Tak Semua Jenis Pajak dan Retribusi Daerah Perlu Dirasionalisasi
Rasionalisasi pajak dan retribusi daerah tetap harus mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah. Sebaiknya rasionalisasi hanya dilakukan pada jenis pajak dan retribusi yang dinilai kontraproduktif terhadap investasi.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rasionalisasi pajak dan retribusi daerah tetap harus mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah. Sebaiknya rasionalisasi hanya dilakukan pada jenis pajak dan retribusi yang dinilai kontraproduktif terhadap investasi.
Pemerintah pusat akan merasionalisasi pajak dan retribusi daerah dengan merevisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua aturan itu akan dipayungi dalam RUU Omnibus Perpajakan.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan tarif PDRD akan diatur ulang. Tujuannya untuk mengurangi beban biaya berinvestasi dan memberi kepastian berusaha.
”Kondisi saat ini masing-masing pemerintah daerah menerbitkan peraturan PDRD sehingga terjadi ekonomi biaya tinggi,” kata Iskandar di Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Dalam UU No 28/2009, ada lima jenis pajak yang berwenang dipungut pemerintah provinsi, 11 jenis pajak kabupaten/kota, dan 3 obyek retribusi. UU hanya menetapkan batas minimum dan maksimum tarif sehingga setiap daerah bisa memungut pajak dan retribusi berbeda. Selain itu, ada beberapa obyek yang juga dikenai pungutan pajak berganda antara pusat dan daerah.
Menurut Iskandar, rasionalisasi PDRD masih dibahas intensif dengan pemerintah daerah dan pelaku usaha. Namun, kemungkinan besar pemerintah pusat akan menetapkan tarif PDRD. Pemerintah pusat juga akan menyusun skema dan formulasi pembagian hasil pajak antara pusat dan daerah.
Rasionalisasi PDRD intinya kemudahan. Tidak ada pungutan pajak berganda dan investor tidak akan dipersulit,” ujar Iskandar.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpendapat, rasionalisasi sebaiknya dilakukan pada jenis-jenis PDRD yang terkait langsung dengan investasi, seperti Pajak Air Permukaan dan Pajak Air Tanah. Tidak semua PDRD perlu diatur pemerintah pusat.
Rasionalisasi PDRD mesti mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah. Menurut Tauhid, pendapatan asli daerah (PAD) akan berkurang dalam jangka pendek karena kewenangan pungutan pajak dan restribusi terbatas. PDRD menjadi sumber pendapatan daerah terbesar selain dana perimbangan dari pusat berupa dana alokasi khusus dan dana alokasi umum.
”Pembagian perizinan dan kewenangan pungutan pajak dan retribusi antara pusat dan daerah harus jelas. Harus dipikirkan juga konsekuensi yang harus ditanggung,” ujar Tauhid.
Di sisi lain, kemampuan pemerintah daerah untuk memungut pajak dan retribusi masih rendah. Berdasarkan data yang diolah Universitas Indonesia, rata-rata rasio pajak pemerintah daerah 1,2 persen pada 2017. Rasio pajak itu dihitung dari data agregasi provinsi, kabupaten, dan kota yang dibagi produk domestik bruto (PDB) nasional (Kompas.id 13/8/2019).
Dari 34 provinsi, hanya 10 provinsi yang rasio pajak pemerintah daerahnya di atas rata-rata 1,2 persen. Sepuluh provinsi tersebut, antara lain, Bali, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Banten, Maluku Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat.
Rata-rata rasio pajak pemerintah daerah di Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan sejumlah negara. Rasio pajak pemerintah daerah di Swedia, misalnya, 16 persen, Australia 4,4 persen, Portugal 2,3 persen, dan Hongaria 2 persen.
Omnibus Perpajakan
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, rasionalisasi PDRB termasuk dalam RUU Omnibus Perpajakan. Rasionalisasi diperlukan karena pajak daerah menjadi salah satu faktor yang dinilai menghambat investasi. Setiap daerah kini menetapkan tarif yang berbeda untuk jenis pajak yang sama.
”Di daerah, jenis pajak sama, tetapi tarif berbeda. Ini yang mau dirasionalisasi,” ujar Suryo.
RUU Omnibus Perpajakan akan memayungi semua aturan terkait perpajakan, mulai dari UU No 38/2008 tentang Pajak Penghasilan, UU No 42/2009 tentang PPN, UU No 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, hingga UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Suryo mengatakan, RUU Omnibus Perpajakan akan diajukan ke DPR pada bulan Desember 2019 sehingga bisa masuk program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2020. Implementasi Omnibus Perpajakan ditargetkan mulai tahun 2020. Langkah ini diyakini dapat mengakselerasi pertumbuhan investasi dan meningkatkan daya saing Indonesia.
Ada enam isu utama dalam RUU Omnibus Perpajakan yang akan memayungi semua aturan terkait perpajakan, yakni penurunan tarif pajak badan, penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri dan luar negeri, pengaturan sistem teritori untuk penghasilan yang diperoleh dari luar negeri, serta relaksasi hak untuk pengkreditkan pajak masukan.
Selanjutnya, ada pengaturan ulang sanksi administratif perpajakan dan menjadikan pelaku usaha perdagangan daring sebagai subyek pajak kendati berada di luar negeri.