Ajak Keluarga Korban Bicara jika Ingin Penyelesaian Ekstrayudisial
Tidak semua dugaan pelanggaran HAM berat bisa diselesaikan melalui mekanisme ekstrayudisial. Korban atau keluarga korban harus diajak menentukan kasus mana saja yang ingin diselesaikan melalui mekanisme itu.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah harus mendengarkan pendapat korban dan keluarga korban jika hendak menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat melalui mekanisme ekstrayudisial. Tidak semua kasus pelanggaran HAM berat bisa diselesaikan dengan mekanisme itu. Beberapa kasus berpotensi diselesaikan secara hukum.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi Nasional HAM Ahmad Taufan Damanik dalam konferensi pers bertajuk ”Isu HAM untuk Pemerintah Presiden Jokowi Periode Kedua”, Kamis (28/11/2019), di Jakarta. Taufan ditemani oleh lima komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, Hairansyah, Beka Ulung Hapsara, Amiruddin, dan Choirul Anam.
”Ajak keluarga korban bicara. Mereka subyek yang paling berkepentingan terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat. Jangan sampai aturan untuk mekanisme ekstrayudisial dibikin sendiri, tetapi tidak ngomong sama mereka,” kata Taufan merespons rencana pemerintah menghidupkan lagi Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. KKR merupakan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar jalur pengadilan.
Ajak keluarga korban bicara. Mereka subyek yang paling berkepentingan terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat. Jangan sampai aturan untuk mekanisme ekstrayudisial dibikin sendiri, tetapi tidak ngomong sama mereka.
Rencana pemerintah untuk menghidupkan KKR ini diketahui setelah Komnas HAM bertemu dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD beberapa waktu lalu. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM pun sudah memasukkan RUU KKR ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 usulan pemerintah. RUU KKR masuk kategori prioritas.
Dari 11 kasus pelanggaran HAM berat hasil penelitian Komnas HAM, lanjutnya, memang ada yang berpotensi diselesaikan di luar pengadilan. Untuk menentukannya, pemerintah dan Komnas HAM harus duduk bersama dengan keluarga korban. Artinya, ada kesepahaman antarpihak sebelum kasus itu diselesaikan di luar pengadilan.
”Khusus untuk kasus Wasior dan Wamena, kami usulkan tetap diselesaikan secara yudisial. Namun, pembicaraan ini masih mentah, terbuka kemungkinan kasus lain yang tetap melalui pengadilan,” katanya.
Adapun 11 berkas kasus pelanggaran HAM berat adalah peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II 1998, peristiwa Talangsari 1989, kerusuhan Mei 1998, Wasior dan Wamena 2000-2003, pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Jambu Keupok Aceh, dan peristiwa Rumoh Geudong yang juga di Aceh.
Kebenaran yang diungkap oleh saksi korban dan terduga pelaku harus dijadikan dasar perbaikan kebijakan dan kelembagaan agar pelanggaran HAM serupa tidak terjadi di masa depan.
Dihubungi terpisah, penasihat Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Mugiyanto menyatakan, penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui KKR harus dengan kuat mengungkapkan kebenaran. Para saksi termasuk yang diduga pelaku bersedia atau dipaksa datang bersaksi untuk mengungkapkan kejadian yang sebenarnya. Saksi korban harus mendapat perlindungan dan rasa aman untuk bersaksi.
”Dan, hak korban atas reparasi (pemulihan) yang terdiri dari kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi harus diberikan setelah mereka bersaksi atau terverifikasi sebagai korban. Hak korban atas reparasi ini tidak boleh disyaratkan pada saksi atau terduga pelaku,” katanya.
Dia melanjutkan, kebenaran yang diungkap oleh saksi korban dan terduga pelaku harus dijadikan dasar perbaikan kebijakan dan kelembagaan agar pelanggaran HAM serupa tidak terjadi di masa depan. ”Anggota KKR yang nantinya akan dipilih juga harus berintegritas, memiliki wawasan HAM yang memadai, serta bukan bagian dari pelaku dan korban,” tambahnya.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD berjanji mengajak semua pihak mendiskusikan materi RUU KKR setelah dimasukkan ke dalam Prolegnas. Namun, hingga hari ini, Mugiyono mengaku belum mendapat undangan dari Mahfud.
Tuntutan untuk segera menyelesaikan pelanggaran HAM berat merupakan salah satu dari tiga isu strategis HAM yang direkomendasikan Komnas HAM kepada Presiden Joko Widodo di periode kedua pemerintahan. Dua isu HAM lainnya adalah penanganan konflik sumber daya alam serta masih maraknya intoleransi dan pelarangan atas hak kebebasan berekspresi.