RKUHP telah diajukan untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020 dan 2020-2024. Dengan demikian, RKUHP bisa kembali dibahas mulai 2020.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengajak Komisi III DPR membahas kembali pasal-pasal yang dinilai bermasalah oleh publik dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Komisi III DPR sepakat dengan hal ini. Untuk memastikan pasal bermasalah setelah dikoreksi tak lagi multitafsir, simulasi penerapan pasal pun diusulkan.
Saat rapat dengar pendapat Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (28/11/2019), Yasonna menjelaskan, dengan mekanisme luncuran (carry over), Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) bisa dibahas tanpa harus mengulang lagi dari awal.
Dia pun mengajak Komisi III DPR agar fokus pada pasal-pasal yang dinilai publik bermasalah. Ini juga untuk efisiensi waktu dan anggaran.
”Kita memang tidak bisa memuaskan semua orang ketika membuat suatu undang-undang. Namun, aspirasi dari masyarakat soal persoalan ini perlu kita tampung,” katanya.
RKUHP, menurut Yasonna, telah dimasukkan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 dan Prolegnas 2020-2024. Dengan demikian, RKUHP sudah bisa dibahas bersama DPR mulai 2020.
RKUHP pada periode 2014-2019 sebenarnya telah disepakati di tingkat pertama, yaitu antara Komisi III DPR dan pemerintah. Namun, pasal-pasal bermasalah di dalamnya memantik gelombang unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di sejumlah daerah. Presiden Joko Widodo lantas memutuskan menunda pengesahan RKUHP. Selanjutnya RKUHP diputuskan pemerintah dan DPR untuk dibahas oleh pemerintah dan DPR periode 2019-2024.
Dalam draf RKUHP, terdapat setidaknya 20 pasal yang dinilai publik bermasalah, antara lain pasal yang mengatur tentang hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 2 dan 598); hukuman mati (Pasal 67, 99, 100, dan 101); pengaturan makar (Pasal 167); penghinaan presiden, pemerintahan yang sah, dan lembaga negara (Pasal 218, 219, 240, 241, 353, dan 354); tindak pidana agama (Pasal 304); serta kesusilaan (Pasal 417 dan 419).
Kemudian, pasal yang mengkriminalisasi perempuan yang melakukan pengguguran (Pasal 470-472), tindak pidana penghinaan pengadilan (Pasal 281 dan 282), tindak pidana penghinaan (Pasal 440-449), tindak pidana korupsi (Pasal 604-607), dan pelanggaran HAM berat (Pasal 599 dan 600).
Komisi III DPR sepakat dengan keinginan pemerintah untuk membahas ulang pasal-pasal bermasalah.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Benny K Harman, mengatakan, anggota-anggota DPR yang baru bisa memiliki perspektif yang berbeda dalam melihat pasal-pasal bermasalah dan memberikan masukan untuk memperbaikinya.
”Selain itu, belum tentu anggota DPR yang lama memiliki pandangan yang sama dengan ketika ia menjabat pada periode sebelumnya. Jadi, perlu ada pembahasan lebih lanjut terkait hal ini,” ucapnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, pun menekankan pentingnya DPR dan pemerintah mengkaji kembali pasal-pasal yang dipermasalahkan publik.
”Masyarakat keberatan dengan RKUHP karena kemungkinan banyaknya pasal multitafsir yang ada di dalam rancangan tersebut. Hal ini bisa menimbulkan perbedaan perspektif di mata masyarakat,” ujarnya.
Akibat dari pasal multitafsir itu, Taufik melanjutkan, masyarakat khawatir perbuatannya bisa dijatuhi hukuman pidana. ”Oleh karena itu, kita perlu pastikan rumusannya sudah jelas,” ucapnya.
Untuk memastikan pasal tidak multitafsir dalam penerapannya, Taufik menyarankan ada simulasi. Simulasi terfokus pada pasal-pasal yang dinilai bermasalah. Begitu pula jika pasal diputuskan diperbaiki, setelah pasal tersebut diperbaiki, simulasi perlu diulang kembali.
Sebelumnya, Ketua Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Airlangga Herlambang P Wiratraman mengatakan, pengaturan di RKUHP banyak bersinggungan dengan hak dasar warga negara. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus memiliki paradigma yang jelas tentang bagaimana melihat hubungan antara negara dan warga.
”Rumusan pasal-pasal di RKUHP tidak semata-mata mengenai hukuman pidana, tetapi menggambarkan bagaimana paradigma politik hukum negara dalam melihat hubungannya dengan warganya. Jangan sampai mengganggu HAM dan demokrasi dengan mengesahkan RKUHP yang tidak berperspektif melindungi hak dasar warga negara,” katanya.