Anak Berkebutuhan Khusus Juga Berhak Punya Masa Depan
Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, hadir menjadi ”kawah candradimuka” bagi anak berkebutuhan khusus.
Oleh
Regina Rukmorini
·4 menit baca
Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, hadir menjadi ”kawah candradimuka” bagi anak berkebutuhan khusus. Selama berbulan-bulan hingga tahunan, mereka ditempa agar mandiri dan punya masa depan yang cerah.
Selasa (26/11/2019), menandai dimulainya babak baru dalam kehidupan Ni Kadek Ari Suari (24). Dengan berseri-seri, hari itu, dia mengatakan siap pulang ke kampung halamannya di Ubud, Bali, untuk memulai menerjuni usaha bersama keluarga.
Mengakhiri masa pendidikan 1,5 tahun di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual (BBRSPDI) Temanggung, Jawa Tengah, Kadek menyatakan siap memulai usaha kedai kopi bersama orangtuanya. ”Saya ingin menjadi barista,” ujarnya, saat ditemui di acara wisuda di BBRSPDI Temanggung. Hari itu, Kadek diwisuda bersama 74 penyandang disabilitas intelektual, yang sebelumnya menjalani program pembinaan di BBRSPDI.
Keinginannya itu bukan tanpa alasan. Walaupun memiliki IQ sekitar 59 dan sangat tertinggal dalam prestasi akademis, dia sudah terampil dan berpengalaman meracik kopi. Keterampilannya meracik kopi sudah dilakukan dalam beberapa acara yang diselenggarakan BBRSPDI di bawah bimbingan salah seorang pengelola kafe di Temanggung.
Saat ini, dia relatif bisa mengendalikan diri, lebih bisa mengontrol emosi.
Keinginan itu sudah lama dilontarkan dan langsung ditangkap ayahnya, I Gede Ardana, yang sehari-hari sudah membuka usaha penginapan dan restoran di Ubud. ”Keinginan Kadek untuk menjadi barista justru melecutkan ide kepada saya untuk membuka coffee shop, dan mungkin di waktu mendatang, juga akan menambahkannya dengan usaha spa,” ujarnya.
Kedai kopi akan dijalankan Kadek bersama kakaknya. Selain karena sudah terampil meracik kopi, Kadek sudah bisa dilepas untuk bekerja. Ia menunjukkan perkembangan sikap mental yang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya yang lebih banyak diam dan hanya mau berkomunikasi dengan orang-orang tertentu.
Kadek kini lebih terbuka. Ia jauh lebih bisa diingatkan dan tidak sembarangan marah kala ada hal yang kurang berkenan di hatinya. ”Saat ini, dia relatif bisa mengendalikan diri, lebih bisa mengontrol emosi,” kata Ardana.
Pelajaran menyangkut sikap dan penguasaan diri sebelumnya tidak didapatkan saat Kadek masih mengenyam pendidikan di jenjang pendidikan SMP di salah satu sekolah luar biasa (SLB) di Gianyar, Bali. Perubahan sikap itulah, menurut Ardana, yang sebenarnya menjadi kunci pengembangan diri Kadek selanjutnya.
”Melihat perubahan sikap dan keterampilan dia meracik kopi, rasanya sebagian tugas saya sebagai orangtua sudah mulai berkurang. Kadek sudah memiliki masa depan,” ujarnya.
Kanti (49), orangtua Rafli Marzuqi Azhari (17), juga bertekad membuatkan usaha bagi anaknya yang berkebutuhan khusus itu. Setelah Rafli mengakhiri tiga tahun pelatihan dan diwisuda di BBRSPDI, Kanti akan memesan mesin pembuat keset agar Rafli bisa terus produktif berkegiatan di rumahnya di Bekasi.
”Jangan sampai, dia bosan dan bingung di rumah. Dia harus terus berkegiatan dan tetap bisa merasakan hidup sebagai manusia yang berguna bagi orang lain,” ujar Kanti.
Diarahkan
Prihatiningsih (48), ibu dari Yolanda (24), menyadari betapa penting putranya yang autis itu memiliki perasaan dibutuhkan dan berguna bagi orang lain. Untuk itu, ia gencar mendorong Yolanda agar terus aktif berkegiatan, mencoba mendaftar kerja. Dengan kegigihan usahanya, Yolanda kini bekerja sebagai petugas satpam. Ia juga menjalankan usaha pembuatan keset sebagai usaha sampingan.
Dengan semua usaha dan pendampingan yang dilakukan terhadap putranya, Prihatiningsih ingin memberi contoh bagi orangtua lain bahwa anak berkebutuhan khusus juga bisa membanggakan keluarga, mandiri, dan mengembangkan dirinya sendiri. ”Anak berkebutuhan khusus juga memiliki cita-cita. Mereka pun bisa diarahkan sehingga nantinya mereka bisa merancang masa depannya sendiri,” kata Prihatiningsih.
Kepala BBRSPDI Murhardjani mengingatkan, para penyandang disabilitas tetap berhak mendapatkan pemenuhan hak-hak mereka untuk hidup layak sebagai manusia. Menerima mereka kembali di rumah, menurut dia, memang tidak mudah. Apa pun yang dilakukan, semua penyandang disabilitas itu tetap harus diarahkan dengan sikap yang santun dan lembut.
”Sikap, penanganan yang lembut, adalah bagian dari upaya yang bisa dilakukan keluarga agar penyandang disabilitas intelektual bisa berkembang menjadi pribadi yang lebih baik,” ujarnya.
Para orangtua juga harus jeli melihat bakat dan minat anaknya masing-masing. Setelah wisuda ini, BBRSPDI akan memberikan bantuan Rp 2 juta per anak, yang nantinya diharapkan bisa dibelikan peralatan pendukung untuk pekerjaan yang akan diterjuni nantinya.