Kabar kepergian Ciputra, pendiri Ciputra Group sekaligus Komisaris Utama PT Ciputra Development Tbk, Rabu (27/11/2019) pukul 01.05 waktu Singapura, sangat mengejutkan.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·5 menit baca
Kabar kepergian Ciputra, pendiri Ciputra Group sekaligus Komisaris Utama PT Ciputra Development Tbk, Rabu (27/11/2019) pukul 01.05 waktu Singapura, sangat mengejutkan. Setidaknya perjalanan pengembang properti nan ulung, yang pada akhirnya juga menaruh perhatian besar pada dunia pendidikan dan entrepreneur bangsa ini, membuka kembali memori yang telah lama terpendam.
Kenangan itu seakan muncul kembali manakala muncul berbagai informasi, baik dari rekan kerja, kerabat dekat, maupun pihak Ciputra, menginformasikan bahwa jenazah Pak Ci, sapaan akrab untuk Ciputra di kalangan pebisnis, akan diterbangkan dari Singapura menuju rumah duka di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Hujan yang mengguyur siang kemarin memang cukup bikin merinding. Betapa tidak, saat meluncur ke lokasi rumah duka, hujan rintik dan semakin besar membasahi sekeliling rumah itu. Padahal, dari pintu gerbang perumahan mewah, tepatnya pos satpam yang dijaga ketat, tidak sedikit pun turun tetesan-tetesan air hujan.
Memasuki rumah Pak Ci, patung berwarna-warni yang menghiasi pekarangannya dengan mudah mencirikan bahwa itulah rumah Pak Ci. Barisan mobil mulai berdatangan, termasuk mobil-mobil kru televisi.
Pengantar karangan bunga duka cita juga datang silih berganti. Ada pula yang mengirim karangan bunga anggrek yang ditempatkan pada pot putih cukup besar.
Nirwan, karyawan kepercayaan Ciputra, keluar menemui wartawan. Dia mengatakan, jenazah akan langsung dibawa ke Artpreneur Ciputra World di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Tidak akan dibawa ke rumah duka ini.
”Diperkirakan, pemulangan Pak Ci juga akan lama. Kira-kira sampai di Jakarta pukul sembilan malam,” kata Nirwan yang rupanya tergabung dalam grup kolintang dan kerap bermain di Bentara Budaya Jakarta.
Menggugah kenangan
Sejumlah wartawan hanya duduk-duduk di tangga rumah bagian depan. Padahal, justru di rumah utama Pak Ci itulah kenangan lama seperti tergugah kembali. Jumpa dengan Pak Ci yang sangat kebapakan.
Lebih dari 10 tahun lalu, Ciputra pernah mengajak Kompas berbincang-bincang santai di ruang tengah rumahnya. Menunggu di ruangan itu bagai berada di dalam sebuah galeri seni rupa. Lukisan-lukisan besar ditempatkan hampir di seluruh dinding dan sudut rumahnya. Bahkan, mengalihkan ke atap ruang tengah itu, lukisan besar pun seperti sengaja ditempatkan oleh Ciputra.
Ciputra memang sangat menyukai karya seni, termasuk seni patung. Tak heran, hingga kini aneka patung bercorak warna-warni begitu mudah dilihat di taman depan rumahnya. Patung-patung itu selalu menjadi kekhasan properti garapan Ciputra, seperti di setiap gerbang masuk perumahan dan pusat perbelanjaan yang dikembangkannya.
Di ruang tengah itulah, Ciputra saat itu mengungkapkan berbagai kegembiraan hidupnya. Rasa syukur tak habis-habisnya diucapkan. Perjumpaan setengah hari itu juga menyingkap kegundahan hatinya tentang entrepreneur atau kewirausahaan Indonesia.
Wirausaha baru sangat penting untuk masa depan Indonesia. Mereka harus mampu mengubah Indonesia, bahkan mengubah dunia, yang penuh kemelaratan. Betapa ironisnya Indonesia yang punya kekayaan alam, tetapi rakyatnya miskin. Begitu kira-kira curahan hati Ciputra kala itu.
Rupanya kegalauan itu membuat Ciputra, yang dikenal sebagai pengusaha properti, tidak ingin tinggal diam. Gerak cepat memberikan pendidikan dan pelatihan membuahkan hasil.
Ciputra terpilih dari 100 pengusaha sebagai peraih penghargaan Ernst and Young Entrepreneur of the Year tahun 2007. Ciputra berhak mewakili Indonesia dalam ajang pemilihan World Entrepreneur of the Year di Monte Carlo tahun 2008 bersama 49 wirausaha lain dari seluruh penjuru dunia.
”Penganugerahan ini adalah berkat Tuhan. Setiap tahun kita melahirkan 750.000 lebih sarjana menganggur, setiap tahun sekolah hanya menciptakan pengangguran intelektual, sementara jumlah wirausahanya hanya ada 0,08 persen dari penduduk Indonesia. Tantangan ke depan, kita harus bisa melahirkan wirausaha muda,” kata Ciputra di ruang tengah itu.
Dua tahun setelah menerima penghargaan, Ciputra melakukan gerakan nyata. Bagi Ciputra, pendidikan untuk kewirausahaan membutuhkan dana Rp 10 triliun per tahun. Namun, masih banyak pejabat pemerintah yang belum optimal menyediakan pendanaan untuk pendidikan itu.
Ciputra pun memiliki hitung-hitungan tersendiri. ”Kalau dana Rp 10 triliun bisa disiapkan untuk membantu pendidikan ini, dalam 25 tahun kita mengeluarkan anggaran Rp 250 triliun. Namun, kita bisa melihat dampak positifnya berupa penciptaan entrepreneur andal,” kata Ciputra.
Menurut Ciputra, pendidikan seharusnya menghasilkan pencipta kerja, bukan pencari kerja. ”Sudah saatnya Indonesia menghentikan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Apabila harus mengirim tenaga kerja ke luar negeri, hendaknya tenaga kerja tersebut memiliki kemampuan yang kompeten sehingga bangsa ini bisa dipandang lebih bermartabat,” tuturnya.
Setelah lebih dari 30 tahun Ciputra terjun di dunia usaha, baru belakangan dia melihat bahwa untuk mengatasi pengangguran bukan hanya dibutuhkan pendidikan, melainkan juga pelatihan kewirausahaan. Persis 10 tahun lalu, Ciputra sudah mengingatkan, Indonesia membutuhkan 2 persen atau sekitar 4,4 juta wirausaha untuk membangun bangsa ini. Saat itu, baru sekitar 400.000 wirausaha yang dimiliki Indonesia.
Kisah jatuh-bangun Ciputra pun menjadi sajian menarik dalam buku berjudul Family Business terbitan The Jakarta Consulting Group (2007). Buku setebal 457 halaman itu membuka cakrawala kekuatan bisnis yang mengatasnamakan perusahaan keluarga.
Bagi Ciputra, kekayaan yang diraihnya selama itu pertama-tama adalah berkah dari Tuhan. Alasan lain, semua sahamnya sudah dibagi-bagi secara adil kepada istri dan anak-anaknya. Adil, baik secara kriteria hubungan darah maupun kompetensi melanjutkan perusahaannya.
Rupanya, Ciputra juga memiliki rasa humor. Di hadapan 40-an peserta seminar yang membahas buku itu, Ciputra secara blak-blakan mengatakan alasannya di depan publik mengapa dirinya tidak menikah lagi seperti pilihan hidup orang-orang kalangan papan atas, saat harta kekayaan yang dimilikinya berkelimpahan.
Bagi Ciputra, keutuhan dan keharmonisan keluarga harus benar-benar dijaga. Gawat karena jika istri dan anak-anaknya bersatu, Ciputra hanya memiliki sebagian kecil dari seluruh saham perusahaan raksasanya. ”Saya bisa dipecat,” kata Ciputra yang spontan mengundang gelak tawa.