Kemajuan dan capaian 25 tahun pelaksanaan Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing di Asia dan Pasifik masih jauh dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030, terutama kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan.
Oleh
Yovita Arika dari Bangkok, Thailand
·4 menit baca
BANGKOK, KOMPAS — Kemajuan dan capaian selama 25 tahun pelaksanaan Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing di kawasan Asia dan Pasifik masih jauh dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030, terutama kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan. Kemajuan yang dicapai masih berjalan lambat, karena itu akselerasi aksi dengan memperkuat komitmen dan mendorong kemitraan perlu dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam 25 tahun ini, kesenjangan jender dalam pendidikan dasar di kawasan Asia dan Pasifik telah teratasi. Angka kematian ibu melahirkan juga berkurang dari 342 kematian per 100.000 kelahiran hidup menjadi 211 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada 2017.
Namun, kemajuan tetap lambat dan tidak merata di bidang lain. Angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, berkisar 37-68 persen, di atas rata-rata global yang sekitar 33 persen. Keterwakilan perempuan di bidang politik meski lebih dari dua kali lipat sejak Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing 1995, tetapi tingkat partisipasi perempuan di parlemen hanya 18 persen atau hanya tumbuh 2 persen dalam 25 tahun.
Demikian pula, di bidang ekonomi, meski semakin banyak perempuan bekerja, kebanyakan bekerja di sektor informal. Mereka yang bekerja di sektor formal punbanyak yang belum mendapat upah yang setara dengan pekerja laki-laki.
Di bidang ekonomi, meski semakin banyak perempuan bekerja, kebanyakan bekerja di sektor informal.
“Terlepas dari prestasi yang luar biasa, tidak diragukan bahwa kesetaraan masih tetap di luar jangkauan bagi banyak perempuan dan anak perempuan,” kata Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial PBB/ESCAP untuk Asia dan Pasifik Armida Alisjahbana dalam pidato pembukaan Konferensi Asia Pasific Regional Beijing+25 Review di Gedung PBB Regional Asia dan Pasifik di Bangkok, Thailand, Rabu (27/11/2019).
Konferensi yang dihadiri sekitar 500 peserta yang terdiri dari menteri atau perwakilan menteri dari 49 negara di Asia dan Pasifik, pejabat PBB, masyarakat sipil, pemuda, dan perwakilan sektor swasta ini akan bersidang hingga Jumat (29/11).
Secara umum, negara-negara tersebut melaporkan bahwa pelaksanaan Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing di negara mereka berjalan baik meski masih ada sejumlah hambatan seperti norma sosial yang diskriminatif terhadap perempuan dan kurangnya koordinasi antarpihak terkait. Dalam dua hari ke depan, mereka akan memetakan tindakan prioritas untuk mendukung percepatan kemajuan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Tiga prioritas
Dari capaian-capaian tersebut, Armida menyoroti tiga bidang yang perlu diprioritaskan untuk mencapai kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan. Tiga bidang itu, yaitu penghapusan kekerasan terhadap perempuan, peningkatan partisipasi perempuan di bidang politik, dan peningkatan pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi.
“Kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan merupakan hal mendasar untuk merealisasikan hak asasi manusia secara progresif. Itu adalah prasyarat untuk berhasil mencapai Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030,” kata Armida.
Kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan merupakan hal mendasar untuk merealisasikan hak asasi manusia secara progresif.
Mewakili sekitar 300 anggota organisasi masyarakat sipil dan feminis dari 35 negara di Asia dan Pasifik, Vica Larasati, Direktur Eksekutif Qbukatabu, dalam pertemuan tersebut menyampaikan 13 usulan aksi hasil pertemuan organisasi masyarakat sipil dan feminis yang berlangsung sebelum konferensi.
Dia mengatakan, upaya pencapaian kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan masih jauh dari harapan. Ketimpangan masih terjadi di banyak bidang, hak-hak perempuan belum menjadi prioritas dalam kebijakan negara.
Organisasi masyarakat sipil dan feminis merekomendasikan 13 hal yang harus dilakukan uuntuk mencapai kesetaraan jender, termasuk melibatkan mereka sebagai mitra pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut. “Dua puluh lima tahun berlalu, sekarang saatnya untuk perubahan sistem,” kata dia.
Anita Bhatia, Wakil Direktur Eskutif UN Women, dalam sambutannya mengatakan, semua pihak perlu bersatu untuk segera mengambil tindakan guna menggerakkan perempuan dan anak perempuan yang masih tertinggal. “Kata kunci untuk ini adalah tanggung jawab bersama dan kemitraan,” kata Anita.
Semua pihak perlu bersatu untuk segera mengambil tindakan guna menggerakkan perempuan dan anak perempuan yang masih tertinggal.
Danty Anwar, Staf Ahli Bidang Pembangunan Keluarga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan, ada banyak kemajuan di bidang jender di Indonesia. Dia mencontohkan keterwakilan perempuan di parlemen meningkat dari 17,3 persen menjadi 21 persen, di DPD dari 23 persen menjadi 31 persen, di eksekutif telah mencapai 20 persen.
Meski demikian, kemitraan dan koordinasi antar pihak terkait masih diperlukan untuk mencapai kesetaraan jender. “Ada banyak kemajuan pembangunan jender di Indonesia, tetapi kesadaran jender belum masuk ke sistem. Kerja sama dan kordinasi lintas bidang diperlukan,” kata dia.
Di Indonesia, kata Danty, partisipasi perempuan di parlemen meningkat dari 17,3 persen menjadi 21 persen, di DPD dari 23 persen menjadi 31 persen, di eksekutif telah mencapai 20 persen.
Untuk mendorong kemitraan dan mempercepat upaya untuk mencapai kesetaraan jender, Mei tahun ini UN Women meluncurkan kampanye global yang disebut "Generasi Kesetaraan: Mewujudkan hak-hak perempuan untuk masa depan yang setara" (Generation Equality: Realizing women’s rights for an equal future).
Rabu sore di penghujung konferensi hari pertama, ESCAP meluncurkan jalan menuju kepemimpinan perempuan yang transformatif. Untuk perubahan yang besar pada kesetaraan jender dibutuhkan kepemimpinan yang transformative, dan perempuan di dorong ke sana karena dinilai bisa membuka jalan untuk membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.