Warga Muara Angke Sampaikan Konsep Penataan Permukiman
Warga Blok Eceng, Blok Limbah, dan Kampung Tembok Bolong di Muara Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta Utara, berharap Pemprov DKI segera merespon usulan konsep penataan permukiman mereka, Rabu (27/11/2019).
Oleh
J Galuh Bimantara
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -Warga Blok Eceng, Blok Limbah, dan Kampung Tembok Bolong di Muara Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta Utara, menyampaikan usulan konsep penataan permukiman mereka ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Rabu (27/11/2019). Tujuannya agar Pemprov membatalkan pemindahan sejumlah warga di sana ke rumah susun sederhana sewa.
Program relokasi itu merupakan tindak lanjut dari rencana pemakaian sebagian lahan hunian untuk proyek fasilitas Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat Jakarta atau Jakarta Sewerage System (JSS).
“Semua konsep yang disampaikan akan direspons sesegera mungkin,” tutur Wali Kota Jakarta Utara Sigit Wijatmoko, Rabu sore, dalam pertemuan di balai warga Blok Eceng.
Akan tetapi, Sigit belum bisa menjawab kapan respons dari Pemprov DKI bisa diterima warga, siapa yang bertanggung jawab menyampaikan, serta mekanisme respons. Ia mesti melaporkan terlebih dahulu ke tingkat provinsi dan konsep penataan dibahas lintas organisasi perangkat daerah (OPD). Setidaknya tiga OPD terkait dengan aktivitas di Muara Angke, yaitu Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelabuhan Perikanan Nusantara; Dinas Perhubungan; serta Dinas Sumber Daya Air untuk proyek JSS.
Suwandi, warga Blok Eceng, resah dengan ketidakpastian soal kapan respons pemprov disampaikan ke warga, terutama tentang diterima atau tidaknya usulan mereka. Itu lantaran PLN sudah datang meminta warga memasang meteran listrik agar mereka mendapatkan energi listrik secara legal. Jika tidak segera dipasang, aliran listrik terancam diputus.
“Pasang meter listrik itu Rp 3 juta lebih. Seandainya kami sudah pasang terus ada kepastian usulan kami diterima, terus kami harus bergeser, kami kan sudah keluar uang banyak,” ujar Suwandi.
Jika hunian mereka sudah pasti bergeser sebelum tenggat dari PLN habis, mereka akan memilih tidak memasang meter listrik dulu sehingga uang jutaan rupiah tidak perlu keluar.
Warga menyusun konsep penataan secara mandiri dengan didampingi Urban Poor Consortium (UPC) dan Rujak Center for Urban Studies. Visi mereka menjadikan permukiman tertata dengan konsep kampung nelayan tradisional.
Koordinator Advokasi UPC Gugun Muhammad mengatakan, negara dinilai tidak hadir selama puluhan tahun di permukiman Muara Angke. Legalitas bermukim di sana tidak kunjung didapatkan warga, dan beragam layanan dasar belum diterima mereka, antara lain layanan air bersih, listrik, kesehatan, dan pendidikan. Karena itu, pemprov mesti menghadirkan keadilan sosial dalam mengupayakan permukiman layak bagi warga Muara Angke.
Strateginya, posisi permukiman diatur dekat dengan dermaga dan pasar lelang mengingat warga di Blok Eceng, Blok Limbah, dan Tembok Bolong kebanyakan mengandalkan mata pencaharian terkait perikanan. Untuk permukiman Blok Eceng dan Blok Limbah, warga merekomendasikan penerapan konsolidasi tanah sedangkan untuk Tembok Bolong menggunakan strategi permukiman kembali.
Konsolidasi tanah merupakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah guna menyediakan lahan bagi pembangunan perumahan dan permukiman dengan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam yang meningkat.
Adapun maksud permukiman kembali yaitu memindahkan masyarakat terdampak dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali karena tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rawan bencana serta dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang. Warga Tembok Bolong tinggal di atas air dan sampah, mengingat mereka menempati lahan rawa.
Seluruh warga sudah bersepakat untuk menempati lahan yang lebih sempit dibanding yang sekarang digunakan agar jumlah hunian memadai tapi sekaligus lingkungan lebih tertata. Lahan hunian di Blok Eceng dan Blok Limbah dikurangi 20 persen dan di Tembok Bolong 10 persen. “Semuanya dikurangi dulu, tetapi untuk rumah yang di bawah 21 meter persegi dinaikkan menjadi 21 meter persegi, supaya tetap standar, layak untuk tinggal,” ucap Gugun.
Lahan permukiman Blok Eceng dan Blok Limbah saat ini sekitar 22.700 meter persegi. Dengan mempertimbangkan sebagian lahan diambil untuk proyek JSS dan bakal ada tambahan lahan dari yang rencananya dipakai untuk pembangunan hunian sementara, tanah yang bisa dikonsolidasikan untuk penataan permukiman Blok Eceng dan Blok Limbah diperkirakan 14.000 meter persegi.
Seluruh warga sudah bersepakat untuk menempati lahan yang lebih sempit dibanding yang sekarang digunakan agar jumlah hunian memadai tapi sekaligus lingkungan lebih tertata.
Pada lahan seluas itu, warga Blok Eceng dan Blok Limbah mengusulkan pembangunan 234 unit hunian, terdiri dari 116 unit tipe 21 dan 41 unit tipe 28 serta 77 unit tipe 36. Masing-masing keluarga dipastikan mendapat lahan tapak.
Untuk permukiman kembali warga Tembok Bolong, warga usul menggunakan 5.000 meter persegi dari total 25.116 meter persegi lahan Dinas Perhubungan DKI, yang berlokasi di utara lahan pemukiman Tembok Bolong saat ini. Berbeda dengan di Blok Eceng dan Blok Limbah, hunian hasil penataan Tembok Bolong diusulkan berbentuk bangunan vertikal setinggi 4-5 lantai. Hunian yang disediakan terdiri dari tiga tipe, yaitu tipe 21 sebanyak 20 unit, tipe 28 sebanyak 238 unit, dan tipe 36 sebanyak 54 unit.
Terkait usulan penataan permukiman ini, Kepala UPT Pelabuhan Perikanan Nusantara Mahad merekomendasikan sebaiknya penataan tetap mengikuti zonasi yang sudah tersedia bagi Muara Angke. “Bagi kami orang pemerintah, kerja kan harus ada landasannya, seperti sholat ada kiblatnya,” kata dia.
Untuk Muara Angke, terdapat Keputusan Gubernur Nomor 1263 Tahun 2006 tentang Panduan Rancang Kota Kawasan Pembangunan Terpadu Muara Angke Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Berdasarkan keputusan itu, pada lahan yang sekarang menjadi Blok Eceng, Blok Limbah, dan Tembok Bolong semestinya tidak ada permukiman.
Namun, lahan permukiman sebenarnya diakomodasi, yaitu seluas empat hektar di sebelah barat Rusunawa Cinta Kasih Tzu Chi Muara Angke. Lahan itu, selama digunakan untuk bangunan vertikal seperti rusun, cukup untuk ditinggali warga yang direlokasi dari permukiman kumuh Muara Angke, termasuk seluruh warga yang terdampak pembangunan fasilitas JSS di Blok Eceng, Blok Limbah, dan Tembok Bolong.