsung mengecek kesesuaian besaran lahan.
”Kesalahan dalam pemetaan akan berdampak luas. Jika salah menentukan luas baku sawah, hitungan pemberian subsidi pupuk, benih atau alat pertanian juga akan meleset,” ujarnya.
Menurut Hasan, pembangunan yang dilakukan di daerah sering kali belum tersinkronisasi dengan baik. Misalnya, pembangunan bendungan yang tidak klop dengan saluran irigasi dan posisi areal persawahannya. Selain itu, ada juga pembangunan pelabuhan yang lokasinya amat jauh dengan tempat pelelangan ikannya.
Analisis ”big data”
Sementara itu, BIG juga tengah mengkaji tawaran kerja sama dengan lembaga pemetaan Inggris, Ordnance Survey, guna memanfaatkan analisis big data (mahadata) untuk pemetaan skala besar. Mereka terbukti telah menerapkan otomatisasi dalam pemutakhiran peta dasar di negaranya.
Menurut Hasan, mereka memasang kamera matriks pada kendaraan yang setiap hari mengelilingi kota, seperti truk pengangkut sampah. Data tersebut kemudian diteruskan pada pusat komando. Dari situ, sistem pada pusat komando akan langsung menganalisis titik mana saja yang perlu diperbarui secara otomatis.
”Mereka mengatakan (otomatisasi) sudah 85 persen. Jadi, 15 persennya tinggal proses validasi manualnya saja. Kita masih mengkaji kerja sama ini,” kata Hasan.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional Muhammad Dimyati menambahkan, pemanfaatan big data spasial kini telah menjadi tren dalam pengembangan konsep kota cerdas di sejumlah wilayah.
”Ada banyak manfaat yang bisa didapatkan dari pengelolaan big data geospasial, yakni meningkatkan efisiensi, mencapai penghematan finansial, memberikan keputusan bisnis yang lebih baik dan meningkatkan keterlibatan pelanggan,” katanya.
Dimyati menambahkan, pemanfaatan big data spasial juga dapat digunakan untuk mengukur dampak bencana alam di kawasan rawan bencana. Hal itu bisa dimodelkan melalui simulasi tanah longsor dan banjir bandang dengan medium tiga dimensi. Dari situ bisa diperkirakan sebesar apa kerusakan infrastruktur dan korban yang akan terdampak.
”Model simulasi tersebut, saat ini baru sebatas tahapan penelitian. Kita berharap model ini segera bisa diterapkan di daerah-daerah. Bentuknya bukan lagi peta atau gambar, tapi video,” katanya.
Staf Khusus Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Oktorialdi mengatakan, dalam pembangunan wilayah, big data spasial bisa mendukung penyaluran bantuan sosial secara tepat sasaran. ”Layanan pemerintah dan kesehatan bisa difokuskan pada daerah-daerah yang sepatutnya memerlukan perhatian,” katanya.