Membuka Jalan Kemanusiaan bagi Seniman Pengidap Kanker
Air mata emak Juliati (50) bagaikan tumpah. Ia bergegas menyambut dan memeluk saya dalam tangis. Malam itu, perasaan kalut meluap. Suami emak, lemah terbaring di atas kasur rumah sakit.
Meliput dan menulis menjadi keseharian para jurnalis. Dikejar deadline adalah hal biasa. Namun, di luar urusan pemberitaan, jurnalis bisa membuka jalan bagi panggilan kemanusiaan.
Air mata Juliati (50) bagaikan tumpah melihat kedatangan saya. Ia bergegas menyambut dan memeluk saya dalam tangis. Malam itu, perasaan kalut tengah meluap-luap di sana.
Saya biarkan emak, demikian saya biasa memanggil Juliati, melepaskan rasa kalut itu. Tak lama ia pun berangsur tenang.
Sebenarnya, saya sendiri hampir tak mampu menahan diri. Suami emak, seniman Saidin, lemah terbaring di atas kasur rumah sakit. Wajahnya pucat. Telapak tangan dan kakinya bahkan sudah berwarna kebiruan. Dingin telah menguasai sekujur tubuhnya tatkala perawat berupaya memompa denyut nadinya lewat suntikan cairan obat.
Menjelang pukul 23.30, kami baru sedikit lega melihat Saidin dapat bernapas. Meskipun masih tampak sangat berat napasnya, masa kritis telah terlewati. Wajah pucatnya berangsur merona. Kami menungguinya hingga lewat pergantian hari, demi memastikan kondisi aman.
Keadaan Saidin terus memburuk sejak ia dipindahkan ke bangsal penyakit dalam. Hanya berselang sehari, ketahanan fisiknya anjlok. Turun drastis dibandingkan saat ia masih dirawat di bangsal telinga, hidung, dan tenggorokan (THT).
Menurut sang istri, Saidin tak tahan dengan kondisi bangsal yang pengap. Ruang rawat inap itu penuh diisi 5 pasien beserta keluarganya yang menunggui dan menginap di sana.
Saidin juga kerap mengeluh karena perawat dan dokter yang menanganinya agak ketus. “Bapak minta dipulangkan saja. Selama disini malah nge-drop terus,” ujar emak, pekan lalu.
Atau bapak sebaiknya dikembalikan saja ke bangsal THT, tambah emak. Sebab di sana lebih tenang. Ada kipas anginnya. Perawat serta dokternya pun lebih ramah. Selama dirawat di bangsal THT, kondisi Saidin sebenarnya mulai membaik.
Dokter sebenarnya merujuk Saidin ke Palembang karena yakin pasiennya itu mampu menjalani kemoterapi di sana. Sebelum berangkat ke Palembang itulah, Saidin dipindahkan ke bangsal penyakit untuk menjalani rangkaian tes jantung dan tes darah yang justru membuat kondisinya malah memburuk.
Seniman tradisi
Saidin merupakan generasi ketiga seniman teater komedi melayu Dul Muluk, kesenian selawat Zikir Beredah, serta tradisi magis Lukah Gilo. Kakeknya pelakon Dul Muluk, sementara ayahnya penabuh rebana siam dan gendang. Adapun Saidin lancar melakoni semuanya. Ia pun mampu memainkan seluruh alat-alat musik tradisional.
Di saat tradisi mulai tenggelam oleh kesenian modern, Saidin bertahan untuk merawatnya. Ia kembangkan teater lokal. Ia bahkan memproduksi sendiri alat-alat musiknya, seperti rebana, gitar gambus, viul (biola tradisional), dan gendang.
Tentu saja upaya itu tak mudah. Sebab untuk membuat alat-alat musik tradisional itu, ia harus keluar masuk hutan untuk mendapatkan bahan bakunya. Sebagian jenis kayu bahkan telah langka.
Selama bergiat memproduksi alat-alat musik tradisional, sebuah benjolan tumbuh di leher kanan Saidin. Awalnya hanya sebesar kelereng. Namun, benjolan terus membesar sejak awal tahun ini.
Sewaktu Kompas berkunjung ke rumahnya, Saidin sudah dalam kondisi lemah. Namun, ia bersemangat menyambut. Demi menghibur sang tamu, ia bangun untuk memainkan viul. Sementara sang istri dengan setia mengiringinya dengan tabuhan gendang.
Cukup lama kami mengobrol tentang perkembangan seni lokal. Saat Kompas menyinggung masalah benjolan besar pada lehernya, Saidin tampak sedih. Benjolan itu diakuinya telah menggerogoti tenaga dan persendian. Tubuhnya jadi kian lemah.
Saidin sudah pernah memeriksakan penyakitnya. Dokter mengatakan benjolan itu adalah tumor Colli. Saidin harus segera dioperasi dan dikemoterapi. Ia hanya pasrah karena tak mampu membayangkan biaya yang harus ditanggung.
Baca juga: Saidin dan Ujian Bagi Perawat Kesenian Melayu
Hampir seluruh barang berharga milik keluarga telah dijual, tak terkecuali alat-alat musik hasil buatannya sendiri. “Semuanya sudah habis dijual untuk membeli obat,” katanya.
Cerita tentang Saidin saya tuangkan dalam rubrik Sosok di Harian Kompas yang terbit 13 Juni 2019. Artikel itu ternyata menuai simpati publik.
Tim dari Kitabisa.com, sebuah lembaga penggalang dana kemanusiaan, menghubungi saya. Mereka ingin membuka penggalangan dana bagi pengobatan Saidin. Penggalangan dana dimulai 17 Juni.
Panggilan kemanusiaan pun terus meluas. Kalangan jurnalis dan seniman di Jambi menggelar acara Malam Penggalangan Dana “Bantu Pak Saidin” di Taman Budaya Jambi, 26 Juni.
Bahkan, tak hanya di Jambi, penggalangan dana juga berlangsung di Medan dan Pekanbaru. Para seniman ikut tergerak membantu pengobatan Saidin.
Harapan yang didamba Saidin akhirnya mulai terwujud. Pada Juli, kami mengantar Saidin menjalani rangkaian awal tes laboratorium dan juga perawatan inap di Jambi.
Baca juga: Terketuk Panggilan Kemanusiaan Bagi Saidin
Berat badannya saat itu telah susut dibanding saat pertama kali saya menemuinya. Kali ini lebih tampak tulang berbalut kulit. “Bapak makin susah makannya. Kalaupun dipaksakan malah jadi muntah,” keluh emak.
Oleh dokter di Jambi, Saidin dirujuk tes lanjutan dan pengobatan di Palembang. Saat itu saya berpikir tidak mungkin dapat mengurusnya sendiri. Aktivitas saya sebagai jurnalis sudah sangat menyita keseharian.
Untungnya, seorang relawan bersedia menemani Saidin berobat di Palembang. Relawan itu, Rofi Surya, penggemar fotografi yang juga lulusan Universitas Jambi.
Lewat Rofi, saya bisa mengetahui perkembangan Saidin. Harus diakui, bagi kami yang awam dalam urusan medis, rangkaian proses yang harus dijalani sang seniman terasa begitu panjang dan melelahkan. Menyita waktu dan tenaga.
Rofi sendiri hampir putus asa karena harus bolak balik ke rumah sakit untuk mengurus ini dan itu. Ditambah lagi ia tidak tega melihat kaki Saidin semakin membengkak. Setelah dua pekan berlalu, belum ada kemajuan.
Kondisi kaki bengkak membuat Saidin makin sulit berjalan. Rofi harus menyewa ambulans setiap kali membawanya untuk pemeriksaan dokter.
Dokter meminta kami maklum karena kondisi penyakit Saidin yang diindikasikan sudah parah, membuat dokter harus kerap mengulang tes. Mendapatkan penjelasan itu, Rofi mengiyakan saja karena awam soal itu.
Dalam tes darah terbaru dan operasi pengambilan sampel sel, tim dokter menaruh curiga penyakit Saidin bukan lagi tumor. Dari operasi lanjutan pada bagian hidung (Biopsi), kecurigaan akhirnya terjawab.
Dokter menyimpulkan Saidin menderita Kanker Nasofaring (Karsinoma nasofaring) stadium lanjut. Sel kanker telah menyebar ke organ-organ tubuhnya lainnya.
Dokter tidak merekomendasikan operasi karena sangat beresiko. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah kemoterapi. Namun, itu pun tidak mudah. “Pak Saidin hanya boleh menjalani kemoterapi kalau fisiknya membaik,” kata Rofi.
Baca juga: Kecurian di Negara Teraman di Dunia
Untuk itu, masih perlu dilakukan tiga tes lainnya, seperti tes kardiografi dan tes darah. Menurut dokter, Saidin dapat melakukan rangkaian tes itu di Jambi. Setelah hampir sebulan di Palembang, Saidin meminta waktu pulang menengok dua putrinya di desa. Untungnya dokter mengizinkan pulang.
Setelah hampir dua pekan, sudah saatnya Saidin kembali berobat. Saya pun menelepon salah seorang keluarganya perihal rencana itu. Namun, jawaban di balik telepon membuat saya mulai panik.
“Bapak sudah tidak bisa bangun lagi,” ujar kerabatnya itu.
Menurut kerabatnya itu, Saidin sudah pasrah dengan keadaannya yang tiba-tiba memburuk lagi. Saya putuskan Saidin untuk dibawa kembali ke instalasi gawat darurat.
Dalam pertemuan kami di ruang IGD, saya merasakan tak hanya fisik yang melemah. Semangat hidupnya tampak meredup. Dalam pertemuan kami, saya tekadkan untuk terus menyemangatinya.
Dokter mengatakan Saidin kekurangan banyak darah. Ia butuh 10 tabung darah B+ agar dapat bertahan hidup. Saat itu, panggilan kemanusiaan kembali digulirkan.
Baca juga: Bosnia, Setelah 24 Tahun Perang Berakhir
Lewat media sosial, saya serukan pemintaan bantuan darah. Dalam sekejap saja, puluhan orang memberi respons bersedia mendonorkan darah. Selama dua pekan Saidin terus dirawat intensif.
Saya meminta tolong, Nata, relawan lainnya untuk mengurus Saidin menggantikan Rofi yang harus bertugas di daerah pedalaman. Pada Sabtu malam itu, Saidin berhasil melewati masa kritisnya.
Namun, cobaan ternyata belum selesai. Senin malam, Nata menelepon. Suaranya terdengar panik. Saya pun bergegas menyusul ke rumah sakit. Perjuangan mengantar penyembuhan Saidin memang tak semudah membalik telapak tangan.
Akhirnya kuasa Tuhan berkehendak lain. Saidin berpulang pada Senin (18/11/2019) lalu pukul 19.00 Wib. Jenazahnya dimakamkan di Desa Lubuk Raman, Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi.
Terlepas dari apa yang terjadi, pengalaman bersama Saidin telah membuka pintu kesadaran saya. Kerja jurnalistik menjadi jalan mengalirnya bantuan kemanusiaan. Bagi siapapun. Di manapun.