Kesadaran menjadikan SEA Games sebagai pijakan meraih prestasi pada ajang yang lebih tinggi, seperti Asian Games dan Olimpiade, mesti diikuti strategi pembinaan olahraga yang tepat.
Oleh
·4 menit baca
Prioritas untuk meraih prestasi di tingkat tertinggi, seperti Olimpiade, perlu mendasari strategi pembinaan olahraga, terutama untuk mengatasi keterbatasan anggaran.
JAKARTA, KOMPAS —Kesadaran menjadikan SEA Games sebagai pijakan meraih prestasi pada ajang yang lebih tinggi, seperti Asian Games dan Olimpiade, mesti diikuti strategi pembinaan olahraga yang tepat. Untuk itu, diperlukan cetak biru pembinaan olahraga untuk menentukan prioritas jangka panjang, terutama untuk mengatasi keterbatasan anggaran pelatnas.
Alokasi anggaran pelatnas dengan sistem kluster, sebagai penghargaan atas prestasi cabang olahraga di ajang sebelumnya, menjadi solusi yang bisa diambil. Namun, hal itu bisa berdampak pada efektivitas pelatnas. Bagi cabang yang berada di kluster lebih rendah dan tak punya sumber dana lain, anggaran yang ada hanya cukup untuk pelatnas selama dua-tiga bulan.
Mulai tahun ini Kementerian Pemuda dan Olahraga membagi cabang dalam empat kluster untuk penyaluran anggaran bantuan pelatnas. Kluster pertama berisi cabang peraih medali Olimpiade, yakni bulu tangkis dan angkat besi.
Kluster kedua diisi sembilan cabang peraih medali emas Asian Games 2018, termasuk dayung dan taekwondo. Sepuluh cabang olahraga dengan prestasi emas SEA Games masuk kluster ketiga, termasuk renang, senam, atletik, dan panahan. Adapun 33 cabang olahraga lain masuk kelompok keempat.
”Pengelompokan itu dibuat untuk mengatur alokasi anggaran. Cabang kluster pertama mendapat bantuan pelatnas lebih besar daripada cabang kluster kedua, ketiga, dan keempat. Cara ini cukup adil di tengah keterbatasan Kemenpora,” ujar Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewo Broto di Jakarta, akhir pekan lalu.
Pengelompokan tersebut membuat cabang di kluster pertama bisa melakukan pelatnas setahun penuh. Namun, sebagian besar cabang baru bisa memulai pelatnas SEA Games pada pertengahan tahun. Bahkan, ada cabang yang hanya menggelar pelatnas selama dua bulan. Sulit untuk mengharapkan prestasi jika pelatnas tidak berjalan sesuai periodisasi latihan yang dibutuhkan atlet.
Hal itu terlihat, misalnya, pada cabang dayung, dengan anggaran Rp 12 miliar yang dialokasikan untuk Juni-Desember 2019. Namun, karena pelatnas berlangsung sejak awal tahun, dana itu digunakan untuk membayar kebutuhan atlet dan pelatih pada Januari-Juli 2019.
Menurut pelatih kepala disiplin rowing, Muhammad Hadris, pelatnas harus dimulai awal tahun dan tidak bisa ditunda. Ini karena atlet rowing harus berlatih terus-menerus. Olahraga ini mengandalkan kekuatan tubuh, dan jika atlet berhenti berlatih, perlu usaha keras membangun daya tahan atlet dari dasar lagi.
Adapun cabang bisbol-sofbol menyiasati dengan melepas atlet berlatih di daerah dan hanya dipanggil ke Jakarta jika mendekati kejuaraan. Manajer dan pengurus patungan membiayai kebutuhan pelatnas yang baru dimulai pada September lalu.
Peran swasta
Ketua Kontingen Indonesia ke SEA Games 2019 Harry Warganegara mengatakan, perlu peran swasta dan BUMN untuk memenuhi kebutuhan pelatnas yang tidak dapat ditanggung pemerintah. Menurut dia, pemerintah seharusnya bisa hadir dalam setiap lapisan pembinaan prestasi. ”Tetapi, kondisi ideal itu jauh dari realitas karena keterbatasan anggaran pemerintah,” katanya.
Jurang antara kondisi ideal dan fakta di lapangan dapat diminimalisasi jika sektor swasta dan BUMN bisa dilibatkan dalam pembinaan atlet. Misalnya, dengan program kemitraan antara BUMN dan cabang olahraga. Namun, untuk itu perlu perubahan dasar hukum untuk pembiayaan olahraga.
Pengamat olahraga Fritz Simanjuntak menilai, distribusi anggaran pembinaan olahraga melalui sistem kluster cukup baik, tetapi masih salah arah. Sistem itu membagi prioritas cabang olahraga berdasarkan target jangka pendek dan tidak menyentuh rencana pembinaan yang berorientasi ke level tertinggi, seperti Olimpiade. ”Sistem ini bagus, tetapi tak ada pengaruhnya untuk jangka panjang,” kata Fritz.
Tanpa perencanaan jelas, sistem kluster akan selalu berganti menyesuaikan ajang yang diikuti. Sistem kluster untuk SEA Games 2019, misalnya, merujuk pada hasil Asian Games 2018 dan SEA Games 2017. Rujukan ini akan berubah pada tahun berikutnya.
Menurut Fritz, hal ini karena tidak ada cetak biru pembinaan olahraga sebagai landasan prioritas pembinaan. Cetak biru itu akan jadi patokan membuat sistem kluster yang lebih baik, seperti yang dilakukan negara dengan pengelolaan olahraga yang maju. Dengan demikian, cabang yang berpotensi di Olimpiade akan selalu menjadi prioritas. ”Tanpa cetak biru, selama ini pola pembinaan atlet hanya sekadar gali lubang tutup lubang saja,” ujar Fritz.
Gatot berjanji mencari solusi lebih baik untuk tidak membatasi masa pelatnas dalam pertemuan dengan delapan kementerian terkait olahraga seusai SEA Games. Tidak tertutup kemungkinan juga berbagi anggaran pelatnas, terutama honor atlet, dengan daerah asal atlet tersebut. (DRI/DNA/DEN/PDS)