Merayakan Keberagaman sejak Dalam Aturan
Mendasarkan sebagai negara Pancasila yang mendorong toleransi, hingga 74 tahun merdeka, Indonesia belum bebas dari tindakan intoleran.
Mendasarkan sebagai negara Pancasila yang mendorong toleransi, hingga 74 tahun merdeka, Indonesia belum bebas dari tindakan intoleran.
Penghentian kegiatan keagamaan terjadi di Dusun Mangir Lor, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Selasa (12/11/2019). Upacara doa keagamaan yang dijalankan oleh Paguyuban Padma Buwana Manggir terpaksa dihentikan oleh pihak kepolisian setelah muncul laporan dari sejumlah pihak.
Walaupun dihadiri tokoh lintas agama dan bertujuan untuk mendoakan leluhur dan Tanah Air, upacara doa tersebut dihentikan karena si pemilik rumah tidak memiliki izin kegiatan ritual keagamaan. Acara doa ini telah dilakukan sejak 2012 hingga kini.
Aksi intoleransi di Kabupaten Bantul bukan pertama kali terjadi. Pada April 2019, Slamet Juniarto dan keluarga mendapat penolakan bermukim dari warga Desa Pleret, Bantul, lantaran perbedaan agama. Kasus lain terjadi pada Juli 2019 di Kampung Gunung Bulu, Bantul, yakni penolakan pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) oleh sejumlah warga.
Permasalahan intoleransi menjadi salah satu masalah laten di Indonesia. Mulai dari manakah masalah ini seharusnya diperbaiki?
Toleran dan vigilan
Sebagai wujud tanggung jawab terhadap berbagai aksi intoleran di DIY, termasuk Bantul, Gubernur DIY telah mengeluarkan instruksi tentang pencegahan potensi konflik sosial di DIY. Dalam Instruksi Nomor 1/INSTR/2019 pada 4 April 2019, tertuang delapan poin tindakan yang ditujukan kepada bupati dan wali kota di DIY.
Sejak awal, gubernur DIY menginstruksikan agar para bupati dan wali kota di DIY menjamin kebebasan beragama dan beribadat menurut agama dan keyakinannya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan dan bertempat tinggal. Beberapa aksi intoleransi di atas semakin menunjukkan pentingnya pemerintah daerah di DIY untuk melaksanakan instruksi tersebut.
Dua tahun sebelum muncul instruksi di atas, pada November 2017, Center for Religious & Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM turut mengeluarkan kajian berjudul ”Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta”. Dalam kajiannya, CRCS mencatat, sepanjang 2013 hingga 2017 terdapat 55 kasus vigilantisme atau kekerasan terhadap kaum minoritas di Yogyakarta.
Dalam riset tersebut, minoritas yang dimaksud bukan sebatas perihal agama, melainkan juga meliputi pembubaran acara kesenian dan diskusi ataupun kekerasan kepada aktivis dan kaum LGBTQ (Kompas, 19/1/2019).
Masih merujuk kajian CRCS, vigilantisme dipahami sebagai tindakan main hakim oleh kelompok massa berdasarkan pada penilaian mereka terhadap apa yang salah dan benar. Vigilantisme berbeda dengan aksi protes yang dilindungi oleh hukum.
Vigilantisme berdasar pada pemaksaan kehendak yang pada umumnya dilakukan dengan cara kekerasan, intimidasi, atau tekanan massa. Vigilantisme sering kali muncul dengan dalih membantu penegakan hukum, tetapi berujung pada intimidasi dan bahkan kekerasan.
Pola inilah yang dapat ditemukan dalam kasus penghentian upacara doa Dusun Mangir Lor, Bantul. Saat upacara doa hendak diselenggarakan, sejumlah pihak melaporkan kepada kepolisian sambil mempertanyakan status tempat ibadah dari tempat pelaksanaan upacara doa. Pihak kepolisian lantas turun tangan. Upacara pun berhenti.
Data diskriminasi
Pada dasarnya, kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) merupakan hak individu yang tidak dapat dikurangi dan tidak dapat ditunda pemenuhannya (non derogable rights). Hak asasi manusia (HAM) ini merupakan hak mutlak seorang individu dan sesuai dengan Pasal 28I Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai hukum tertinggi dan dasar negara, kedudukan UUD 1945 dan Pancasila tak lagi diperdebatkan. Hak KBB yang termasuk di dalamnya seharusnya juga menjadi hal yang tak lagi dipertanyakan.
Pemerintah Indonesia menegaskan hak ini dalam Pasal 4 Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Di dalamnya dinyatakan bahwa hak kebebasan beragama tidak dapat dikurangi oleh siapa pun dalam keadaan apa pun termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Akan tetapi, pelaksanaan di lapangan tidak selalu menunjukkan perwujukan hak KBB.
Dalam rilis yang dikeluarkan SETARA Institute berjudul ”Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia”, dihimpun data jumlah diskriminasi terhadap KBB. Selama kurun waktu 12 tahun terakhir, telah terjadi 2.400 peristiwa pelanggaran KBB dengan 3.177 tindakan. Artinya, rata-rata dalam sepekan terjadi 4 peristiwa dengan 5 tindakan pelanggaran KBB.
Peristiwa dan tindakan pelanggaran KBB tersebut tersebar di 34 provinsi. Diskriminasi terhadap KBB paling banyak terjadi di Jawa Barat dengan jumlah 629 peristiwa. Empat posisi selanjutnya ditempati oleh DKI Jakarta (291 peristiwa), Jawa Timur (270 peristiwa), Jawa Tengah (158 peristiwa), dan Aceh (121 peristiwa). Bentuk diskriminasi KBB yang dimaksud dalam laporan ini meliputi kegiatan seperti pelarangan pendirian rumah ibadah dan pembubaran acara keagamaan.
Sementara itu, dari segi jumlah korban, diskriminasi KBB paling banyak tertuju kepada warga Ahmadiyah dengan total 554 peristiwa. Korban juga tidak selalu merupakan golongan mayoritas. Sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk di Indonesia, tercatat 79 peristiwa intoleransi terhadap umat Muslim selama 12 tahun terakhir.
Toleran sejak dalam aturan
Melanjutkan laporannya, SETARA Institute memberikan sejumlah rekomendasi terhadap pemerintah, salah satunya dengan mengkaji ulang peraturan yang sudah ada.
Sebagai contoh, dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, tertuang ketentuan-ketentuan yang dirasa mempersulit dalam pendirian rumah ibadah. Padahal, pendirian rumah ibadah menjadi tidak dapat dilepaskan dari hak kemerdekaan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan individu.
Rata-rata dalam sepekan terjadi 4 peristiwa dengan 5 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Mengkaji ulang aturan yang ada juga dapat dilakukan dengan mengeluarkan aturan setempat yang sesuai dengan semangat toleransi dalam UUD 1945 dan Pancasila, misalkan menjalankan instruksi Gubernur DIY di atas.
Bila semangat toleransi sudah dinyatakan sejak dalam aturan, keberagaman dapat semakin mudah dirayakan. Selanjutnya, tugas perangkat hukumlah untuk menegakkannya agar toleransi tidak menjadi utopia di negara Pancasila. (LITBANG KOMPAS)