Warisan Alfred Russel Wallace tidak hanya di timur Indonesia, tetapi juga dunia. Lewat 1,5 abad, ia ”berlayar” lagi dalam film di Makassar, menarik publik menelusuri jejak, juga lewat bekas luka cakar.
Oleh
Saiful Rijal Yunus
·4 menit baca
Tak terbayang di benak Amrullah (20), kejadian lebih dari enam tahun lalu itu terkait erat film yang ia tonton Minggu (24/11/2019), di Rumata’ Artspace, Makassar, Sulawesi Selatan. Di siang yang gerah, bersama lebih dari 20 orang, ia berkumpul di ruangan utama, menonton rekam jejak Alfred Russel Wallace, sang naturalis, antropolog, sekaligus kolektor satwa asal Inggris, yang menggebrak dunia lewat penjelajahan dan pemikiran.
Mata Amrul, bungsu enam bersaudara itu, fokus pada film yang ditayangkan di layar 3 meter x 2 meter. Mark Robert Bailey atau Bill Bailey, komedian Inggris, sedang menjelajah Pulau Sulawesi. Ia telusuri jejak Wallace dalam seri dokumenter Jungle Hero produksi BBC berjudul Wallace in the Spice Island.
Bailey, ditemani pemandu, masuk ke hutan Sulawesi Utara. Dengan pembawaan santai, penuh banyolan, ia menelusuri hutan, mencari hewan-hewan yang pernah menjadi fokus pencarian penelitian Wallace.
Di Sulawesi ini dia mulai melihat perbedaan satwa.
Setelah mencari di antara pepohonan tinggi, kamera mengarah ke satwa di dahan pohon. Kuskus beruang, mamalia berkantong itu, hewan yang pertama kali disorot. Selain satwa bercakar besar itu, Bailey juga menapaki kera yaki hingga tarsius. ”Di Sulawesi ini dia mulai melihat perbedaan satwa, yang lalu menjadi dasar saat ia merumuskan garis maya yang kita kenal sekarang dengan nama Garis Wallace,” tutur Bailey.
Wallace memang mulai menyadari perbedaan hewan dari daratan Kalimantan yang ia jelajahi sebelumnya dengan sejumlah fauna di Sulawesi. Hal itu mendorongnya berlayar lebih jauh, menjelajah hingga Ternate, tempat ia menemukan ”aha” momen, tentang teori evolusi. Tidak hanya bagi Wallace, satwa-satwa itu, khususnya kuskus beruang, juga berarti bagi Amrul. Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia Makassar ini tahu betul hewan tersebut.
”Waktu itu kelas 1 SMP, pas kami main di kebun dekat rumah, ada hewan ini di pohon. Saya mau pegang, tapi tiba-tiba dicakar,” ujar Amrul menunjukkan bekas cakar di punggung tangan kirinya. Ia baru saja tahu satwa yang melukainya itu penting bagi dunia. ”Kami dulu menyebutnya huse dalam bahasa lokal di Kolaka Utara,” ucapnya.
Amrul berasal dari Desa Raoda, Kecamatan Lambai, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara. Semasa ia kecil, huse sering muncul di sekitar rumah. Pengetahuannya bertambah setelah menonton film Wallace. Awalnya, ia hanya mengantar kakaknya, Khasi (23). Khasi memang lebih antusias. Meski mengaku tak pernah tahu betul Alfred Russel Wallace, ia tertarik untuk lebih jauh mencari dan menonton.
Tuntas menonton, Khasi jadi tahu lebih keanekaragaman fauna dan alam Tanah Air, khususnya di Sulawesi. Meski senang menonton dokumenter hidupan liar, ia tidak begitu paham kekayaan Indonesia.
Saya terpikir bikin website tentang fauna dan flora khas Sulawesi. Biar orang tahu dan menjaga kekayaan kita.
Menurut lulusan Sistem Informatika Universitas Islam Negeri Makassar ini, ia jadi lebih ingin berbuat sesuatu berdasar jejak dan warisan Wallace. ”Saya terpikir bikin website tentang fauna dan flora khas Sulawesi. Biar orang tahu dan menjaga kekayaan kita,” katanya.
Warisan besar
Pemutaran film terkait Wallace dan kekayaan hayati kawasan Wallacea merupakan rangkaian Pekan Wallacea di Makassar, 22-28 November. Pemutaran film adalah bagian pergelaran yang diadakan British Council ini, selain acara lain seperti pameran, simposium, dan bincang-bincang.
Selain memutar biografi Wallace, dua film diputar sebelumnya, The Whales Hunters of Lamalera dan The Bajau. Kedua film itu juga seri dokumenter BBC berjudul Hunters of The South Seas karya sutradara Will Millard.
Meski kedua film itu diputar di hari dan tempat berbeda, yaitu Benteng Fort Rotterdam dan Rumata’ Artspace, itu tidak menghalangi M Ikhsan (26) dan Iswa Salmah (26) untuk menikmatinya.
Kedua mantan mahasiswa pencinta alam itu merasa penting mengetahui kekayaan alam dan adat istiadat banyak daerah. Jumat (22/11) malam, Ikhsan dan Iswa asyik menonton The Bajau di Rumata’ Artspace. Lewat layar besar, Millard disorot datang ke pulau yang dihuni masyarakat Bajau di Kepulauan Wakatobi, Sultra.
Film itu memberi Ikhsan perspektif soal kekayaan alam. Bukan hanya terkait fauna dan kekayaan hayati, melainkan juga interaksi manusia di dalamnya. ”Saya kagum dengan mereka yang mengambil seadanya untuk hidup. Meski mereka kadang memburu hewan dilindungi, masyarakat ini tidak rakus. Mereka melakukan hanya untuk makan dan kebutuhan sehari-hari,” paparnya.
Saya makin tahu jejak Wallace.
Iswa menambahkan, itu kian menarik karena wilayah Indonesia, khususnya kawasan Wallacea, wilayah tiada duanya. Hanya saja, banyak ancaman, seperti kerusakan lingkungan dan pengeboman ikan. ”Saya makin tahu jejak Wallace,” ucapnya.
Di dunia, jejak Wallace tertutup bayang-bayang Charles Darwin yang mengeluarkan teori evolusi 1,5 abad silam. Sebelumnya, Wallace telah mengirim surat dari Ternate berisi temuan dan pemikirannya terkait teori evolusi selama menjelajah Nusantara, khususnya kawasan Wallacea.
Sangkot Marzuki, Dewan Pembina Yayasan Wallace, menyampaikan, banyak medium membagikan warisan Wallace, termasuk memantik kesadaran publik, khususnya anak muda. Sang naturalis Inggris itu telah pergi. Saatnya anak-anak negeri berbuat nyata. Bekas luka cakar adalah ajakan mengolah sekaligus memelihara alam bagi kebaikan dunia.